Sukar Mudjiono sudah 40 tahun mendalang, tapi kini harus berhadapan dengan sulitnya melakukan regenerasi dalang maupun penonton. Mayoritas yang terlibat dalam pementasan justru orang Jawa.
SEPTINDA AYU PRAMITASARI, Surabaya
SEKITAR 30 menit sebelum tampil, seperti yang telah puluhan tahun dilakukannya, Sukar Mudjiono berkutat di belakang panggung mempersiapkan semua boneka wayang potehi yang akan dimainkan.
Seperti juga pada Jumat pertama bulan ini (1/2) di Kelenteng Hong Tiek Hian, Jalan Dukuh, Kelurahan Nyamplungan, Surabaya, tempat Mudjiono hampir tiap malam pentas. Se hu (dalang) 63 tahun itu dibantu ji jiu (pembantu dalang) untuk menyiapkan pertunjukan menjelang Tahun Baru Imlek.
Sementara, para pemain musik (au tay) juga sibuk mengatur alat-alat musik yang akan digunakan sebagai pelengkap pertunjukan. Mereka adalah Edy Sutrisno yang bermain siauw lo, Slamet memainkan tambur, dan Mulyanto bermain talo.
Dalang, asisten dalang, dan para pemusik itu adalah anggota grup Lima Merpati. Mayoritas orang Jawa, termasuk Mudjiono. Hanya ada satu yang keturunan warga Tionghoa.
Pagi menginjak pukul 09.00, pertunjukan pun dimulai. Mudjiono mengawalinya dengan bahasa Hokkien, lalu bercampur dengan bahasa Indonesia dan Jawa. Pagi itu dia tidak membawakan cerita berseri-seri seperti biasanya.
Dia sengaja memilih cerita petilan atau cerita pendek tentang Tahun Baru Imlek. Empat boneka Dewa Su Hok Thian Kwan dimunculkan di awal pertunjukan. Dewa Panjang Umur, Dewa Kemakmuran, Dewa Jodoh, dan Dewa Jabatan.
Dikisahkan seorang raja mendapatkan laporan bahwa di kotanya sedang terjadi kerusuhan menjelang Imlek. Tidak ingin rakyat resah, raja pun memerintah panglima perang untuk mengamankan keadaan.
Sang panglima berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Raja akhirnya menanggap seni tradisional untuk merayakan Imlek. Mulai tari-tarian, barongsai, sampai wayang potehi.
“Petilan ini membawa pesan kedamaian di dalam menyambut Tahun Baru Imlek supaya warga bisa merayakannya penuh damai dan tenang,” kata Mudjiono kepada Jawa Pos seusai pentas.
Mudjiono sudah lebih dari 40 tahun menjadi dalang potehi. Termasuk paling senior di antara para kolega. “Kadang mereka (dalang yang lebih junior, Red) dari luar kota datang ke sini (Kelenteng Hong Tiek Hian) untuk memperdalam wayang potehi,” ungkap dia.
Menurut Mudjiono, Kelenteng Hong Tiek Hian merupakan satu-satunya kelenteng di Indonesia yang rutin memanggungkan wayang potehi setiap hari. Sayangnya, seperti yang banyak dihadapi seni pertunjukan tradisional, peminatnya semakin menurun. Khususnya di kalangan anak muda.
Meski demikian, Kelenteng Hong Tiek Hian atau Kelenteng Dukuh tetap kukuh melestarikannya. Ada atau tidak ada penonton, pertunjukan tetap jalan.
Bukan hanya di Kelenteng Dukuh, Mudjiono juga sering diundang mendalang potehi di luar kota. Kalau dia harus absen, pertunjukan di Kelenteng Dukuh tetap jalan dengan dalang lain di grup Lima Merpati.
“Di Jawa Timur, yang paling aktif hanya di Surabaya dan Jombang,” jelas Mudjiono tentang grup pementas wayang potehi.
Lima Merpati saat ini beranggota 10 orang. Ada empat dalang, termasuk Mudjiono yang paling senior. “Kami memainkan wayang potehi klasik yang benar-benar mengikuti pakemnya zaman dulu,” jelas dia.
Meski orang Jawa, Mudjiono tumbuh dalam keluarga yang hampir semua anggotanya bisa memainkan wayang potehi. Sebab, rumah keluarganya berada di sekitar Kelenteng Dukuh.
Guru sekaligus pimpinan pertunjukan wayang potehi saat itu adalah orang Tionghoa. Namanya Gan Co Co. Dia pula yang mengajari Mudjiono.
“Setiap saya tampil di luar kota, setidaknya ada 1–2 orang yang lebih muda yang saya beri kesempatan untuk ikut tampil. Barangkali mereka-mereka ini bisa meneruskan budaya ini,” ungkapnya.
Mudjiono mempelajari banyak cerita buku wayang potehi dengan mendengar dan melihat langsung pertunjukan sang guru. Juga membaca buku-buku cerita untuk memperkaya ilmu. Biasanya, dia membawakan bahasa-bahasa Mandarin yang pakem-pakem saja. Selebihnya bahasa Indonesia.
Mudjiono menegaskan, kelestarian budaya wayang potehi juga sangat bergantung kepada orang-orang yang memiliki kebudayaan itu sendiri, yakni warga Tionghoa di Indonesia. Mereka harus memberikan kesempatan dan ruang bagi para pemain wayang potehi.
Saat Jawa Pos menonton pertunjukan di Kelenteng Hong Tiek Hian, founder Surabaya Heritage Society Freddy Istanto turut mendampingi. Freddy membenarkan bahwa justru tidak ada generasi muda Tionghoa yang meneruskan kebudayaan wayang potehi. “Sebagian besar pemainnya adalah orang Jawa dibanding orang Tionghoa,” katanya.
Regenerasi penonton pun seakan sudah berhenti di generasi sepuh. “Pelaku industri wisata harus memasukkan keunikan wayang potehi di Kelenteng Dukuh ini sebagai potensi wisata. Sementara, institusi pendidikan juga harus memberikan ruang bagi siswa untuk bisa datang menonton pertunjukan wayang potehi,” ujarnya. (*/c14/ttg/jpg)