Butuh sembilan kali revisi bagi Kukuh untuk merampungkan cerpen berjudul Hier Rust. Cerpen berlatar masa kolonial Hindia Belanda dan era kekinian ini sukses mengantarkannya pada capaian Top 10 Emerging Writers UWRF 2025. Karya para cerpenis terbaik dari bumi Nusantara.
SHOLEH HILMI QOSIM, Surabaya
“KENANGAN adalah hal yang aneh. Kenangan dalam benak kita menghadirkan masa lalu dalam bentuk yang ganjil,” ungkap Martin Suryajaya, pengarang buku Kiat Sukses Hancur Lebur, menggambarkan eksistensi kenangan.
Mungkin kutipan itu pula yang diamini Kukuh, Dosen Bahasa dan Sastra Inggris FIB Unair. Sejak Oktober 2024 lalu, Kukuh bersama koleganya di FIB Unair menggarap naskah pengajuan memori kolektif bangsa Makam Eropa Peneleh.
Deretan makam berarsitektur Eropa dan dokumen-dokumen lawas mengguratkan sebuah memori pertalian antara bangsa Nusantara dengan bangsa Eropa. Merekam jejak-jejak peninggalan kolonialisme dalam bentuk berbeda di salah satu sudut Kota Pahlawan. Salah satu penanda yang luput dari pandangan masyarakat awam itu dikemas apik dalam cerpen berjudul Hier Rust. Dalam bahasa Indonesia artinya Di Sini Terbaring.
“Saat membaca ratusan halaman arsip-arsip Makam Eropa Peneleh, ada beberapa dokumen berupa surat-surat yang isinya menggugah perasaan,” terang peraih Penghargaan Piala Citra FFI 2021 kategori Kritik Film tersebut.
Salah satu dokumen yang diselami Kukuh adalah surat-menyurat salah seorang keturunan Belanda kepada Pemerintah Kota Surabaya. Dalam surat tersebut, si penulis menanyakan keberadaan makam sang ayah yang terbaring di Makam Eropa Peneleh.
Korespondensi berbahasa Belanda itu menggugah intuisi Kukuh untuk menyajikan potongan masa lalu dalam bentuk imajinatif namun berbasis realis. Sebagaimana Pramoedya Ananta Toer yang menyuguhkan kompleksitas hubungan kolonialisme dalam Tetralogi Pulau Buru.
“Ini kalau saya sajikan ke dalam penulisan sejarah, maka bentuknya apa adanya, plain. Maka saya olah menjadi cerpen agar lebih bernyawa,” ujar Kukuh.
Potongan kata hingga penggalan kalimat terlarut dalam cerpen sepanjang 3.500 kata itu. Kukuh menjahit satu latar cerita ke latar yang lain hingga merepresentasikan Surabaya sebagai kota warisan budaya.
“Saya ingin Surabaya ini juga bisa dicitrakan sebagai kota warisan dunia. Karena Surabaya memang potensial dan layak untuk itu,” terangnya.
Sadar ceritanya berbasis realis, Kukuh mengangankan detail cerita tidak bersifat anakronis atau melampaui lintasan zaman. Setiap detil latar mulai dari tempat, waktu, hingga suasana disesuaikan dengan setting zamannya. Sehingga dia tak sungkan untuk menampung kritik dan tanggapan dari kolega lintas departemen.
“Saya merevisi total hingga sembilan kali. Baik karena pertimbangan aspek naratif maupun historis,” sambungnya.
Ratusan arsip dalam bahasa Belanda menjadi referensi bergizi bagi Kukuh untuk menjalin cerita. Kurang lebih intensif tiga bulan menulis, naskah tersebut lantas dikirimkan ke Ubud Writers & Readers Festival 2025 pada Februari lalu. Pada April, Kukuh mendapat informasi, cerpennya menjadi 10 terbaik dari 647 naskah yang dikurasi oleh sastrawan nasional seperti Ratih Kumala, penulis novel Gadis Kretek.
Cerpennya bahkan akan diterbitkan ke dalam antologi berbahasa Indonesia dan Inggris oleh Penguin, penerbit buku sastra terkemuka di dunia.
“Rencananya nanti akhir Oktober akan ada semacam launching buku. Para finalis diundang ke sana untuk berdiskusi soal isi cerpen dengan publik luas,” tandasnya. (jpg)