Bagi para perajin tatah wayang di Sidowarno, Klaten, makna tiap tatahan bukan hanya soal penghidupan, melainkan juga kehidupan secara keseluruhan. Sesekali masih bisa salah ketika pakem yang ada dipahat dengan alat tatah berbeda.
ZALZILATUL HIKMIA, Klaten
WAYANG mungkin memang baru dienkripsi sebagai warisan budaya takbenda dunia oleh UNESCO pada 7 November 2003. Artinya, kalau dihitung baru 11 tahun diakui dunia.
Padahal, wayang sudah ada sejak abad ke-10. Di Desa Sidowarno, Klaten, Jawa Tengah, saja, yang dikenal sebagai sentra perajin tatah wayang, para pegiatnya sudah lebih dari empat generasi menggeluti agar tetap lestari.
Samad, misalnya. Lebih dari separo usianya dihabiskan untuk melestarikan budaya wayang sebagai perajin tatah wayang. Tatah wayang adalah proses memahat detail-detail yang ada ”di dalam” tubuh wayang sehingga membentuk kesatuan yang utuh.
Kemampuan jari-jari tangan pria 50 tahun itu tak perlu diragukan lagi. Ibarat kata, sambil memejamkan mata pun, berbagai pola tatahan seperti mas-masan, semen, srunen, inten-intenan, dan lainnya bisa dia kerjakan.
Pakemnya sudah hafal di luar kepala. Bagaimana tidak, Samad sudah belajar memahat perkamen untuk membuat wayang ini sejak usia 10 tahun.
“Saya kelas IV SD sudah belajar. Pulang sekolah langsung disuruh belajar bikin,” tuturnya ketika ditemui di rangkaian peringatan Hari Wayang Nasional 2024 di Desa Sidowarno pekan pertama bulan lalu (7/11).
Pelajaran memahat wayang kali pertama diterimanya dari sang kakak. Dulu Samad kecil hanya berpikiran bahwa bisa memahat tatahan hingga menjadi wayang secara utuh itu sangat keren. Maklum, tiga saudara laki-lakinya jadi pemahat semua.
Tapi, lambat laun, dia memahami makna tiap tatahan yang dipahatnya ini begitu besar. Apalagi jika wayang tersebut sudah dipoles dan dimainkan dalam sebuah pertunjukan.
“Filosofinya dalem. Baik untuk hidup saya dan keluarga (secara ekonomi, Red) maupun kehidupan keseluruhan,” ungkapnya sambil sesekali meneruskan pekerjaannya memahat pola tokoh Jambu Mangli.
Makna setiap tatahan pun berbeda-beda. Sampai akhirnya, dia secara tak langsung belajar berbagai tokoh pewayangan dan kisahnya yang sarat akan makna kehidupan.
Meski sudah 40 tahun berkecimpung, Samad mengaku konsentrasi penuh tetap jadi kunci. Kalau tidak, efeknya bisa salah pahat. Dia pun mengaku masih sesekali salah memahat motif ini.
Biasanya, kesalahan terjadi saat pakem yang sudah ada ternyata dipahat dengan alat tatah yang berbeda. Seharusnya bentuk tatahan inten-intenan yang harus bulat atau bentuk lingkaran penuh yang pada bagian sisinya diutuhkan, tapi justru diberi tatahan setengah bulatan.
“Kalau yang salah gitu kadang-kadang di pikiran ini ke mana-mana. Atau kalau nggak, ada rasa ngantuk. Nggak istirahat, jadi kadang salah,” ujarnya.
Kerumitan Masing-Masing
Sebetulnya, kata dia, semua tokoh pewayangan memiliki kerumitan masing-masing dalam proses pemahatannya. Namun, jenis gunungan diakuinya masih jadi paling rumit. Harus betul-betul presisi.
Membuat lunglungan pada kayon wayang ini bisa memakan waktu seminggu sendiri. Padahal, untuk tokoh-tokoh wayang lainnya cukup 2–3 hari.
Bahkan, menyelesaikan satu gunungan wayang dari proses awal membuat pola hingga pewarnaan bisa memakan waktu lebih dari satu bulan.
“Gunungan itu yang paling sulit. Mewarnainya juga harus jeli. Tingkat kesulitannya lebih tinggi,” jelasnya.
Baginya, kesulitan ini sepadan dengan makna gunungan sebagai simbol kehidupan manusia dengan berbagai ornamen di dalamnya. Bentuk gunung atau kerucut melambangkan kehidupan manusia yang harus dekat dengan pencipta.
Lalu, pohon besar diartikan sebagai pengayom atau pelindung dunia. Filosofinya, gunungan ini jadi gambaran dunia tempat makhluk tinggal dan berlindung.
Mamsur, perajin lainnya, mengamini. Meski dia sudah belajar seni tatah wayang sejak SD, kerumitan memahat gunungan ini tetap jadi tantangan tersendiri. Jelimet, katanya.
“Seminggu itu baru tatahan pahatannya, belum mewarnai lho,” ungkap pria 59 tahun tersebut.
Proses membuat wayang dimulai dari pengerokan kulit hewan yang digunakan. Biasanya, kerbau dipilih karena hasilnya tidak lembek seusai dikeringkan.
Setelah itu, mulai digambar pola dari tokoh wayang yang ingin dibuat. Baru dilanjutkan dengan pemahatan. Terakhir, proses pewarnaan.
Keberlanjutan Ekonomis
Hampir 75 persen warga Desa Sidowarno berprofesi sebagai perajin tatah wayang. Untungnya, para perajin itu menyadari bahwa perlu pembaruan dalam pemberdayaan seni ini. Bukan hanya terkait regenerasi seni pahatnya, melainkan juga keberlanjutan ekonomisnya.
Pada 2008, dengan bantuan CSR Astra, mereka mulai membangun kelompok pemberdayaan masyarakat. Mereka mulai belajar cara komersialisasi produk hingga simpan pinjam bagi anggota. Kini mereka bisa menjual hasil karya hingga ke berbagai daerah.
Diakui Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) Kemendikdasmen Itje Chodidjah, selama ini masyarakat tahu produk wayang hanya berupa pertunjukan.
“Proses sampai jadi wayang itu sangat complicated, melibatkan banyak orang, banyak nilai. Ini tidak bisa diselesaikan kalau tidak dikerjakan dengan hati,” paparnya.
Direktur dan Perwakilan UNESCO di Jakarta Maki Katsuno-Hayashikawa mengaku sudah lama tahu soal wayang, tapi baru kali itu berkesempatan melihat proses pembuatannya.
“Saya belajar banyak terkait wayang dan gamelan. Kita biasanya hanya mengapresiasi performance-nya, padahal prosesnya juga sangat menarik,” paparnya. (*/c19/ttg/jpg)