Efek Destruktif Dam Dem Dam Dem Sound Horeg yang Juga Jadi Perekat Sosia

SEWANYA PULUHAN JUTA: Salah satu peserta karnaval di Desa Klotok, Tuban, pada perayaan Agustusan tahun.

Genting, kaca, dan plafon bangunan serta rumah di sejumlah tempat telah jadi korban. Tapi, karnaval, festival, dan battle sound horeg tetap tumbuh subur, di darat maupun laut.

 

ANDREYAN, Tuban-BIYAN M.H, Kab Malang-FERLYNDA PUTRI, Jakarta

 

DARI dua kabupaten tetangga, Bojonegoro dan Lamongan, mereka berdatangan. Ke Klotok, desa di Tuban, Jawa Timur, memburu dam dem dam dem yang tak cuma bisa membuat tubuh, tapi juga rumah bergetar.

Siang sampai malam, pada Agustus lalu, mereka memuaskan hormon dopamin dengan mendengarkan terjangan bunyi yang bisa mencapai 135 desibel. “Sound horeg membuat mereka rela datang jauh-jauh,” kata Rofi’i, salah seorang panitia Agustusan di desa yang masuk wilayah Kecamatan Plumpang itu, kepada Jawa Pos Radar Tuban.

Tak cuma di Tuban. Meski sudah berakar lama, terutama di masyarakat Jawa Timur yang menggunakannya untuk kegiatan pengumpulan massa, sound horeg menggelegar lebih keras selepas pandemi Covid-19.

Entah karnaval, festival, battle, atau hajatan. Di desa maupun kota. Di darat maupun lautan. Bahkan, perayaan pelantikan presiden dan wakil presiden di Jakarta sana pun tak imun darinya.

Pekan lalu, misalnya, ada battle sound horeg di Grogol, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Masih di Jawa Timur, September lalu, karnaval serupa di Tuban juga dilangsungkan di Karangan, Trenggalek. Mundur ke Mei, juga ada perhelatan Bangkalan Horeg Festival. Di Pasuruan, bahkan dihelat pula ”Horegan” di tengah laut.

Tapi, horeg, yang menurut Kamus Bahasa Jawa Indonesia berarti menggetarkan, tumbuh subur di antara mereka yang menggemari dan mereka yang membenci. Musik dam dem dam dem ini tak mengenal ”tengah-tengah”.

Di Pati, Jawa Tengah, seorang ibu sempat menyiram air rombongan horeg yang melintasi rumahnya. Warga Mayangan, Kota Probolinggo, Jawa Timur, juga melayangkan protes kala sekelompok pemuda menyalakan musik superbising ini pada dini hari Maret lalu. Keributan kecil juga sempat terjadi di Desa Cokrowati, Tuban, kala rombongan horeg yang melintas merusak bagian depan sebuah warung agar bisa lewat.

Belum lagi dampak destruktifnya. Di Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mengutip Jawa Pos Radar Malang, ada warga yang sampai melakban jendela rumah agar tidak pecah akibat sound horeg. Di Kecamatan Jabung, kabupaten yang sama, plafon sebuah rumah runtuh karena efek getaran pengeras suara.

Baca Juga  Gunakan Bahan Bekas untuk Tanaman dan Kolam Ikan Mini, Bagus Ditaruh di Dalam Ruangan

Pada Juni lalu, mengutip Jawa Pos Radar Banyuwangi, Pemkab Banyuwangi bahkan sempat mengajukan laporan ke polisi. Gara-garanya, sebagian genting dan kaca kantor pecah akibat demo Keluarga Besar Sound System Banyuwangi.

Ini belum bicara dampak kesehatan. Ahmad Wahyuddin, dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan, menyebut ada batas pendengaran yang sehat menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO). “Di bawah 85 desibel,” katanya kepada Jawa Pos Sabtu (16/11).

Padahal, sound horeg bisa tembus sampai 135 desibel yang terdengar hingga radius 7 kilometer. Wahyuddin menambahkan, mereka yang bekerja di tempat dengan suara keras ada batasan waktunya. Dengan suara berkekuatan 85 desibel, waktu sehatnya adalah delapan jam.

“Setiap kenaikan 3 desibel, waktu dengarnya berkurang setengahnya. Misal dengan kekuatan 88 desibel, hanya bisa mendengarkan suara keras 4 jam. Setelah itu harus mendengarkan suara normal,” ujarnya.

Mendengarkan suara terlalu keras memiliki risiko bagi pendengaran. Risiko instan tinitus atau mendengung. Selain itu, mengalami penurunan pendengaran sementara.

Nah, jika mendengarkan suara keras dalam jangka waktu lama, risikonya bisa lebih fatal. “Efek jangka panjang penurunan pendengaran yang biasa disebut dengan noice induced hearing loss (NIHL),” kata Wahyuddin.

Faktor Psikologis dan Budaya

Dengan dampak destruktif bagi bangunan fisik dan kesehatan seperti itu, apa yang membuat sound horeg masih sangat digemari? Musikolog Erie Setiawan menyebut pemicunya faktor psikologis dan budaya.

Dari aspek psikologis, lanjut penulis buku Musik untuk Kehidupan itu, musik yang berdentum –ditandai dengan adanya beat (irama) yang konstan– dapat lebih cepat memicu kerja saraf (dopamin), salah satunya untuk menggerakkan tubuh.

“Ini sebetulnya organik apabila kita melihat bahwa setiap manusia memiliki daya respons fisik otomatis ketika mendengarkan musik atau beat yang konstan. Misalnya, menggerak-gerakkan kaki, jari-jari, atau menganggukkan kepala,” katanya.

