Sebagai pelayan tamu Allah, para petugas haji Indonesia menjadi garda terdepan untuk melindungi para jemaah saat mengalami masalah. Berikut laporan Aris Imam Masyhudi yang baru pulang dari Tanah Suci.
—
“IBU tidak usah menjemput saya di bandara. InsyaAllah nanti setelah selesai bertugas, saya langsung pulang ke rumah.” Ucapan itu disampaikan M. Faisal Putro Utomo kepada ibunya, Suci, lewat sambungan telepon jelang kepulangannya dari Tanah Suci setelah menjalankan tugas sebagai petugas kesehatan kloter. Awalnya, sang bunda ingin menjemput putra tercintanya di Bandara Soekarno-Hatta.
Bukan berarti Faisal tak mau disambut. Namun, dia memilih menuntaskan tugasnya sebagai petugas kesehatan kloter.
Sebab, saat itu ada sejumlah jemaah haji di kloternya, JKG 11, yang masih butuh perawatan. “Setelah sampai bandara, saya langsung mendampingi mereka hingga ke rumah sakit. Baru saya bisa pulang,” kata dokter muda itu.
Selama di Tanah Suci, dokter yang berdinas di Rumah Sakit (RS) Polri itu juga menghabiskan sebagian besar waktunya bersama para jemaah yang sakit. “Bahkan, ketika banyak jemaah yang butuh penanganan, dalam sehari saya dan tim kesehatan lain istirahat tak sampai 5 jam,” katanya.
Kisah Faisal hanya secuil dari deretan cerita perjuangan petugas haji yang tergabung dalam petugas penyelenggara ibadah haji (PPIH). Sejak dari tanah air hingga selama berada di Makkah dan Madinah, mereka menjalankan tugasnya mendampingi para jemaah haji.
Tak hanya ”mewakafkan” diri untuk para jemaah, mereka juga tak segan meninggalkan sementara rangkaian ibadah yang hendak dijalani. Seperti pengalaman Masrida Fatmawati. Dokter pendamping jemaah haji kloter 31 embarkasi Surabaya itu seakan tak pernah istirahat atau healing barang sejenak. Bahkan, menunda rencana ibadahnya.
Salah satu cerita yang tak bisa dilupakan dokter berusia 31 tahun itu adalah saat hendak melaksanakan tawaf Ifadah, salah satu ibadah wajib haji, di area Kakbah, Masjidilharam, Makkah. Saat itu, dokter asal Pasuruan tersebut sudah bersiap memasuki gerbang masuk Masjidilharam untuk kemudian mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh kali putaran.
Namun, belum memasuki gerbang, sebuah pesan singkat via aplikasi percakapan masuk ke gawainya. Isi pesan itu bikin Masrida menghentikan langkahnya memasuki masjid. Jemaah kloternya sedang mengalami kritis akibat gangguan jantung di hotel tempatnya menginap.
Tanpa pikir panjang, sang dokter mengurungkan rencana tawaf Ifadah. Dia kembali ke hotel dan langsung menuju kamar hotel tempat jemaah itu terbaring. Dia langsung memeriksa pasiennya, lalu bersama petugas lain membawa ke klinik kesehatan sektor 9 di kawasan Misfalah, Makkah, untuk pelaksanaan tindakan darurat.
“Alhamdulillah, jemaah itu bisa diselamatkan. Kami benar-benar bersyukur. Tidak apa-apa harus menunda tawaf. Bagi kami, usaha menjaga keselamatan jemaah tetap jadi prioritas,” katanya.
Pengalaman serupa dirasakan dr Rizki Nur Fitria. Dokter kloter 34 embarkasi Surabaya itu juga nyaris tak pernah sepi panggilan. “Termasuk saat para nakes istirahat, tetap ada jemaah yang minta tolong,” ucapnya.
Kisah menarik lain datang dari Intan Minofa, dokter pendamping salah satu kloter embarkasi Aceh. Selama di Tanah Suci, dokter muda itu mendampingi dua jemaah ”spesial”: pasangan suami istri yang sama-sama menyandang disabilitas. Yang satu tak bisa bicara, satunya lagi tunarungu.
Keduanya sama-sama lansia dan kerap mengalami gangguan kesehatan. Terutama sang kakek yang bernama Hasan Basri. Dua kali dia harus dirawat ke klinik karena gangguan tiroid yang membuat tenggorokannya dilubangi. “Penyebabnya sama. Karena beliau makan makanan yang seharusnya tidak boleh dikonsumsinya, yakni kurma dan roti. Sebab, bisa menyumbat tenggorokan,” katanya.
Selama di Tanah Suci, Intan dan tim kesehatan lainnya memberi pendampingan khusus kepada pasangan lansia itu. Keduanya juga ditempatkan pada kelompok jemaah risiko tinggi (risti). Meski demikian, Intan kagum dengan semangat gigih kakek-nenek itu. “Karena itu, kami berusaha memberikan yang terbaik kepada beliau. Termasuk pada jemaah lainnya,” katanya.
Bukan hanya tenaga kesehatan kloter yang menjadi pendamping langsung jemaah, tim medis yang bersiaga di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) di Madinah maupun Makkah juga tak kalah sibuknya selama musim haji. Saat Jawa Pos berada di KKHI Madinah awal Juni lalu, nyaris tak ada petugas kesehatan yang diam. Maklum, waktu itu sebagian besar bed di klinik penuh dengan jemaah haji yang butuh perawatan.
Bukan hanya dokter dan tenaga medis yang sedang menangani pasien, para personel tim pembantu kesehatan (TPK) juga tak kalah sibuk. Seperti yang dilakoni Siti. Perempuan itu terlihat menyuapi pasien yang sedang terbaring. Tak hanya satu pasien. Dia menyuapi pasien lainnya secara bergiliran.
“Dihabiskan ya, Pak. Pelan-pelan. Biar asupan gizinya terjaga,” ucapnya kepada seorang jemaah yang tengah duduk di bed.
Siti dan rekan-rekannya juga membantu semua kebutuhan dasar pasien. Termasuk membersihkan hingga mengganti pakaian dalam jemaah. “Sebab, tidak semua jemaah yang dirawat di KKHI didampingi keluarga,” kata Kasi Kesehatan PPIH Arab Saudi dr Karmijono.
Dokter yang sarat pengalaman mendampingi jemaah sakit selama di Tanah Suci itu menceritakan, tugas para tenaga kesehatan di KKHI lebih kompleks. Sebab, mereka tak sekadar menangani jemaah yang sakit, tapi juga memberi pendampingan terhadap aktivitas ibadah mereka.
Salah satu yang banyak dilakukan adalah pendampingan jemaah yang menjalani perawatan lanjutan di RS Arab Saudi. “Mereka ini membutuhkan penanganan lebih kompleks,” katanya.
Contohnya, para jemaah yang baru selesai dirawat di RS Arab Saudi di Madinah yang hendak diberangkatkan menuju Makkah untuk menjalani umrah wajib sekaligus persiapan ibadah puncak haji. Setelah keluar dari rumah sakit, mereka menginap dulu di KKHI sebelum diberangkatkan ke Makkah dengan ambulans. “Nanti ada tim kami yang mengantar,” katanya. (*/c18/fal/jpg)