Fenomena #KaburAjaDulu: Diaspora Ngumpulin Cuan dan Pengalaman, Ada Tetap Ingin Pulang ke Tanah Air

ADAPTASI JAM KERJA: Bekerja di kapal pesiar harus siap menghadapi jam kerja yang padat, 9-10 jam per hari tanpa libur.

Tagar #KaburAjaDulu tengah ramai di media sosial beberapa pekan terakhir. Sulitnya mencari kerja di dalam negeri mendorong anak-anak muda untuk mencari peluang dan kehidupan baru di luar negeri. Tapi, apa betul di luar secerah itu? Berikut sharing pengalaman dan insight dari diaspora di Australia dan Jerman.

 

SEJAK awal Ade Kurniawan sudah menaruh minat berkarier di luar negeri setelah merasakan magang di sebuah hotel bintang lima di Malaysia. Jalannya terbuka ketika seorang teman mengajaknya mencoba bekerja di kapal pesiar. Kini, dia menjadi bagian dari tim kuliner di dapur pastry sebuah kapal pesiar rute Alaska sampai Amerika.

“Saya suka memasak dan baking, keluarga pun berkecimpung di dunia kuliner. Saya juga suka traveling. Tercetuslah di angan-angan dan saya yakini saya bisa bekerja di culinary sambil jalan-jalan,” ungkap Ade kepada Jawa Pos.

Bekerja di kapal pesiar berarti harus siap menghadapi jam kerja yang padat. Yakni, 9-10 jam sehari tanpa libur. Sistem kerjanya terbagi dalam seaday (hari berlayar) dan portday (hari sandar di pelabuhan). Sebagai pastry chef, dia bertanggung jawab membuat kue dan dessert sesuai menu dan tema harian.

Menahan rindu jauh dari keluarga serta beradaptasi dengan rekan kerja dari berbagai negara menjadi tantangan buat Ade. “Harus pandai berbaur menyesuaikan diri dengan budaya berbeda, dan menghadapi culture shock karena tidak ada hari libur,” imbuhnya.

Kendala bahasa juga. Sebab, dia harus berhadapan dengan beragam aksen kru dari berbagai negara. Bagaimana dengan pendapatan? Menurutnya, meski harga barang di sana lebih mahal, pendapatan masih lebih besar dibanding pengeluaran.

“Yang lebih utama dari itu, pengalamannya. Semua pekerjaan ada tekanan, tapi kalau kita menikmati pekerjaan, jalannya pasti menyenangkan,” ucap Ade.

Sementara itu, bekerja di Jerman awalnya tidak masuk dalam rencana hidup Vitri Indriyani. Namun, semua itu berubah ketika dia mengikuti program Au-Pair pada 2012, sebuah program pertukaran budaya yang memungkinkan peserta tinggal dengan keluarga Jerman.

Baca Juga  Dari Upaya Awan Pintar-APJII Jaga Kedaulatan Digital Indonesia, Terdeteksi Hampir 2,5 Miliar Serangan Siber dari 10 Negara

Setelah program berakhir, Vitri mendapatkan tawaran untuk tinggal lebih lama. Dia pun melanjutkan perjalanan akademiknya dengan visa persiapan studi. “Untuk biaya hidup, saya kerja paruh waktu sambil belajar untuk ujian bahasa sebagai syarat masuk kuliah,” ceritanya.

Proses mencari pekerjaan di Jerman bagi Vitri tidaklah mudah. Banyak pekerjaan yang membutuhkan kepemilikan SIM, terutama di sektor kesejahteraan sosial. Setelah beberapa kali ditolak, dia akhirnya mendapatkan pekerjaan di sebuah institusi perawatan disabilitas pada 2019.

“Saya bekerja dalam sif di Wohngruppe (homecare) yang dihuni oleh 24 klien dewasa. Tugas saya termasuk memandikan, mengganti pakaian, memberi makan, hingga mengantarkan mereka ke dokter atau pengadilan,” ujarnya.

Bekerja di Jerman memberikan banyak pengalaman unik bagi Vitri, terutama dalam hal budaya kerja. Salah satu perbedaan mencolok adalah ketegasan mengenai jam kerja dan ketepatan waktu.

“Saya pernah kena tegur atasan karena masih berada di kantor 15 menit setelah jam kerja berakhir. Saya pikir nggak apa-apa stay lebih lama, supaya kerjaannya cepet selesai. Saya langsung disuruh pulang dan dibilang kerjaannya bisa diselesaikan saat saya datang lagi ke tempat kerja,” ungkapnya.

Ketegasan aturan juga berlaku bagi pekerja asing. Tidak seperti warga Jerman yang bisa beralih profesi dengan lebih fleksibel (Quereinsteiger), pekerja asing di Jerman harus memiliki pekerjaan yang sesuai dengan ijazahnya untuk mendapatkan visa kerja.

“Misalnya, saya ijazahnya S1 pendidikan bahasa Jerman, ya harus kerja di bidang pendidikan dan nggak bisa kerja sebagai pegawai bank atau di bidang administrasi,” lanjutnya.