Dari aspek budaya, tambah Erie yang juga menulis buku Filosofi Pendidikan Musik: Kritik dan Renungan, kesukaan orang terhadap ”dentuman” adalah karena pengaruh lingkungan, selera, dan identitas. “Cukup kompleks apabila diurai karena selera bukan lagi personal/subjektif (psikologi individual), melainkan sebuah konstruksi sosial,” ujarnya kepada Jawa Pos.

Selera sebagai konstruksi sosial itu pula yang mungkin bisa menjelaskan mengapa para peserta karnaval di Desa Klotok, Tuban, rela merogoh kocek antara Rp 20 juta sampai Rp 35 juta untuk menyewa sound horeg. “Biar perayaan Agustusan jadi semakin meriah,” kata Nur Agung, salah seorang warga Klotok, yang ikut dalam karnaval.

Baca Juga  Bonsai Legundi, Pohon Bonsai Endemik dengan Corak Keropos dan Bonggol Unik

Sound horeg, lanjut Erie, dalam konteks Indonesia sebetulnya bukan fenomena global. Artinya, peristiwa ini hanya terdapat pada lingkup lokal tertentu. Dapat dilihat pula sebagai bentuk ”kearifan lokal” dalam arti yang sederhana. Sebab, banyak pula yang menggunakan speaker rakitan sendiri, selain yang pabrikan.

“Bagi orang-orang tertentu, sound horeg adalah perekat sosial atau bagian dari dinamika interaksi sosial-musik,” ujarnya.

Mungkin karena itu, sound horeg tetap digemari meski tak sedikit yang membenci. “Intinya, tetap toleransi. Kami juga menghargai kok pendapat mereka yang tidak suka,” kata Nur Agung.

Sound horeg tak hanya menghadapi resistansi warga yang tak tahan dengan kebisingan yang ditimbulkan. Tapi, juga aturan yang membatasi pergerakannya.

Misalnya, di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Mengutip Jawa Pos Radar Malang, dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Malang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum, pada pasal 15 disebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang menyelenggarakan kegiatan dengan pengeras suara berintensitas lebih dari 60 desibel. Selain itu, penyelenggaraan juga harus dilaksanakan di lokasi yang jauh dari permukiman warga.

Agustus lalu, menjelang perayaan 17-an, Pj Bupati Pasuruan, Jawa Timur, Andriyanto juga mengeluarkan surat edaran tentang penyelenggaraan karnaval dan hiburan keramaian yang menggunakan souind horeg. Di antara poin pentingnya kala itu, panitia penyelenggara harus mendapatkan izin kepolisian. Juga, pembatasan penggunaan kendaraan sound system.

Di Kabupaten Malang, yang bisa dibilang salah satu sentra sound horeg, kepolisian setempat bahkan sudah tidak mengeluarkan izin sound horeg. “Sejak 20 September 2023 sudah tidak mengeluarkan izin kegiatan check sound (tes sound horeg),” terang Kabag Ops Polres Malang Kompol M. Bagus Kurniawan kepada Jawa Pos Radar Malang.

Bagus menyebut pihaknya bahkan pernah turun ke lokasi untuk melakukan penindakan. “Tahun 2023 pernah di Desa Urek-Urek, Kecamatan Gondanglegi, warga menyelenggarakan acara pakai sound horeg, tapi ditaruh dekat sekolah,” ungkap dia.

Baca Juga  Bandung Zoo Cari Orang Tua Asuh untuk Bayi Orang Utan Kalimantan: Syaratnya, Cinta Satwa dan Lingkungan

Bhabinkamtibmas pun diturunkan. Setelah dilakukan pembahasan, pengeras suara tersebut dipindahkan.

Tapi, turun tangannya polisi dan satpol PP ternyata menuai pro-kontra. Dalam serangkaian penelitian bersama kalangan kampus dan peserta focus group discussion (FGD), Bagus menyebut bahwa sound horeg merupakan fenomena yang kompleks di masyarakat. Meski banyak yang mengecam, tidak sedikit pula yang mendukung.

Bagus menambahkan, perhelatan sound horeg jadi semacam kebanggaan bagi suatu permukiman. Di sisi lain, penggemar dan penyelenggara tidak resistan terhadap pembatasan.

“Misal pembatasan waktu, mereka justru senang karena penyelenggaraan acara sound horeg itu mengeluarkan banyak biaya. Mereka juga punya semacam regu keamanan sendiri yang lebih didengar warganya,’’ imbuh Bagus.

Menurut musikolog Erie Setiawan, sound horeg pada dasarnya lanskap industri. Efek kemajuan teknologi tata suara yang merangsang vendor atau praktisi sound untuk merajut daya kreativitas.

“Teknologi tata suara adalah teknologi yang terus berkembang,” kata musikolog yang bermukim di Jogjakarta itu kepada Jawa Pos.

Bagus menambahkan, para panitia penyelenggara selama ini juga bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan. “Mereka perbaiki yang rusak. Karena itu, tidak pernah didapati kasus sound horeg yang diselesaikan secara hukum,” ujarnya.

Lalu, akankah tren sound horeg itu awet? Menurut Erie, sound horeg pada substansinya sebuah delivery mechanism atau bagaimana suara didistribusikan ke pendengar dengan konsep/cara/perangkat tertentu. Jika dianalisis dari konteks psiko-akustik, lebih mengutamakan volume ketimbang clarity, lebih cenderung ”keras” daripada ”jernih/jelas”.

“Horeg masih akan terus hidup sejauh belum ada larangan atau peraturan tertentu yang membatasi ruang gerak pelakunya, terlebih jika speaker dan segala sistemnya masih terus diproduksi/bisa dibeli dan dibuat,” kata Erie. (*/c19/biy/c6/ttg/jpg)

Bagikan:

Berita Terkini