Astrid Wangsagirindra Pudjastawa, Guru SMA Penulis 18 Jurnal tentang Bahasa dan Budaya Jawa

TENAGA PENDIDIK: Astrid Wangsagirindra Pudjastawa bekerja sebagai guru muatan lokal di SMA Negeri 2 Malang.

Usianya masih 31 tahun. Namun, dia sudah mengabdikan diri pada budaya dan Bahasa Jawa selama 13 tahun. Kini dia menjalani peran sehari-hari sebagai guru SMA dan SMK sembari meneliti wayang dan beragam budaya lain di Malang, Jawa Timur.

 

RETNO DYAH AGUSTINA, Malang

 

AWANG–sapaan akrab Astri Wangsagirindra– tumbuh di Mojokerto sebagai anak seorang pelukis. Jalan hidupnya sebagai dalang hingga peneliti tak pernah terencana. Mulanya, sang ayah hanya mengarahkan Awang untuk fokus pada studi bahasa Jawa.

“Waktu itu mikirnya kalau bahasa Jawa makin dikit peminatnya, jadi guru bahasa Jawa akan langka,” tuturnya.

Sang ayah berharap Awang bakal mudah mendapatkan pekerjaan di tengah derasnya budaya dari luar. Dia lalu memutuskan menimba ilmu pewayangan di SMKN 9 Surabaya (saat ini SMKN 12). Di sana, dia bertemu dengan guru yang istimewa. Yaitu, Djumiran Ranto Atmojo. Seorang peneliti wayang Jawa Timuran. Hingga akhir usia Djumiran, dia belum berhasil merampungkan penelitian wayang Malangan.

“Itu yang kemudian ditugaskan kepada saya. Akhirnya saya mengabdikan hidup di Malang sampai sekarang,” tuturnya.

Untuk mendukung perjalanannya sebagai peneliti, Awang bekerja sebagai guru muatan lokal di SMA Negeri 2 Malang. Dia mendalami peran sebagai guru sejak 2014. Selama itu pula, dia berhasil memasukkan kegiatan penelitian di tengah peran guru. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Baca Juga  Dampak Listrik Padam Berjemaah dari Padang sampai Bandar Lampung, Mandi pun Sekarang Jadi Urusan Rumit

“Kalau mau mengajar muatan lokal tentang kuliner Malang, ya saya penelitian dulu. Dicicipi, dianalisis. Begitu juga topik lain,” katanya. Hasil penelitian itu bahkan sudah dia bukukan.

Kini Awang telah menelurkan 11 buku. Sebanyak 10 buku di antaranya merupakan buku pelajaran bahasa Jawa dan satu buku antologi geguritan. Penelitian mengantarkan Awang bertemu banyak kalangan. Dia bahkan berduet dengan kolektor wayang asal Malang, Yudit Perdananto, untuk membentuk komunitas sendiri. Komunitas Singgasana Budaya Nusantara berhasil menjadi wadah pencinta budaya Jawa.

“Saya memang jadi paling muda, tapi ya nyambung,” ucapnya, kemudian tertawa.

Komunitas tersebut mendukung Awang melakukan penelitian. Mereka menelusuri banyak budaya Malang, terutama yang berkaitan dengan wayang. Banyak pengalaman tak terlupakan selama penelusuran.

“Mendapatkan data dari para sesepuh itu nggak bisa sekali dua kali bertemu,” imbuhnya. Dia pernah berusaha mendapatkan satu naskah wayang selama 2,5 tahun.

Selama itu, dia menjalin hubungan dengan narasumber untuk membangun kepercayaan. Dia membawakan kopi dan rokok setiap berkunjung ke rumah narasumber. Ngobrol ngalor ngidul, ngetan ngulon, semua dituruti dan diikuti Awang. Setelah 2,5 tahun, barulah pria asal Mojokerto itu berani mengatakan maksudnya. “Akhirnya benar dikasih, tapi sudah dimakan rayap. Jadi, kami salin pelan-pelan,” kenangnya.