Banyak orang memiliki ekspektasi tinggi mengenai gaji di Jerman dengan mengonversikan ke rupiah. Menurut Vitri, itu adalah kekeliruan besar. Meski gaji yang diterima dalam Euro tampak wow, biaya hidup di Jerman tak kalah tinggi, bahkan pajak penghasilan bisa mencapai 45 persen.

Baca Juga  Timnas Indonesia Pernah Naik Pesawat Kelas Ekonomi 24 Jam, STY Ungkap Kisah di Baliknya

“Bisalah cukup menabung, jajan, jalan-jalan, mengirim ke orang tua tapi kalau berpikiran akan langsung punya uang miliaran dalam waktu singkat itu nggak realistis,” katanya.

Baik Ade maupun Vitri sepakat bahwa kunci sukses bekerja di luar negeri adalah kesiapan mental dan kemampuan beradaptasi. Ade menekankan pentingnya keberanian untuk bermimpi.

“Kalau mimpi saja tidak berani, bagaimana bisa melangkah? Mulai saja dulu, selangkah demi selangkah,” kata Ade.

Sementara itu, Vitri menekankan pentingnya belajar bahasa lokal sebelum berangkat. “Menguasai bahasa lebih dari sekadar syarat visa, tapi sangat membantu dalam kehidupan sehari-hari dan pekerjaan. Juga, riset tentang biaya hidup, lingkungan, dan aturan sebelum memutuskan pergi,” pesannya.

Meski mendapat kehidupan yang baik di luar negeri, keduanya tetap berharap untuk kembali ke Indonesia suatu saat nanti. “Saya ingin pulang, menua, dan makan makanan Indonesia,” kata Ade.

Sedangkan Vitri berharap bisa mendirikan homecare bagi penyandang disabilitas di tanah air.

Kisah mereka menunjukkan bahwa bekerja di luar negeri bukan sekadar mengejar penghasilan besar. Tetapi juga perjalanan panjang yang membutuhkan kerja keras, ketahanan mental, dan kesiapan menghadapi tantangan budaya. Bagi yang ingin mencoba, pastikan mimpi itu berakar kuat dalam diri sendiri, bukan hanya karena mengikuti tren.

Di dalam negeri, ketatnya kualifikasi seperti batasan usia kerap menjadi kendala bagi para pencari kerja. Sebaliknya, di negara maju seperti Australia, sistem rekrutmen lebih fleksibel dan terbuka, termasuk bagi pekerja asing.

“Di sini tidak ada batasan usia, tidak ada syarat minimal tinggi badan. Bahkan CV yang dipakai cuma selembar tanpa foto, tanpa info pribadi, seperti tanggal lahir, misalnya,” beber diaspora Indonesia yang telah memperoleh permanent residence dan memiliki usaha rumah makan di Australia, Arip Hidayat.

Bekerja di Australia juga lebih fleksibel. Pekerja bisa memiliki lebih dari satu pekerjaan dalam sehari, misalnya pagi menjadi barista di kafe dan malamnya menjadi driver taksi. “UMR di sini sekitar Rp 240 ribu per jam. Kalau mau nambah pendapatan, bisa cari pekerjaan lain di tempat berbeda karena di satu perusahaan maksimal hanya 38 jam per minggu,” ungkapnya.

Baca Juga  Muhammad, Dosen Unesa Konseptor Aplikasi Statistik Bola Voli VTIS, Kini Sudah Digunakan Empat Tim Proliga

Namun, kompetisi semakin ketat seiring dengan bertambahnya jumlah orang yang masuk ke Australia. Selain itu, ijazah dari Indonesia maupun negara lain seperti Jepang dan Korea tidak serta-merta diakui, sehingga pekerja harus memulai karier mereka dari nol.

“Kalau ingin bertahan lama, sebaiknya memiliki keahlian di bidang yang memang sedang dibutuhkan negara tersebut,” kata Arip saat dihubungi Jawa Pos pada Jumat (21/2).

Beberapa sektor yang saat ini banyak membutuhkan tenaga kerja di Australia meliputi kesehatan, pendidikan, hospitality, dan teknologi. Pekerjaan sebagai pelayan restoran atau di sektor pertanian lebih mudah didapatkan meski tanpa pengalaman. Mereka yang ingin naik tingkat dalam kariernya juga bisa mengikuti pelatihan dan sertifikasi.

“Tapi harus siap, sigap, dan gesit beradaptasi dengan standar keinginan yang diminta oleh si pemberi kerja. Jadi bagaimana kita bekerja itu harus efektif, efisien, siap mental, kuat fisik, dan pinter mencari peluang sehingga bisa bersaing dengan pekerja dari negara lain,” tegas pria yang kerap membagikan tips bekerja di Australia lewat Instagram @ujangaripp itu.

Meski demikian, menurut Arip sebanding dengan keuntungan yang diperoleh. Selain gaji tinggi, budaya kerjanya lebih profesional minim bullying dan diskriminasi, serta hak pekerja terlindungi.

“Di Australia jam kerja maksimum 38 jam per minggu. Kalau misalnya kita disuruh lebih dari itu, untuk jam kerja ke-39, perusahaan harus membayar 2 kali lipat gaji. Kita juga bisa melapor kalau dieksploitasi dan bakal dapat ganti rugi,” jelasnya. (lai/nor/jpg)

Bagikan:

Berita Terkini