Sudah enam kali Gili Ketapang yang menyimpan keindahan bawah laut alami krisis air bersih karena pipa penyalur terkoyak jangkar kapal. Dua solusi sedang dikaji: pipa ditanam di bawah laut atau mendatangkan mesin penyuling air asin jadi tawar.
INNEKE AGUSTIN, Kabupaten Probolinggo
AKHIRNYA yang ditunggu warga Gili Ketapang, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, itu datang juga kemarin (10/12): air tawar yang mengalir lewat pipa. Mengakhiri hampir tiga pekan perjuangan mendapatkan air bersih.
Pada 22 November, jangkar kapal seberat 250–400 kilogram menyeret pipa penyalur air bersih ke pulau yang terpisah jarak sekitar 30 menit perjalanan dari Pelabuhan Tanjung Tembaga, Kota Probolinggo, tersebut hingga bergeser sejauh 900 meter.
Dampaknya, aliran air bersih ke 2.033 sambungan rumah di pulau sekaligus desa yang masuk wilayah Kecamatan Sumberasih tersebut terhenti.
Itu bukan kejadian pertama. Sudah enam kali terjadi sejak saluran bawah laut tersebut terpasang pada 2012. “Dalam masa kepemimpinan saya saja sudah dua kali terjadi, awal 2023 sama yang sekarang,” kata Kepala Desa Gili Ketapang Munir kepada Jawa Pos Radar Bromo.
Keindahan bawah laut yang bisa dinikmati lewat snorkeling memang membuatnya menjadi salah destinasi wisata andalan Kabupaten Probolinggo. Tapi, di balik itu, Gili Ketapang menyimpan perjuangan panjang para penghuninya mendapatkan air bersih.
BARANG MEWAH
Sebelum 2012, air bersih adalah barang mewah bagi warga Gili Ketapang. Sumur-sumur di rumah mereka menjadi andalan utama meski airnya tak selalu layak untuk diminum karena rasanya payau.
Beberapa warga bahkan membuat tandon untuk menampung air hujan, yang kemudian dijual saat kemarau tiba. Untuk air minum, warga harus membeli air mineral yang diangkut kapal dari Pelabuhan Tanjung Tembaga dengan harga Rp 5.000 per 20 liter.
Semua berubah ketika pipa air bawah laut sepanjang 7.900 meter dibangun Pemerintah Kabupaten Probolinggo. Masyarakat menyambut gembira aliran air bersih yang mengalir langsung ke rumah mereka hanya dengan biaya Rp 7.500 per 1.000 liter.
Namun, kegembiraan itu berkali-kali terinterupsi karena pertautan yang tak diharapkan antara jangkar kapal dan pipa tersebut. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk memperbaikinya. Dan, itu berarti keruwetan panjang bagi para penghuninya yang kini berjumlah sekitar 10 ribu jiwa tersebut.
Proses Perbaikan Buntut terkena jangkar pada 22 November lalu, bagian utara pipa patah, sementara bagian selatan menekuk. Untuk memperbaikinya, diperlukan upaya besar yang melibatkan berbagai pihak, termasuk nelayan lokal, penyelam, PT Kutai Timber Indonesia, hingga kapal penarik berkekuatan 2.500 horse power dari PT Delta Artha Bahari Nusantara (DABN).
“Proses menarik pipa kembali ke posisi semula sempat terhenti akibat cuaca buruk dan arus bawah laut yang kuat,” kata Kepala Bagian Teknik Perumdam Tirta Argapura Hari Supriyanto.
Beruntung, selama proses perbaikan, bantuan air bersih terus mengalir ke Gili Ketapang. Dari BPBD Kabupaten Probolinggo, Polres dan Polresta Probolinggo, Papdesi Kabupaten Probolinggo, dan pemangku kepentingan lainnya.
Pipa pun mulai disambungkan lagi pada Kamis (5/12). Pada masa awal aliran berfungsi normal, air masih terasa asin. Namun, kemarin air sudah tak asin lagi. Rasanya tawar seperti sebelum ada insiden tergaruk jangkar.
KAJI DUA OPSI
Sebenarnya, untuk mencegah insiden serupa terulang, beberapa tahun lalu telah dipasang tanda peringatan. Yang pertama menggunakan tanda lampu per 100 meter.
Namun, dalam kurun waktu satu bulan, tanda itu hilang entah apa penyebabnya. ’’Setelah itu diganti dengan gabus, juga tetap hilang,” kata Penjabat Bupati Probolinggo Ugas Irwanto.
Dua solusi saat ini sedang dikaji. Pertama, menanam pipa di dasar laut meskipun membutuhkan biaya besar. Kedua, menghadirkan mesin penyuling air asin menjadi air tawar.
“Kami akan memilih solusi yang paling efektif untuk jangka panjang. Jika mesin penyuling lebih ekonomis dan efisien, itu yang akan kami pilih,” ujar Ugas. (*/gus/c7/ttg/jpg)