Dalam ibadah haji, ada satu titik yang menandai dimulainya perjalanan ruhani menuju Baitullah: miqat. Miqat bukan sekadar lokasi geografis, melainkan tempat calon jemaah haji menanggalkan identitas duniawi dan melafalkan niat ihram. Untuk memulai transformasi batin untuk memenuhi panggilan Allah SWT.
Bagi calon jemaah haji Indonesia gelombang pertama yang saat ini berada di Madinah, Bir Ali atau Dzulhulaifah adalah titik itu. Di sinilah, pada Sabtu 10 Mei 2025, sebanyak tujuh kloter pertama, sekitar 2.800 calon jemaah haji, akan memulai perjalanan darat mereka menuju Makkah, dalam keadaan berihram.
“Teman-teman di sini bersiap menyambut para Duyufurrahman, menyambut tamu-tamu Allah, menyambut calon jemaah haji di parkiran Bir Ali,” ujar Kadaker Madinah M. Luthfi Makki, Kamis (8/5).
Menurutnya, pendorongan dari Madinah ke Makkah akan berlangsung bertahap setiap hari hingga 25 Mei, seiring rotasi jemaah gelombang pertama yang telah menyelesaikan masa tinggal sembilan hari di Madinah.
Jejak Rasulullah SAW di Dzulhulaifah: Awal Miqat dan Umrah Hudaibuyah
Bir Ali bukan hanya titik logistik. Di sini menyimpan sejarah yang sangat penting dalam tradisi haji umat Islam. Pada tahun ke-6 Hijriah, Rasulullah SAW bersama sekitar 1.400 sahabat berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk menunaikan umrah. Perjalanan ini kemudian dikenal dalam sejarah sebagai Umrah Hudaibiyah.
Sebelum masuk ke Tanah Haram, rombongan berhenti di sebuah tempat bernama Dzulhulaifah, sebuah lembah subur yang dikelilingi pepohonan akasia. Di tempat itulah Rasulullah mengenakan pakaian ihram, berwudu, salat dua rakaat, lalu berniat umrah.
Momen itu menjadi titik awal penetapan miqat makani—batas tempat memulai ihram bagi penduduk Madinah dan siapa pun yang melewati jalur ini menuju Makkah.
Sejak saat itu, Dzulhulaifah diabadikan dalam hadits-hadits sahih sebagai miqat bagi Madinah. Dan tempat yang dulu hanya lembah sunyi itu kini berkembang menjadi kompleks megah bernama Bir Ali.
Bir Ali dan Masjid Asy-Syajarah: Bukan Sekadar Nama
Di kalangan jemaah Indonesia, nama Bir Ali lebih akrab di telinga dibanding Dzulhulaifah atau Masjid Asy-Syajarah. Namun sebenarnya, ada perbedaan mendasar antara ketiganya.
Dzulhulaifah adalah nama asli kawasan lembah tempat Rasulullah mengambil miqat. Masjid Asy-Syajarah adalah nama masjid yang kini berdiri di lokasi beliau dahulu berteduh di bawah pohon sebelum berihram. Nama “asy-syajarah” sendiri berarti pohon, merujuk pada peristiwa tersebut.
Sementara itu, Bir Ali berarti “sumur Ali”. Ada dua riwayat utama mengenai asal nama ini. Yang pertama menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib menggali banyak sumur di wilayah ini untuk kebutuhan jemaah.
Riwayat kedua mengaitkan nama itu dengan Sultan Ali bin Dinar dari Darfur, yang memperbaiki fasilitas kawasan ini saat berhaji pada akhir abad ke-19.
Kini, nama Bir Ali digunakan untuk menyebut seluruh kawasan miqat, termasuk Masjid Asy-Syajarah, area parkir, fasilitas wudhu, kamar mandi, dan pelataran luar yang digunakan sebagai titik pemberangkatan bus jemaah menuju Makkah.
Saat Jawa Pos mengunjungi Bir Ali pada Jumat (9/5), kawasan ini tengah bersolek menyambut puncak kedatangan jemaah. Aspal jalan utama diperbaiki. Tembok luar masjid dicat ulang. Di dalam masjid, beberapa bagian karpet sedang diganti. Para tukang tampak sibuk bekerja, mayoritas di area luar.
Pemerintah Arab Saudi tampaknya ingin memastikan bahwa titik penting ini nyaman dan layak menyambut jutaan jemaah dari berbagai bangsa, termasuk dari Indonesia yang setiap tahunnya menyumbang kuota terbanyak.
Namun, di balik semua fasilitas itu, tantangan utama tetap ada: waktu yang sangat terbatas. “Proses miqat biasanya idealnya 15 menit. Tapi bagi jemaah lansia atau berkebutuhan khusus, bisa memakan waktu hingga satu jam,” jelas Luthfi.
Dengan ribuan jemaah yang harus miqat setiap hari, efisiensi waktu menjadi sangat krusial. Kepala Seksi Khusus (Kaseksus) Bir Ali, Muhammad, menjelaskan bahwa waktu maksimal yang disediakan untuk satu kloter di Bir Ali hanyalah 15 menit.
“Kita usahakan 15 menit. Tapi kadang bisa sampai 45 menit hingga satu jam kalau ada jemaah lansia atau yang lambat turun dari bus,” ujarnya.
Untuk itu, pihaknya meminta seluruh ketua kloter, karom, dan karu untuk mengingatkan jemaah agar sudah berwudu dan mengenakan ihram sejak dari hotel. “Ini bisa memangkas waktu secara signifikan. Mereka bisa langsung salat dan niat, tidak perlu antre ke kamar mandi,” tambahnya.
Miqat di Atas Bus? Sah untuk Lansia
Petugas juga memberi perhatian khusus bagi jemaah lansia dan disabilitas. Mereka tidak diwajibkan turun dari bus untuk melakukan miqat.
“Kita harapkan mereka cukup berniat dari dalam bus saja. Itu sah secara syariat. Cuaca sangat panas dan jarak dari parkiran ke masjid cukup jauh,” ujar Muhammad. Kebijakan ini disampaikan ke setiap pimpinan kloter untuk diteruskan ke rombongan, agar jemaah rentan tidak dipaksakan turun hanya demi formalitas.
Dalam satu-dua hari ke depan, Bir Ali akan dipenuhi ribuan jemaah. Mereka datang dari Madinah, membawa kerinduan dan harapan. Di sinilah, untuk pertama kalinya, kalimat Labbaik Allahumma Labbaik perlu diucapkan dengan hati yang bergetar.
Bir Ali bukan hanya tempat singgah. Tapi gerbang awal, tempat seluruh perjalanan spiritual ini dimulai. Dari sinilah, calon jemaah haji Indonesia mengawali langkahnya menuju Makkah, menuju Ka’bah, menuju pertemuan yang paling hakiki dengan Allah SWT. (jpg)