Memetik Peluang Global: Optimalisasi Ekspor Produk Pertanian

Wakil Menteri Pertanian Sudaryono (kanan) memecahkan kendi saat pelepasan ekspor perdana rempah-rempah di Bengkal, Kranggan, Temanggung, Jawa Tengah, Minggu (20/7/2025). Koperasi Desa Merah Putih Bengkal bekerja sama dengan CV Kapulogo Jaya Mandiri mengekspor rempah-rempah 28 ton pala dan 26 ton kapulaga ke China dengan niai total Rp5,1 milar. ANTARA FOTO/Anis Efizudin/nym.

JAKARTA, (ANTARA) – Refleksi dinamika perdagangan internasional menunjukkan bahwa sektor pertanian Indonesia tetap menjadi komoditas strategis meski diwarnai ketidakpastian global.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor komoditas pertanian nasional pada 2022 mencapai 44,44 miliar dolar AS (sekitar Rp689 triliun), naik 3,2 persen dibanding 2021, dengan neraca perdagangan yang masih surplus 18,62 miliar dolar AS (Rp289 triliun).

Pada semester I 2023, volume ekspor pertanian bahkan naik 12,9 persen, namun nilainya turun 17,8 persen menjadi 22,67 miliar dolar AS (Rp351 triliun), mencerminkan pelemahan harga dan tantangan daya saing.

Pasar utama masih terkonsentrasi di Asia dan blok ekonomi besar, seperti India, China, Pakistan, dan Amerika Serikat untuk crude palm oil  (CPO). India dan AS menjadi tujuan utama untuk kakao, sementara untuk produk karet pasar utamanya adalah China, India, dan AS, dan rempah-rempah tujuannya Cina, AS, India, Vietnam, Belanda.

Selama era pemerintahan Trump, kebijakan tarif impor AS yang agresif berdampak signifikan terhadap komoditas unggulan Indonesia, seperti kelapa sawit, karet, kopi, dan kakao.

Skenario tarif 32 persen sempat mengganggu prospek ekspor, khususnya karet alam yang 22 persen pasarnya di AS atau setara 370.700 ton senilai 673,1 juta dolar AS (Rp10,43 triliun) pada 2024. Perdagangan CPO juga terdampak kebijakan antidumping biodiesel, sedangkan Uni Eropa memperketat regulasi melalui aturan deforestasi (EUDR).

Perang tarif dan kebijakan proteksionistik pada periode 2018–2020 memicu gejolak harga, penurunan volume, dan penurunan pendapatan ekspor. Meski era Biden relatif meredakan ketegangan tarif terbuka, instrumen proteksi perdagangan tetap tinggi, termasuk investigasi antidumping dan pembatasan impor.

Tantangan dan Peluang Pasca-pandemi

Tren global pasca-pandemi justru menunjukkan peningkatan proteksionisme. Data WTO mencatat bahwa hingga 2024, negara-negara G20 memberlakukan pembatasan impor senilai 2,328 triliun dolar AS (sekitar Rp36.084 triliun) atau 9,4 persen dari total impor dunia, dengan tambahan restriksi baru senilai 828,9 miliar dolar AS (Rp13 triliun) pada 2023–2024.

Baca Juga  DKP Usulkan 2 Opsi Pelabuhan Perikanan

Pembatasan ekspor pangan dan pupuk selama konflik Ukraina juga memperburuk pasokan global. Kondisi ini menegaskan bahwa meskipun retorika perdagangan bebas tetap digaungkan, praktik proteksionisme semakin menguat, menimbulkan ketidakpastian permintaan dan volatilitas harga komoditas internasional, yang pada akhirnya menuntut strategi ekspor pertanian Indonesia yang lebih adaptif dan berorientasi pada diversifikasi pasar.

Pasca pandemi, muncul tren baru dalam kebijakan perdagangan global yang mengutamakan keamanan pangan dan ketahanan rantai pasok. Negara-negara besar mulai menerapkan kebijakan restriktif, seperti pelarangan ekspor komoditas strategis demi menjaga stok dalam negeri.

Contohnya, Vietnam sempat melarang ekspor biji kopi pada 2021, sementara Rusia membatasi ekspor gandum selama konflik Rusia-Ukraina. Di saat yang sama, persaingan geopolitik, seperti perang dagang AS-Tiongkok dan ketegangan Rusia-Ukraina, memicu hambatan perdagangan tidak langsung, baik berupa tarif maupun hambatan teknis.

Selain itu, meningkatnya kesadaran global terhadap isu lingkungan dan kesehatan telah mendorong penerapan regulasi baru, seperti REACH dan EUDR dari Uni Eropa yang mewajibkan produk pertanian bebas dari deforestasi.

Di tengah tantangan tersebut, justru terbuka peluang baru bagi Indonesia untuk mengakses pasar bernilai tinggi. Kekayaan sumber daya seperti rempah-rempah, buah tropis, dan tanaman herbal bisa dimanfaatkan untuk memasuki segmen pasar organik dan bersertifikat, sepanjang mampu memenuhi standar internasional.

