Tim dari Kemensos datang menemui dan menggelar berbagai lomba untuk anak-anak Suku Anak Dalam Jambi, khususnya kelompok Tumenggung Ngalembo, Ngalembu, Jelitai, Nyenong, Minang, dan Ngirang. Sedangkan para pria dewasa memanfaatkan kesempatan itu untuk curhat berbagai masalah yang mengimpit.
ZALZILATUL HIKMIA, Jambi
MATA Arga, 9, berbinar. Banyak rumbai-rumbai bertema merah putih dipasang di sekitar permukiman sementaranya dalam hutan di sekitar Batanghari, Jambi.
Tak lama, pernak-pernik lainnya seperti bendera dari plastik, bola-bola warna-warni, hingga kerupuk-kerupuk yang digantung mulai dikeluarkan.
Seulas senyum tipis muncul di bibirnya. Sambil melompat kegirangan, dia menggandeng seorang temannya untuk mendekat. Dia tak tahu apa yang terjadi. Yang ada di benaknya, bakal ada permainan seru setelah ini.
Mereka duduk mengitari tim pekerja sosial (peksos) Kementerian Sosial (Kemensos) yang datang Selasa (20/7) siang pekan lalu itu. Ada sekitar 25 anak-anak usia 2–10 tahun di kelompok Suku Anak Dalam yang dipimpin Tumenggung Ngelembo, Ngalembu, dan Jelitai ini. Kebanyakan dari mereka hanya memahami bahasa adat setempat, bahasa Kubu.
“Siapa yang tahu ini apa?” ujar salah seorang petugas peksos sambil mengacungkan bendera Merah Putih dari plastik.
Tak ada jawaban yang terucap. Selain kendala bahasa, mereka pun tak tahu itu apa. Perlahan, para petugas mulai memperkenalkan apa itu bendera Merah Putih.
Berbagai lomba pun dihelat, di antaranya lomba makan kerupuk. Mereka juga belajar soal apa itu kemerdekaan. Lagu-lagu wajib nasional seperti Hari Merdeka tak lupa dikumandangkan.
Arga berharap bisa sering bermain seperti itu. Dia mau terus sekolah sampai nanti bisa menggapai cita-citanya. “Nak jadi tentro (mau jadi tentara, Red),” ungkap bocah yang duduk di kelas III tersebut.
Naban, 9, turut mengamini. Dengan terbata, dia mengungkapkan rasa gembiranya telah dikunjungi oleh Mensos Tri Rismaharini dan jajarannya. “Senang sekali,” ujarnya.
Di saat para anak dan ibu bergembira, para bapak justru tengah berdiskusi serius dengan Risma. Mereka meminta agar bisa mendapat perhatian negara. Terutama soal hak atas tanah, kesehatan, dan pendidikan.
Tumenggung (ketua adat masyarakat suku Anak Dalam) Ngelembo mengaku, kelompoknya semakin terpinggirkan. Banyaknya perusahaan tambang dan perkebunan sawit yang babat alas membuat mereka kesulitan punya tempat tinggal. Padahal, selama ini mereka hidup di dalam hutan. Belum lagi, mereka harus melangun ketika sedang ditimpa kemalangan.
Melangun itu tradisi yang sangat kental di Suku Anak Dalam. Mereka harus berpindah dari permukimannya ke lokasi lainnya ketika ada anggota keluarga atau kelompok yang meninggal. Melangun seolah jadi obat untuk mengobati kesedihan akibat ditinggal orang tersayang.
Lama waktu melangun tak menentu. Ada yang tiga bulan, bahkan setahun. Selama melangun, mereka mendirikan tenda sederhana dengan mengikat ujungnya ke pepohonan. Tak ada alas, tak ada tembok. Mereka tidur hanya menggunakan daun-daun kering.
Selain tergeser tempat tinggalnya, Ngalembo juga mengeluhkan air sungai yang tercemar akibat limbah perusahaan yang dibuang sembarangan. Padahal, mereka masih sangat bergantung pada alam.
Tapi, Ngalembo juga merasa lega atas kunjungan Risma. Baginya, itu seperti simbol perhatian pemerintah atas kondisi masyarakat Suku Anak Dalam. “Bagi kami, ini tidak sederhana,’’ tuturnya.
Bertepatan dengan peringatan hari kemerdekaan, beberapa orang Suku Anak Dalam sempat menjadi korban kriminalisasi. Mereka ditangkap dan dipenjarakan atas tuduhan pencurian buah kelapa sawit oleh perusahaan selaku pihak yang memiliki izin usaha di wilayah hutan tempat mereka tinggal.
Padahal, mereka tak mengambil dari pohon, melainkan yang sudah jatuh ke tanah. Itu pun terpaksa sekali mereka lakukan lantaran tak ada yang bisa dimakan. Mereka menjual buah tersebut untuk ditukar dengan beras.
Bagi Tumenggung Nyenong yang ditemui di lokasi lainnya di area hutan Batanghari bersama dua tumenggung lain, Minang dan Ngirang, merdeka itu ketika tak terusir dari hutan yang mereka tinggali sejak zaman nenek moyang. Hutan bagi mereka bukan hanya tempat tinggal, tapi juga sumber kehidupan.
Nyenong sendiri tengah menjalani tradisi melangun. Istrinya baru saja berpulang. “Ini cara saya meluapkan kesedihan. Dengan melangun. Semakin jauh semakin hilang (sakitnya, Red),” jelasnya.
Risma dan tim butuh lebih dari tiga hari untuk melacak keberadaan kelompok adat yang dipimpin Nyenong itu. Baginya, menempuh jarak ratusan kilometer dari Kota Jambi tak jadi masalah asal bisa bertemu dengan mereka.
Risma menyerahkan 270 unit terpal, 125 unit tikar, 250 lembar kasur, 500 lembar selimut, 135 unit tenda keluarga portabel, dan 1 unit tenda dome/tenda induk. Bantuan sandang juga disalurkan, seperti sarung untuk laki-laki dan perempuan, pakaian dalam, handuk, pakaian anak, serta pakaian dewasa.
Selain itu, bantuan sembako, alat kebersihan diri, alat permainan edukatif dan nutrisi anak, serta alat olahraga juga diberikan. Bantuan tersebut diberikan kepada 125 keluarga dari dua kelompok Suku Anak Dalam. (*/c6/ttg/jpg)