Perjalanan hidup dan kunjungan ke Mumbai menggerakkan Prof dr R Sunaryadi Tejawinata SpTHT (K-OnK) FICS FAAO PGD PallMed (ECU) untuk menerapkan perawatan paliatif. Pesannya, jangan hanya melihat fisik pasien, tapi juga semua unsur yang membentuk manusia.
SEPTINDA AYU P.-NADIA ANNASTASIA, Surabaya
USIANYA memang tidak lagi muda. Sehari-hari aktivitas Prof Sunaryadi Tejawinata juga harus dibantu dengan kursi roda dan didampingi perawat.
Meski begitu, guru besar (gubes) Universitas Airlangga (Unair) itu masih sangat bersemangat menceritakan perjalanan hidupnya saat mengembangkan pelayanan paliatif di Indonesia.
“Saya tahun ini berusia 90 tahun. Kelihatan tidak?” celetuknya, lalu tersenyum kepada Jawa Pos di kediamannya di Jalan Diponegoro, Surabaya, Jumat (12/7) pekan lalu.
Prof Sun –sapaan akrabnya– lantas menunjukkan piagam dan medali penghargaan yang baru saja diperoleh dari Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri) atas mahakarya kebudayaan bidang kemanusiaan dan lingkungan hidup. Penghargaan itu dianugerahkan dua hari sebelumnya (10/7).
Mengutip WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), perawatan paliatif adalah pendekatan yang meningkatkan kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) serta keluarga mereka yang menghadapi tantangan terkait dengan penyakit yang mengancam jiwa. Baik secara fisik, psikologis, sosial, maupun spiritual.
Prof Sun mengembangkan pelayanan paliatif bersama sang istri, almarhumah Prof dr Netty Ratna Hutari Tejawinata SpA (K-HemOnk) PGD PallMed (ECU). Dia tergerak melakukannya didasari perjalanan hidupnya yang tidak mudah.
Ayah Prof Sun adalah seorang guru dan ibunya pedagang sate. Sejak kecil, dia sering berangkat sekolah tanpa alas kaki karena kondisi ekonomi yang sulit.
Prof Sun menyebut, dokter umumnya hanya melihat kondisi pasien yang sakit dari kasatmata (fisik) atau tubuh. Namun, sebetulnya semua unsur yang membentuk manusia itu ikut sakit.
Dalam kasus pasien penyakit kronis, lanjut pendiri Unit Perawatan Paliatif RSUD dr Soetomo-Fakultas Kedokteran Unair tersebut. Mereka tidak hanya merasakan nyeri pada tubuh. Namun, mereka juga merasakan sendirian.
Itulah yang menambah berat penderitaan pasien. Apalagi jika anggota keluarga tidak lagi peduli.
“Akhirnya, pasien merasakan loneliness. Ini yang paling berat dirasakan pasien,” ungkap pria kelahiran 13 Agustus 1934 tersebut.
Ayah Ina Indahyani Kesumadewi dan Edwin Satya Prakasa Sunaryadi itu pernah mendapati pasien kanker payudara dari keluarga miskin. “Awalnya, pasangannya peduli. Namun, lama-lama pasangannya mulai jarang perhatian karena rata-rata di tubuh pasien kanker payudara muncul borok dan bau,” jelas dia.
Fokus utama perawatan paliatif adalah meningkatkan kualitas hidup bagi mereka yang menderita penyakit kronis. Karena itulah, bagi Prof Sun, seorang dokter dalam bekerja tidak boleh hanya mengandalkan kepandaian atau akal, tetapi juga harus menggunakan hati. “Paliatif bisa dipelajari sambil praktik karena tidak ada di dalam pelajaran kedokteran,” tuturnya.
Dia menyadari bahwa tidak mudah dan membutuhkan waktu lama melihat seluruh unsur pada pasien. Mulai kondisi fisik (tampak mata), hubungan antara pasien dan keluarga, hingga kondisi rumah, pendidikan, dan lingkungannya.
“Di sinilah yang dinamakan ilmu kedokteran paliatif,” ujar laki-laki yang kisahnya ditulis dalam buku berjudul Sepenggal Kisah Bapak Paliatif Indonesia pada 2017 itu.
Penggerak lain ketertarikannya terhadap pengobatan paliatif adalah kunjungannya ke Bombay (kini Mumbai), India, pada 1991. Dalam kunjungan tersebut, dia melihat pasien kanker yang dirawat di rumah sakit terlihat nyaman.
Prof Sun bersama istrinya pun belajar tentang ilmu paliatif lebih dalam dengan mengambil pendidikan postgraduate tentang pengobatan paliatif di Edith Cowan University, Australia. Lalu, pada 19 Februari 1992, didirikan Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri di RSUD dr Soetomo-Fakultas Kedokteran Unair. Poli perawatan paliatif di RSUD dr Soetomo itu ditetapkan sebagai proyek panduan perawatan paliatif di Indonesia dengan SK (Surat Keputusan) Menkes No 0588/RSKS/SK/VI/1992.
Dibutuhkan kerja keras selama Prof Sun memberikan pelayanan paliatif. Bahkan, Prof Sun kerap memberikan pelayanan home care. Dia mendatangi rumah-rumah pasien yang berada di gang-gang sempit.
Banyak tantangan yang dihadapinya. Namun, itu tak pernah mematahkan semangatnya. Hingga akhirnya, Prof Sun dikukuhkan sebagai Bapak Paliatif Indonesia oleh Masyarakat Paliatif Indonesia berdasar SK No 03/SK/MPIP/II/2012 pada Februari 2012.
Sementara itu, atas dasar rasa kemanusiaan dan kepedulian terhadap pasien-pasien paliatif, drg Lizza Christina Hendriadi mendirikan Yayasan Paliatif Surabaya sebagai bentuk dukungan kepada Prof Sun. “Kami memang saling kenal meski bukan yang sangat dekat,” ungkapnya.
Para relawan paliatif yang tergabung dalam yayasan tersebut rutin mengunjungi para pasien yang kondisinya sulit agar bisa langsung datang ke rumah sakit. “Untuk yang datang home care ini, tentunya ada dokter, perawat, fisioterapis, hingga pemuka agama,” papar Lizza.
Setelah pelayanan paliatif mulai berkembang di Indonesia, Prof Sun masih tetap sering pergi ke luar negeri untuk melihat penerapannya. Di antaranya, ke Amerika Serikat, Australia, dan Jepang.
“Saya ingin menyerap ilmu dari negara lain. Bahkan, orang Amerika mengakui bahwa pelayanan paliatif yang saya lakukan lebih baik daripada di negaranya,” ujar Prof Sun. (*/c14/ttg/jpg)