Penghobi Tanaman Surabaya Manfaatkan Kayu sebagai Media Tanam, Tonjolkan Kombinasi Supaya Artistik dan Natural

ARTISTIK: Tanaman yang ditanam dengan media kayu memiliki karakteristik unik dengan perawatan yang sama sekali tidak merepotkan.

Seiring dengan berkembangnya tren di dunia tanaman, pemanfaatan kayu sebagai media tanam menjadi salah satu yang digemari. Selain perawatan yang terbilang tidak sulit, konsep itu turut menonjolkan sisi artistik nan estetis. Kayu kamboja maupun sonokembang bisa menjadi pilihan.

 

MEMELIHARA tanaman tidak melulu harus memakai metode konvensional. Apalagi bagi penghobi yang tidak suka menjadikan pot sebagai media tanam tanah. Ternyata ada tren menarik yang mulai digandrungi sebagian penghobi. Yakni, pemanfaatan kayu sebagai media tanam untuk menciptakan tampilan yang lebih unik dan estetis.

Seorang penghobi asal Surabaya, Heri Susanto, telah menekuni konsep tersebut selama bertahun-tahun. Tidak sedikit orang yang akhirnya menjadi pelanggan tetap lantaran terkesima dengan hasil tangannya. Memiliki karakteristik unik dengan perawatan yang sama sekali tidak merepotkan. “Ada sekitar lima tahun. Banyak kafe atau perorangan yang pakai,” ujarnya kemarin (18/5).

Menurut dia, kayu dapat diaplikasikan sebagai media tanam di hampir semua jenis tanaman. Namun, dia lebih sering menggunakan beberapa jenis tanaman tertentu yang umum ditemui. Mulai Platycerium, anggrek, Tillandsia, bahkan di kawasan Eropa mulai banyak yang menggunakan tanaman sukulen. “Paling umum memang tanaman itu, tapi tidak tertutup kemungkinan tanaman yang lain,” kata dia.

Baca Juga  Mudik Lebaran 2024 dan Nostalgia Jalur Lawas Hutan Saradan, Kini Hanya Ramai Pemotor

Tren itu menunjukkan masih banyak peluang yang dapat dieksplorasi untuk pengembangan konsep tersebut. Tak usah khawatir, penggunaan kayu sebagai media tanam tak mengganggu pertumbuhan tanaman. Asalkan, tanaman tetap mendapatkan perawatan dan penyiraman rutin secara berkala.

“Tanamannya enggak mati, memang butuh jenis yang cocok seperti Platycerium kadaka,” ungkapnya.

Lantas, kayu apa yang paling cocok untuk mendukung konsep itu? Menurut Heri, karakteristik kayu itu haruslah kuat dan memiliki bentuk yang estetis. Tentu saja, semua bergantung keinginan dan bujet dari konsumen. Kalau sudah tidak memikirkan biaya, konsumen sudah pasti memilih kayu kualitas istimewa. “Pakai limbah kayu yang sudah mengering,” tutur pria 52 tahun tersebut.

Baca Juga  Deretan Suami Istri dan Bapak-Anak yang Sama-Sama Jadi Anggota DPR RI

Kayu yang paling sering digunakan adalah sonokembang dan kayu kamboja. Kadang ada pula beberapa penghobi yang menggunakan kayu stigi yang berstatus dilindungi. Walaupun, mereka mengambil kayu yang telah memfosil, bukan fosil kayu. Heri tak pernah menggunakan kayu jati. Memang kayu jati termasuk kuat, tetapi tidak memiliki karakteristik yang dicari. “Setiap kayu itu punya bentuk dan daya tahan masing-masing,” jelas dia.

Pemilihan kayu itu tak boleh sembarangan dan harus menyesuaikan jenis tanaman. Salah-salah malah membuat tanaman atau kayu saling menutupi sehingga ukuran dan bentuknya harus proporsional. Sekaligus menyesuaikan bentuk dan ukuran ruangan. Bisa di kamar, ruang tamu, taman, ataupun teras.

“Biasanya, kalau di taman atau kafe sering dikombinasikan dengan adanya kolam supaya terkesan nuansa hutan,” terang Heri.

Baca Juga  Angela Lopez-Lara, Mahasiswi PhD Musikologi Universitas Complutense Madrid: Eksplorasi tentang Gamelan di Pameran Dunia Paris 1889

Gaya atau style pembuatan dari setiap penghobi tidaklah sama. Namun, rata-rata mereka terinspirasi dari alam sehingga menonjolkan kesan natural. Alhasil, jarang yang melapisi kayu tersebut dengan pelitur lantaran menghasilkan tampilan yang mengilap. Alternatifnya, menggunakan pelapis yang lebih ringan bersifat water-based. “Proses cari kayu bisa hunting dari alam atau beli ke perajin kayu,” paparnya.

Jika penghobi ingin memiliki desain kayu tertentu, ternyata juga bisa melalui penggabungan. Memang cukup rumit, yakni lebih dulu melakukan pengeboran sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Itu dilakukan supaya kayu lebih kokoh dibandingkan menempelkannya langsung dengan lem. Saat ini tren tersebut mulai digandrungi banyak penghobi, terlebih dengan harga yang bervariasi. “Ada yang paling murah itu Rp 40 ribu. Paling mahal pernah sampai Rp 10 juta,” jelas pemilik Gembong Javanicus tersebut. (dho/c14/ai/jpg/uno)

Bagikan:

Berita Terkini