Digitalisasi menjadi salah satu penggerak ekonomi kala pandemi Covid-19. Kondisi itu membuat lima pemuda-pemudi dari berbagai negara yang bergabung dalam Tim Asia memformulasikan sebuah kurikulum yang memberdayakan Pendidikan e-commerce bagi anak muda.
DINDA JUWITA, Jakarta
PANDEMI Covid-19 memang telah berlalu. Namun, masa pagebluk itu mengubah kehidupan Dina. Dia adalah remaja 20 tahun yang berasal dari Provinsi Kratie, Kamboja.
Lokasinya yang terpencil membuat Kratie tidak terlalu berkembang, terutama soal kemajuan teknologi. Dina dan keluarga menggantungkan ekonominya dari berjualan di toko kelontong. Usaha itu dijalankan dari rumah.
Dengan mata pencaharian tersebut, Dina dan orang tua rutin wira-wiri ke pasar tiap pekan atau bahkan tiap hari. Tujuannya adalah kulakan.
Kondisi itu berubah menjadi suram ketika pandemi mengguncang. Karantina wilayah dan pembatasan sosial menghambat model bisnis tradisional. Pergi ke pasar untuk kulakan tak senyaman sebelumnya. Usaha itu pun menemui paceklik.
Kisah Dina dan keluarga itu lantas dipotret dengan apik oleh Alland Dharmawan, Bunly Ek, Julie Dioc, Nastassja Amling, dan Seonha Choi. Lima pemuda-pemudi tersebut menempuh studi di Korea Selatan (Korsel). Alland, Bunly, Julie, dan Nastassja adalah mahasiswa pascasarjana di Yonsei University, sementara Seonha berkuliah di Seoul National University. Lima sekawan itu membentuk Tim Asia.
Mereka bergabung dalam gelaran The Geneva Challenge 2024. Itu merupakan kontes internasional yang diikuti para mahasiswa pascasarjana yang bertujuan menghadirkan solusi inovatif dan pragmatis untuk mengatasi tantangan pemberdayaan pemuda.
Belajar dari Pandemi
Dalam Tim Asia, Alland didapuk sebagai ketua. Mereka sepakat memotret kisah Dina dalam proposal yang dilombakan. “Dina ini sepupunya Bunly. Kami wawancara Dina, melakukan riset tentang Provinsi Kratie, melihat bagaimana tantangan di wilayah itu, dan apa saja skill yang diperlukan oleh anak muda di sana,’’ ujar Alland kepada Jawa Pos, Senin (25/11).
Alland menceritakan, keluarga Dina sempat terlilit utang di bank. Kisah itu pun sejatinya merupakan gambaran lumrah yang dialami hampir semua pedagang kecil saat pandemi Covid-19 melanda.
“Semua pergerakan dibatasi saat pandemi. Dina tidak bisa ke pasar buat kulakan. Usahanya terlilit utang di bank. Kondisi itu beda sekali dengan di Indonesia. Saat Covid-19, bisnis online naik signifikan di tanah air,’’ jelas pria asal Malang, Jawa Timur itu.
Alland dan tim lantas menarik benang merah. Yakni, paceklik yang dialami Dina dan keluarga itu salah satunya disebabkan kurangnya literasi digital dan akses terhadap teknologi.
Formulasikan DigiBridge
Dengan potret tersebut, Tim Asia lantas memformulasikan sebuah kurikulum yang disebut DigiBridge. Kurikulum itu bertujuan memberdayakan pemuda melalui pendidikan e-commerce guna menjembatani kesenjangan literasi digital. Dengan DigiBridge, pembangunan ekonomi di daerah pedesaan juga diharapkan bisa terakselerasi.
“Kita ajarkan bagaimana membuat toko online, mengoperasikan, memasarkan, dan lainnya. Di daerah sering kita jumpai anak muda ingin belajar, tapi nggak ada infrastruktur dan akses yang memadai. Dengan ide ini, kita ingin ada kerja sama dengan pemerintah setempat maupun pihak swasta,’’ papar Alland yang juga menjadi salah seorang pembicara dari Indonesia pada side-event konferensi COP29 di Baku, Azerbaijan, pertengahan bulan lalu.
Kompetisi The Geneva Challenge tidak hanya menilai kelayakan proyek, tetapi juga potensi dampak, kemampuan untuk direplikasi di negara lain, dan keberlanjutan dalam jangka panjang.
Menariknya, meski kisah Dina berasal dari provinsi kecil di Kamboja yang dipotret dalam DigiBridge, kurikulum itu bisa diimplementasikan secara global. Bergantung pada kebutuhan yang dialami oleh lokasi implementasi.
“Bisa disesuaikan dengan perlunya apa, bahasa setempatnya apa agar bisa inklusif. Siapa pun yang tidak punya internet bisa belajar,’’ imbuh pria lulusan Universitas Ma Chung, Malang, itu.
Bermacam Latar Belakang
Alland menceritakan, dirinya sengaja mengumpulkan kawan-kawannya dari latar belakang berbeda-beda dalam Tim Asia. Bunly berasal dari Kamboja, Julie dari Prancis, Nastassja dari Jerman, dan Seonha dari Korsel. “Dengan bermacam latar belakang, lima sekawan ini mampu memetakan beberapa solusi dan perspektif beragam,” tuturnya.
Tim Asia pun meraih peringkat III kompetisi The Geneva Challenge 2024. Meski telah meraih prestasi, Alland dan tim tak menghentikan langkahnya. Tiap anggota tim akan mempromosikan DigiBridge ke berbagai pihak agar solusi yang ditawarkan bisa menjembatani persoalan yang ada.
“Tim kami punya background dan koneksi yang berbeda-beda. Kami akan presentasi di beberapa pihak terkait. Seonha di Korsel rencananya akan membantu presentasi di organisasi sukarelawan untuk pengungsi Korea Utara, sementara Bunly juga akan presentasi di Kamboja. Saya sendiri berharap kurikulum ini bisa diimplementasikan di Indonesia agar dampak positifnya bisa dirasakan di tanah air,’’ tuturnya. (c6/dio/jpg)