Cerita Narendra Wicaksono Bersepeda dari Klaten sampai Makkah, Tidak Mau Bantuan Cuma-Cuma

GENERASI KETIGA TRAGEDI NAKBA 1948: Narendra Wicaksono dan anak-anak Palestina di kamp pengungsian Sukhna Amman, Yordania.

Tragedi Kanjuruhan, Malang, pada 1 Oktober 2022 melekat kuat di ingatan Narendra Wicaksono. Dia bertualang ke berbagai negara untuk menyuarakan ketidakadilan dalam peristiwa itu. Selama sembilan bulan, Narendra bersepda dari Klaten, Jateng, hingga Makkah, Arab Saudi.

 

AGUS DWI PRASETYO, Jakarta

 

GAWAI pintar milik Narendra tiba-tiba berdering di sela-sela obrolan malam itu. Di layar ponsel tertera nomor dengan kode area luar negeri.

Kepada Jawa Pos, dia meminta izin menerima panggilan tersebut. “Assalamualaikum, Ukhti,” katanya memberi salam kepada lawan bicaranya di seberang telepon.

Karena tidak ada jawaban, Narendra mengakhiri panggilan. Beberapa menit berselang, gawai yang ditaruh di atas meja itu kembali berdering. Pemuda asal Ceper, Klaten, Jawa Tengah (Jateng), tersebut kembali meminta izin untuk menerima panggilan. Tapi, lagi-lagi tak ada jawaban. “Saya sering ditelepon sama orang Gaza. Karena setahu mereka, saya aktivis yang bisa menolong mereka keluar dari Gaza,” katanya kepada Jawa Pos, Rabu (11/9) pekan lalu.

Narendra kembali ke Indonesia pada 9 September lalu. Dia baru saja menuntaskan petualangan panjang mengunjungi berbagai negara. Berangkat dari Klaten pada 15 Januari 2024, pria 27 tahun itu menuju Batam, Kepulauan Riau, lalu menyeberang ke Johor Bahru, Malaysia. Dari Malaysia, dia melanjutkan perjalanan ke Thailand, India, Turki, Yordania, dan berakhir di Arab Saudi.

Bertualang ke banyak negara jadi impiannya sejak 2019. Keinginan tersebut memuncak usai tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022. Sebagai pengagum aktivis HAM Munir Said Thalib, darah aktivis Narendra mendidih ketika mengetahui tragedi kelam itu. Kebetulan, dia merupakan penggemar sepak bola.

Baca Juga  Gunung Ruang Erupsi Lagi, Pos Pengamatan Hujan Batu dan Digoyang Gempa

“Jadi, berkeliling dunia dengan sepeda dan membawa pesan aktivisme,” ujarnya.

Saat bertualang di wilayah Indonesia, Narendra banyak dibantu jaringan suporter sepak bola di setiap provinsi yang disinggahi. Misalnya di Palembang, Sumatera Selatan. Dia dibantu suporter Sriwijaya FC, Singa Mania. “Ultras Garuda juga bantu saya. Mereka menghubungkan saya dengan suporter-suporter lokal,” ungkapnya.

Malaysia jadi negara pertama yang disinggahi Narendra. Bermodal duit pas-pasan, dia menyusuri satu per satu provinsi di negeri jiran tersebut untuk menuju Thailand. Dalam sekali perjalanan gowes, dia bisa menempuh jarak 100 kilometer dari pagi hingga sore atau sekitar 12 jam. Memasuki waktu malam, dia mencari masjid secara random.

Karena tidak ada target waktu untuk sampai ke Makkah, Narendra beristirahat sembari menyelami kultur masyarakat setempat. Dia pun banyak mendapat bantuan warga setempat. Terutama bantuan logistik. “Orang-orang Malaysia luar biasa sekali menyambut musafir,” tuturnya.

Meski demikian, dia tidak mau menerima bantuan tersebut secara cuma-cuma. Narendra selalu meminta pekerjaan kepada setiap orang yang ingin memberikan bantuan. Seperti mengaduk semen hingga menebang pohon.

