Di tengah seringnya pemerintah kelabakan diserang kejahatan siber, terdapat setitik harapan menjaga kedaulatan digital Indonesia. Harapan itu muncul dari kerja sama lembaga keamanan siber Awan Pintar dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Mereka memasang 15 detektor guna mendeteksi serangan siber secara real time.
ILHAM WANCOKO, Jakarta
“Dalam kegiatan apa pun, sering kali saya tanya kepada setiap orang apakah ada yang memiliki anti-malware di smartphone-nya,” ujar Yudhi Kukuh, founder Awan Pintar. Hampir 100 persen menjawab tidak memiliki.
Kondisi minimnya pemahaman keamanan siber di smartphone masyarakat umum itu dianalisis Yudhi. Berbeda dengan virus di komputer atau laptop yang sering kali terasa jika device terjangkit virus, malware, atau penyakit elektronik lainnya.
“Virus dan malware di laptop dan PC itu terasa mengganggu sekali. Membuat lambat, mencuri file, bahkan menghentikan operasi. Beda dengan karakter virus di smartphone,” urainya.
Sebaliknya, hampir semua virus dan malware di ponsel aktif dengan tidak memengaruhi kinerja smartphone. Kinerja gawai tidak melambat. “Tapi, data identitas sudah dicuri. Ibaratnya, semua data di handphone sudah tersalin. Ini gila kan,” tuturnya.
Nah, hampir sama dengan itu, kondisi pertahanan digital Indonesia lemah. Tahu-tahu data identitas bocor di berbagai lembaga negara dan kementerian. Dari problem itulah, Awan Pintar bekerja sama dengan APJII untuk mendeteksi serangan siber secara real time. Artinya, ketika terjadi serangan, saat itu pula serangan terdeteksi. “Detektor ini karya anak bangsa,” ucapnya.
Saat ini telah terpasang 15 detektor yang tersebar di sejumlah titik milik APJII. Di antaranya, DKI Jakarta, Banten, Jogjakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat-Timur, Lampung, Jambi, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Sulawesi-Maluku-Papua, Riau, Sumatera Barat, dan Kalimantan. “Dengan detektor ini, serangan siber terdeteksi,” katanya.
Pada semester I 2023, Awan Pintar dan APJII mampu mendeteksi 347 juta serangan siber ke Indonesia. Namun, pada semester I 2024 naik drastis 619 persen. Tepatnya, terdapat 2.499.486.085 atau hampir 2,5 miliar serangan siber menyasar Indonesia yang dideteksi. “Angka serangan siber yang begitu besar ini tentunya harus diwaspadai semua pihak,” ujarnya.
Dari serangan siber itu, terdeteksi sepuluh negara sumber serangan terbanyak ke Indonesia. Yakni, Amerika Serikat, Turki, Brasil, Tiongkok, Hongkong, Singapura, Prancis, Pakistan, Jerman, dan Iran.
“Sumber serangan siber terbanyak dari Amerika Serikat dengan persentase 22,34 persen,” ungkapnya. Detektor tersebut juga mampu mendeteksi IP address pelaku penyerangan ke Indonesia.
Selama bekerja mendeteksi serangan siber, kejadian paling pedih adalah kurangnya ketertarikan dalam bidang riset dan pengembangan (RnD) digital. Masyarakat Indonesia masih tidak tertarik pada keamanan siber atau digital. Ada pula berbagai permintaan superkilat, 1,5 jam selesai. “Seperti di film-film,” ujarnya, lantas tertawa.
Keamanan siber juga harus menyeluruh. Percuma jika petinggi sebuah institusi dilindungi, tapi sistem juga digunakan hingga tingkat terbawah. “Karena jaringan data itu terhubung. Serangan bisa masuk dari siapa saja,” paparnya.
Detektor yang dimiliki Awan Pintar bekerja di sejumlah titik milik APJII. Keduanya bekerja sama untuk mendeteksi serangan siber. Namun, keduanya menyadari adanya potensi ancaman terhadap infrastruktur informasi yang dimiliki bangsa Indonesia.
“Kami ini asosiasi yang memiliki infrastruktur informasi dan telekomunikasi. Tapi, pemahaman betapa pentingnya infrastruktur tersebut mendukung kedaulatan bangsa dalam dunia maya belum dipahami,” kata Kabid Keamanan Siber APJII Arry Abdi Syalman.
Dia berharap seiring transisi pemerintahan kepada presiden terpilih Prabowo Subianto, kepekaan terhadap kedaulatan digital meningkat. “Kami berharap banyak kepada pemimpin baru agar lebih peka terhadap kedaulatan dunia digital, bukan hanya dunia nyata. Ya agar tidak terjadi kiamat digital di Indonesia,” tegasnya.
Yudhi juga menuturkan, terdapat pola serangan siber yang diduga terhubung dengan event tertentu. Misalnya, saat judi online (judol) menjadi pembicaraan atau viral. Pola yang ditemukan saat judol menjadi sorotan, serangan siber dilakukan dengan tujuan tertentu.
“Seakan-akan ingin mengalihkan pembahasan judol,” terangnya. Pola tersebut berkali-kali terjadi dan hampir selalu berdekatan dengan pembahasan judol. Apalagi, seiring dengan semakin tegasnya pemerintah memberantas judi online. “Kasus terakhir, saat marak judol, terjadi serangan pada Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2,” ujarnya. (*/c7/dio/jpg)