Mesin Cetak di Perpustakaan di UINAM Diselundupkan untuk Cetak Uang Palsu

JARINGAN LINTAS PROVINSI: Polisi dari Polres Gowa memasang police line pada mesin cetak uang palsu di Gedung Perpustakaan UIN Alauddin Makassar.

Perkuliahan di UIN Alauddin Makassar masih berjalan normal kendati perpustakaan tak bisa diakses karena ditutup garis polisi. Dampak kasus itu tak hanya merusak nama baik kampus, tapi juga bisa menurunkan kepercayaan terhadap uang yang beredar.

 

DEWI SARTIKA, Makassar

 

PENGUNGKAPAN sindikat uang palsu yang menyeret si kepala perpustakaan memang tak sampai menghentikan proses perkuliahan di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Sulawesi Selatan, Selasa (17/12).

Para mahasiswa tetap beraktivitas seperti biasa di dalam ruang-ruang kuliah. Yang berbeda hanya di kawasan perpustakaan. Garis polisi masih terpasang. Fajar melaporkan, mesin pencetak uang palsu yang menjadi barang bukti masih ada di dalam bangunan tersebut dan ditutupi kain panjang.

Otomatis, para penghuni kampus tak bisa mengakses perpustakaan sama sekali. Sekitarnya yang biasanya ramai oleh mahasiswa yang membaca atau mengerjakan tugas juga tampak sepi kemarin.

Baca Juga  Mulianya Hati Dharmawansya, Driver Ojek Online yang Boncengkan Kakek dan Jenazah Cucu di Makassar

Meski ada pula beberapa mahasiswa yang berkerumun di sekitar area perpustakaan. Mereka penasaran dengan situasi di dalam.

Akademisi sekaligus pengamat ekonomi dari Universitas Hasanuddin Prof Marsuki Z.A. menilai kasus tersebut sebagai anomali luar biasa. Apalagi terjadi di institusi pendidikan yang berlandasan nilai-nilai keislaman.

“Tapi, tentu kita tidak berhak menilai secara negatif begitu saja sebab kasus ini masih dalam proses penyelidikan. Tuduhan ini sifatnya sementara dan harus dilihat dengan hati-hati,” katanya kepada Fajar.

Yang pasti, tambah Marsuki, dampak kasus tersebut sangat besar. Baik bagi nama baik lembaga maupun kehidupan sosial dan perekonomian secara umum.

Dari sisi ekonomi, peredaran uang palsu dapat menyebabkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap uang yang beredar. Dunia bisnis, sistem pembayaran, dan stabilitas moneter pun bisa terganggu.

“Mata uang bisa tertekan, inflasi berpotensi meningkat, dan nilai tukar dapat terdepresiasi. Ini adalah efek domino yang berbahaya,” ungkapnya.

Baca Juga  Kementerian PKP Bangun 14.419 Unit Perumahan Subsidi di 34 Wilayah Polda

Selain itu, Marsuki menyoroti potensi meluasnya kejahatan lain seperti penyelundupan dan pencucian uang akibat kasus tersebut. Dia menekankan pentingnya kewaspadaan, khususnya di lembaga pendidikan dan organisasi berbasis kepercayaan, agar insiden serupa tidak terulang.

Dari perspektif sosial, sosiolog dan Ketua Prodi S-3 Sosiologi Universitas Hasanuddin Rahmat Muhammad menilai kasus itu sebagai tamparan keras bagi dunia pendidikan. “Pengungkapan ini patut diapresiasi, namun efeknya jelas merusak nama baik UINAM sebagai lembaga yang mengedepankan nilai Islam dan dakwah,” tambah Rahmat.

Yang lebih mengejutkan, mesin pencetak uang palsu ditemukan di perpustakaan kampus, tempat yang seharusnya menjadi pusat literasi dan ilmu pengetahuan. “Mesin cetak itu besar dan tidak mudah diselundupkan. Ini menunjukkan dugaan keterlibatan sistemik,” ujar Rahmat.

Tuntutan Transparansi

Baca Juga  Kemnaker Dukung Eksistensi Program Pemagangan Indonesia-Jepang, Ingin Hak Dasar Peserta Magang Disejahterakan

Sementara itu, mantan Kepala Perpustakaan UINAM M. Qasim Mathar menilai tanggung jawab utama atas kejadian ini ada pada rektor sebagai pemimpin tertinggi di kampus. Dia menolak narasi yang menyebut pelaku sebagai oknum semata.

“Anda adalah kepala rumah UIN Alauddin, di mana terjadi kejahatan besar. Tidak cukup hanya menyebut ini ulah oknum,” tegas Qasim.

Qasim juga mengatakan, selama masa jabatannya, dirinya tidak pernah melihat keberadaan mesin cetak uang palsu tersebut. Menurut dia, ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana mesin sebesar itu bisa masuk dan beroperasi di lingkungan kampus tanpa terdeteksi.

Kasus itu, kata Rahmat, menjadi peringatan keras bagi lembaga pendidikan untuk memperkuat sistem pengawasan internal. “Perguruan tinggi saat ini berlomba-lomba meningkatkan kualitas melalui akreditasi, tetapi kasus seperti ini justru mencoreng nama baik dan menciptakan hambatan besar,” ujar Rahmat. (*/c19/tt/jpg)

Bagikan:

Berita Terkini