“Hasil sumbangan itu sangat membantu saya untuk bertahan cukup lama,” papar pemuda yang sempat berprofesi sebagai driver ojek online (ojol) tersebut.

Baca Juga  Inisiatif-Inisiatif Kemanusiaan dari Indonesia untuk Palestina: Dari Pasukan Perdamaian, Tenaga Medis, sampai Tampung Ribuan Anak

Dari Perlis, Malaysia, Narendra kemudian masuk selatan Thailand. Begitu singgah di Negeri Gajah Putih tersebut, dia langsung merasakan kesenjangan budaya (gap culture). Ya, tidak sama dengan Malaysia, makanan halal di Thailand cenderung sulit didapatkan.

Selama dua pekan, Narendra menempuh perjalanan ratusan kilometer menuju Bangkok. Di ibu kota negara tersebut, dia mempertimbangkan untuk melanjutkan perjalanan dengan pesawat menuju India. Sebab, jalur darat menuju Myanmar tidak memungkinkan ditembus. Sementara opsi bersepeda lewat Yunan, Tiongkok, terganjal biaya visa yang mahal. “Belum lagi visa (Tiongkok, Red) hanya dikasih waktu 15 hari,” terangnya.

Karena pertimbangan tersebut, Narendra mengurus visa India dan Pakistan. Bersama sepedanya, dia terbang ke New Delhi, India. Setiba di sana, Narendra singgah di asrama Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) setelah mendapat akses dari Kedutaan Besar RI (KBRI) untuk Negara Anak Benua itu.

Di India, Narendra kembali ingin melanjutkan perjalanan dengan bersepeda menuju Pakistan. Namun, gelombang panas yang mencapai suhu di atas 40 derajat Celsius membuatnya kolaps. Sehingga, dia mengurungkan niat dan mengubah rute menuju Turki. “Waktu itu saya ditolong sama seorang profesor, karena saya tumbang di dekat kampus,” ujarnya.

Atas saran profesor itu, Narendra lantas terbang ke Istanbul, Turki. Setiba di negara tersebut, Narendra mendapat sambutan hangat jaringan PPI setempat. Dia juga sempat bekerja serabutan di rumah seorang distributor hasil pertanian. “Saya dulu pernah kerja di kantor distributor di Bogor. Mereka punya cabang di Istanbul,” ungkapnya.

Baca Juga  Hari Kanker Sedunia 2025: Cerita dari Penyintas Kanker, Ajak Normalisasi Deteksi Dini

Dari Istanbul kemudian menuju Ankara, lalu terbang ke Amman, Yordania. Perjalanan udara kembali dipilih lantaran tidak memungkinkan untuk menembus Syria via darat. Setiba di Amman, langsung ke KBRI setempat dan meminta kontak lembaga kemanusiaan yang bisa memfasilitasi bertemu dengan pengungsi-pengungsi Palestina.

Bertemu dengan para pengungsi Palestina juga merupakan salah satu tujuan Narendra. Dia ingin melihat langsung bagaimana kehidupan para korban konflik perang Palestina-Israel tersebut. Setelah mendapat akses, Narendra pun gowes ke gedung-gedung pengungsi Gaza dan Syria milik Unicef (Badan Penerus Dana Anak PBB) dan UNHCR (Badan Pengungsi PBB) di Yordania.

Bagi Narendra, cerita pengungsi itu memiliki kesamaan dengan keluarga korban tragedi Kanjuruhan, Malang. Mereka sama-sama menjadi korban pengaburan peristiwa kekerasan yang sistematis. Upaya itu membuat perhatian terhadap korban kekerasan dan ketidakadilan menjadi teralihkan.

Petualangan panjang Narendra berakhir di depan Baitullah, Makkah, Arab Saudi, pada 17 Juli lalu. Di depan Kakbah, Narendra tak henti-hentinya bersujud dan bersyukur. Apalagi, tanggal itu bertepatan dengan hari ulang tahun ibunya. (*/c17/dio/jpg)

Bagikan:

Berita Terkini