Lima tahun lalu, penyandang disabilitas harus menempuh perjalanan sekitar dua jam demi bermain sepak bola karena harus ke Sampang, Madura. Setelah ada Persatuan Sepak Bola Amputasi Surabaya atau Persas Surabaya, mereka tidak perlu menempuh jarak jauh.
FAHMI SAMASTUTI, Surabaya
SEJAK kecil, Khusnul Yakin sudah senang sepak bola. Bahkan ketika kondisi kakinya berbeda dari sebayanya lantaran infeksi toksoplasma. Dia memelihara hobi itu hingga dewasa. Kapten sekaligus bek Persas Surabaya tersebut menceritakan, sebelum Persas Surabaya lahir, dirinya dan Syaiful Arif –yang kini bekerja di Tangerang dan aktif sebagai pengurus Komite Paralimpik Nasional (NPC) Indonesia– nekat ke Sampang, Madura.
Keduanya bergabung sebagai pemain Persatuan Sepak Bola Madura (Persam). “Berangkat ke Madura, nggak tahu basic. Awal latihan masih pakai tongkat ketiak, celana pendek, pokoknya bukan atribut bola,” kenangnya.
Dia pun masih harus belajar menyesuaikan diri berlari dengan elbow stick atau tongkat siku untuk berlari. “Pas masih pakai tongkat siku medis, patah terus. Sampai habis lima. Setelah itu, baru mulai pakai yang grade-nya buat sport,” ungkapnya.
Prestasi di Piala Menpora
Meski tergabung di Persam, Khusnul dan Syaiful mendapatkan dukungan dari komunitas disabilitas Kota Pahlawan. Hingga muncul pemikiran: kenapa tidak buat klub sepak bola amputasi saja di ”rumah” sendiri? Apalagi, Surabaya adalah kota besar. Teman-teman difabel pun banyak.
“Akhirnya, setelah ngumpul-ngumpul, lahir Persas Surabaya,” ujar Khusnul. Walau baru didirikan pada 25 Februari 2022, klub itu cukup berhasil menyita perhatian.
Rekam jejaknya di Piala Menpora selama tiga tahun tak pernah buruk. Yakni, dua kali runner-up serta terakhir pada dua pekan lalu meraih posisi ketiga di gelaran yang dilaksanakan di Malang.
Para pemain Persas Surabaya juga bersinar. Tiga penggawa muda, yakni Ilham Zamzami, Rahmad Yusuf, dan Rilus Siko, masuk tim nasional sepak bola amputasi.
Ilham dan Yusuf masing-masing adalah atlet cabang atletik paralimpik. Tahun lalu dia tercatat sebagai pemain timnas sepak bola amputasi termuda di usia 17 tahun 10 bulan 28 hari. Sedangkan, Yusuf, yang mengalami amputasi tangan saat masih duduk di kelas X SMK, juga sempat mencicipi liga tarkam di sejumlah kota di Jawa Timur.
“Saya asal Lampung, tapi pada 2017 ke Jawa Timur untuk main di tim tarkam. Kalau di (sepak) bola normal, saya adalah bek. Di sepak bola amputasi, saya kiper,” ucap Yusuf. Selama berkarier di liga tarkam, dia pernah bergabung dengan tim di Mojokerto, Kediri, Tulungagung, dan Malang.
Lalu, ada Rilus yang sempat viral selama beberapa bulan terakhir di TikTok lantaran profesinya sebagai pengantar paket ekspedisi. Tantangan selama bekerja, seperti penerima paket tidak di rumah atau diminta menunggu, dia kemas jadi konten.
Jemput Bola Cari Pemain
Namun, tidak semua pemain yang tergabung punya awalan cemerlang. Apalagi, punya kemampuan lari dan menggocek bola yang apik. Ketua Persas Surabaya Endro Suseno menyatakan, awal klub didirikan, anggotanya hanya dua orang. Yakni, Syaiful dan Khusnul.
Saat pertama datang berlatih, ada yang memang sudah luwes berlari dengan tongkat siku. Tapi, tidak sedikit yang hanya diam di tepi lapangan saat latihan. Apalagi, dengan kondisi terbatas, bermain di hadapan banyak orang adalah tantangan besar.
“Saya pun pas main di depan anak-anak kampung juga ditanya, ’Pak, wis ngono kok sik bal-balan?’ Teman-teman ini nggak kuat mental karena itu,” ujar pria yang mengalami amputasi tangan karena kecelakaan itu.
Dia menceritakan, pemain muda Furqon Ahmad sempat tidak mau turun lapangan karena masih trauma. Furqon, yang ditemuinya lewat jejaring rumah sakit, mengalami kecelakaan sepeda motor sekitar enam tahun lalu. Kakaknya berpulang, sementara dia harus diamputasi.
“Kalau nggak salah, dia amputasi saat masih SMP. Di sekolah, dia di-bully, enggak kuat, akhirnya putus (sekolah),” ujarnya. Membangkitkan semangat hingga membuat Furqon percaya diri berlaga butuh waktu.
Sebagai kapten, Khusnul memahami itu. Alih-alih memberi nasihat, dia punya cara yang agak lain untuk membuat pemain lainnya bangkit. “Mereka tak gojloki. ’Ayo, sikilmu’ ’endi tangane’. Mungkin buat orang nondisabilitas itu kasar, tapi bagi kami, itu bukan nge-judge. Anak-anak juga sempat nggondok, tapi akhirnya jadi nggak malu. Malah ngisin-ngisini,” kelakarnya.
Di luar lapangan, anak asuh Khusnul gayeng. Bahkan, kadang tidak sungkan menjahili rekan setim yang sedang persiapan. Mental yang sudah ”siap” pun jadi landasan untuk memulai latihan sesungguhnya. (c6/dio/jpg)