Ada juga dalang yang hanya mau membagikan ilmunya di bulan-bulan tertentu. Biasanya berkaitan dengan mistis pewayangan itu sendiri. “Saat itu sedang mengincar sulukan pedhalangan ke salah satu narasumber,” kata Awang.

Baca Juga  Arif Rahman Hakim: Bukti Anak Desa Bisa Bersinar di Indonesia

Namun, permintaan itu langsung dihentikan narasumber. Katanya, Awang harus menunggu hingga bulan Safar. Barulah ilmu tersebut dibagikan dan boleh dicatat. “Ya, untung hanya beberapa bulan menunggunya, nggak sampai setahun,” ujar Wayang, kemudian tertawa lagi.

Awang juga rutin menelurkan jurnal dan prosiding di seminar-seminar. Setidaknya sudah 18 jurnal dan 12 prosiding budaya Jawa. “Saya mulai rutin menulis pada 2021. Saat pandemi, banyak waktu dan banyak materi yang didapatkan,” jelasnya.

Beberapa jurnalnya sudah menjadi rujukan naskah akademik oleh pemerintah. Pada 2022, wayang kulit gagrak Malangan berhasil dinobatkan sebagai warisan budaya tak benda. “Ternyata jurnal-jurnal saya bermanfaat,” imbuhnya dengan senyum lebar.

Apakah tugas mendalami wayang Malangan sudah rampung? Menurut Awang, dia masih jauh dari itu. Begitu banyak aspek yang masih perlu didalami. Bisa dibilang tak ada akhir pekan nganggur bagi Awang. Ada saja dalang legend yang dia datangi untuk mendalami wayang. Begitu pula kolektor-kolektor wayang di area Malang Raya.

Mantra-mantra wayang dari puluhan dalang satu per satu dikumpulkan. Dia berencana membukukan semua seluk-beluk wayang Malangan. Namun, banyaknya bahan membuat Awang harus bekerja keras selama beberapa tahun. “Mungkin 5–10 tahun baru bisa rampung, tapi saya tetap berharap itu bisa dinikmati masyarakat umum nantinya,” jelasnya.

Baca Juga  Detik-Detik Terbakarnya Bus Pahala Kencana di Tol Jombang–Mojokerto

Di sisi lain, Awang juga serius menggarap buku-buku terkait budaya Malang. Hal itu diolah dari penelitiannya selama mengajar. Buku yang dia telurkan nanti tidak lagi berupa buku pelajaran. “Sekarang mulai ditulis. Salah satunya soal kuliner. Yang unik itu ada tahu bumbu koya di Jabung, Malang,” jelasnya.

Kiprah Awang itu kemudian mendapatkan Anugerah Sutasoma Kategori Guru Bahasa dan Sastra Daerah 2024 bulan lalu. Dia menjadi salah satu pemenang berusia muda di tengah saingan-saingannya yang telah puluhan tahun berkiprah. “Ini memang agak aneh, guru sekolah tapi rajin nulis jurnal, ngalah-ngalahi dosen,” kelakar Ketua Dewan Juri Anugerah Sutasoma 2024 Prof Djoko Saryoni.

Awang sama sekali tidak mengetahui bahwa dirinya tengah diselidiki sebagai pemenang Anugerah Sutasoma selama setahun terakhir.

“Kaget juga ketika diberi undangan untuk datang, eh ndilalah karena menang,” ujarnya. Penghargaan itu, menurut Awang, tentu didapat bukan hanya karena kerja kerasnya sendiri. Tapi, banyak juga pihak yang telah mendukungnya. Mulai rekan sesama guru hingga rekan di komunitas.

Penghargaan itu bukan kepuasan akhir bagi Awang. “Yang jelas ini belum selesai, saya masih punya banyak tugas yang harus dikerjakan,” tandasnya. (*/c7/oni/jpg)

Bagikan:

Berita Terkini