Permintaan terhadap produk pertanian yang berkelanjutan dan bersertifikasi, termasuk produk halal dan organik, meningkat terutama di kawasan Timur Tengah dan Asia Selatan setelah pandemi. Tren ini memberikan ruang strategis bagi produk Indonesia untuk menembus pasar ekspor dengan nilai tambah lebih tinggi.

Baca Juga  Gubernur: Momentum Memperkenalkan Budaya Kaltara

Selain itu, terbentuknya sejumlah perjanjian perdagangan baru juga membuka peluang pasar yang lebih luas bagi Indonesia. Kerja sama seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Indo-Pacific Economic Framework (IPEF), serta potensi Free Trade Agreement (FTA) dengan Uni Eropa dan Inggris, menawarkan akses ke pasar global yang lebih besar.

Pemulihan ekonomi pasca pandemi turut mendorong peningkatan permintaan terhadap pangan, energi terbarukan, dan bioenergy yang merupakan sektor unggulan Indonesia. Namun demikian, keberhasilan memanfaatkan peluang tersebut sangat bergantung pada kesiapan Indonesia dalam menghadapi hambatan teknis dan politik, seperti pemenuhan standar fasilitas ekspor, sertifikasi mutu, dan kepatuhan terhadap regulasi perdagangan internasional.

Memperkuat Nilai Tambah

Menghadapi dinamika perdagangan global yang semakin kompleks, Indonesia perlu mengambil langkah strategis yang bersifat multi-dimensi. Tentunya diversifikasi pasar ekspor harus menjadi prioritas, yaitu dengan memperluas tujuan ekspor ke negara-negara non-tradisional seperti Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin guna mengurangi ketergantungan pada pasar utama.

Misalnya, pengembangan ekspor durian dan jeruk ke pasar AS dan Eropa, kopi ke negara berkembang di Asia, serta rempah-rempah ke Timur Tengah. Selain itu, penguatan posisi Indonesia di ASEAN sebagai hub utama menuju pasar RCEP juga penting.

Selanjutnya perlu percepatan penyelesaian perjanjian dagang harus diupayakan. Pemerintah didorong untuk mempercepat proses Free Trade Agreement (FTA) bilateral dan multilateral seperti Indonesia-EU CEPA dan FTA dengan Arab Saudi atau Turki, serta aktif berpartisipasi dalam perjanjian seperti CPTPP. Peluang penghapusan bea masuk melalui kemitraan ini perlu dimanfaatkan agar produk pertanian Indonesia dapat bersaing dari sisi harga.

Diplomasi ekonomi perlu diperkuat secara intensif. Pemerintah dapat menginisiasi trade mission, promosi dagang melalui Badan Nasional Sertifikasi Halal, serta keikutsertaan dalam pameran internasional dan kampanye branding “Indonesia” di negara-negara tujuan ekspor.

Baca Juga  Asisten I Beri 3 Arahan saat Apel Pagi

Penguatan diplomasi ini harus didukung oleh riset pasar yang tepat sasaran, misalnya, analisis potensi konsumsi buah stroberi di Asia Timur, untuk memastikan produk ekspor sesuai dengan selera dan kebutuhan pasar global. Pastinya, hilirisasi dan peningkatan nilai tambah harus menjadi fokus.

Pemerintah perlu mendorong industrialisasi komoditas dalam negeri agar tidak hanya mengekspor bahan mentah. Contohnya, pengembangan industri minyak goreng bermerek, kopi bubuk premium, cokelat olahan, karet sintetis, serta produk turunan rempah seperti minyak atsiri dan herbal. Langkah ini tidak hanya meningkatkan devisa, tetapi juga menyerap tenaga kerja dan mengurangi ketergantungan pada harga komoditas mentah yang fluktuatif.

Kedepan, penguatan standar mutu dan keberlanjutan menjadi prasyarat utama memasuki pasar global. Pemerintah dan pelaku usaha harus mendorong adopsi sertifikasi internasional seperti RSPO untuk sawit, Fair Trade atau UTZ untuk kopi, Rainforest Alliance untuk kakao, serta sertifikasi organik untuk buah-buahan.

Selain itu, penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan sertifikat halal sangat penting untuk ekspor ke negara-negara Timur Tengah dan Afrika. Sistem logistik dan rantai pasok ekspor perlu ditingkatkan secara menyeluruh.

Peningkatan infrastruktur seperti cold chain, pelabuhan ekspor, dan penyederhanaan proses bea cukai, misalnya melalui pengembangan “Pusat Logistik Berikat” untuk produk segar, akan membantu menjaga kualitas komoditas perishable hingga sampai ke pasar internasional.

Integrasi teknologi seperti e-customs dan e-trade juga perlu diperkuat untuk menciptakan sistem ekspor-impor yang lebih efisien dan transparan. Dengan strategi tersebut, Indonesia dapat memaksimalkan kekuatan komparatif sektor pertanian dan mengurangi dampak dari proteksionisme global.

(Oleh: Kuntoro Boga Andri | Editor: Slamet Hadi Purnomo)

Bagikan:

Berita Terkini