KTT ASEAN ke-47 di Kuala Lumpur, Malaysia baru saja usai. Indonesia mengambil kepemimpinan diplomatik kawasan di tengah dinamika global yang semakin multipolar dan kompleks.
Oleh: Ngasiman Djoyonegoro *)
Saat hangat-hangatnya dominasi Amerika Serikat versus China dan sejumlah negara yang bermain di kawasan Asia Tenggara, KTT ASEAN ke-47 menjadi momentum strategis untuk menegaskan kembali esensi ASEAN sebagai jangkar stabilitas di Indo-Pasifik. Bukan arena perebutan para hegemon politik global.
Presiden Prabowo Subianto kembali menyerukan dengan tegas satu pesan bahwa persatuan dan sentralitas ASEAN adalah kunci utama menjaga kedaulatan kawasan dari tarikan kepentingan global yang kian menguat. Presiden dalam pidatonya menekankan pentingnya solidaritas dan kerja sama regional sebagai benteng menghadapi ketegangan geopolitik yang melanda dunia.
Presiden dengan pernyataannya tersebut, secara tidak langsung telah memberikan tugas bagi pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa ASEAN tetap menjadi “rumah bersama” yang independen, tidak terseret dalam rivalitas kekuatan besar, khususnya antara AS dan China.
Dalam perjalanan ASEAN, Indonesia selalu berperan menjadi jangkar moral dan politik dalam menjaga ASEAN Centrality. ASEAN harus bersatu agar tidak terpecah dan berubah menjadi arena proksi dari kekuatan eksternal yang sedang berseteru. Oleh karena itu, upaya mengedepankan dialogue-based diplomacy, dipandang lebih strategis daripada power-based diplomacy.
Dengan prinsip bebas aktif, peran sebagai honest broker terbuka lebar bagi Indonesia, yaitu menjadi penengah yang kredibel, mendorong dialog terbuka, dan membangun arsitektur keamanan kawasan yang inklusif. Inisiatif Indonesia untuk mengembangkan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP: 2019) perlu dihidupkan kembali sebagai panduan kesatuan Indo-Pasifik dalam semangat kerja sama, bukan kompetisi destruktif.
Dengan bergabungnya Timor Leste sebagai anggota ASEAN ke-11, semakin memperkuat bahwa ASEAN adalah komunitas yang terbuka dan inklusif. Ini tidak terlepas dari peran Indonesia yang konsisten memperjuangkan Timor Leste dalam satu bangunan kesatuan ASEAN, termasuk tanggung jawab historis untuk mendampingi proses integrasi setelahnya.
Dengan berbagi pengalaman dalam tata kelola ekonomi, reformasi birokrasi, dan penguatan kapasitas SDM, Indonesia dapat memastikan bahwa integrasi ini menjadi katalis bagi penguatan solidaritas kawasan, melampaui simbol keanggotaan baru.
Kepemimpinan diplomatik
Posisi strategis Indonesia secara otomatis menuntut kepemimpinan diplomatik, membawa ASEAN yang berpengaruh dalam pergaulan global, bukan hanya pada bidang politik, tetapi bidang lainnya seperti ekonomi, sosial dan digital.
Dalam hal ekonomi, ASEAN kini menghadapi tiga tantangan utama, yaitu perlambatan ekonomi global, disrupsi rantai pasok barang dan jasa, dan transformasi digital yang tidak merata antarnegara anggota. Inilah peluang bagi Indonesia untuk dapat memimpin konsolidasi kebijakan ekonomi digital ASEAN agar kesenjangan tidak semakin lebar.
Perlu dibangun kerangka kerja sama baru yang mendorong interoperabilitas sistem pembayaran digital, perlindungan data lintas batas, dan penguatan kapasitas UMKM digital di kawasan. Penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) di dalam negeri sejak 2019 adalah pengalaman penting yang dapat mulai diterapkan di kawasan ASEAN.
Selain itu, diplomasi ekonomi Indonesia perlu berorientasi pada konektivitas regional yang lebih inklusif. Dalam Master Plan on ASEAN Connectivity 2025 (MPAC 2025) Indonesia berperan penting sebagai penggerak proyek konektivitas maritim, logistik, dan integrasi digital seperti QRIS lintas negara.
Meski menghadapi tantangan kesenjangan infrastruktur dan pembiayaan antaranggotanya, MPAC 2025 menegaskan komitmen ASEAN untuk memperkuat kerja sama kawasan menuju integrasi ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan tangguh di tengah dinamika global yang terus berubah.
Di bidang ancaman siber, Indonesia diharapkan memainkan peran utama dalam perumusan norma regional mengenai tata kelola siber, keamanan data, dan penggunaan media sosial yang bertanggung jawab. Indonesia dapat memanfaatkan kapasitas Polri, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dalam kerangka kerja sama ASEAN untuk memperkuat collective cybersecurity resilience.
Di tengah situasi konflik Myanmar dan ketegangan di Laut Cina Selatan, Indonesia telah menunjukkan kepemimpinan konstruktif melalui pendekatan yang seimbang untuk menolak intervensi asing, namun tetap menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia dan demokrasi.
Dalam lanskap geopolitik yang semakin cair, diplomasi Indonesia telah bertransformasi dari sekadar partisipan menjadi agenda setter di ASEAN. Ini berarti Presiden Prabowo telah berhasil merepresentasikan keberanian memimpin dalam ide, dalam kebijakan, dan dalam aksi.
Dengan reputasi sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara dan ekonomi terbesar di kawasan, Indonesia memiliki legitimasi untuk mengarahkan ASEAN menuju visi komunitas yang tangguh, inklusif, dan berdaulat.
Di sisi lain, kepemimpinan diplomatik ini secara konsisten butuh ditopang oleh kekuatan domestik. Diplomasi yang kuat hanya bisa lahir dari fondasi dalam negeri yang kokoh.
Pada akhirnya, membangkitkan kepemimpinan diplomatik, dipadukan dengan sinergi sumberdaya pembangunan dan para aktor di dalam negeri adalah modal utama untuk meningkatkan peran dan fungsi diplomasi untuk memperkuat visi Asta Cita dalam rangka mencapai Indonesia Emas 2045.
*) Ngasiman Djoyonegoro, Analis Intelijen, Pertahanan, dan Keamanan