Dua Tahun Tragedi Kanjuruhan: Achmad Hadi Mulyo yang Cacat Seumur Hidup, Tetap Semangat untuk Bangkit

CACAT PERMANEN: Achmad Hadi Mulyo, korban patah kaki dalam Tragedi Kanjuruhan diapit kedua orang tua, Senin (30/9).

Kaki Achmad Hadi Mulyo panjang sebelah pasca Tragedi Kanjuruhan dua tahun silam. Dia pun harus mengubur dalam-dalam cita-cita menjadi pemain sepak bola.

 

BAGUS PUTRA PAMUNGKAS, Kota Malang

 

PASCA Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022, kaki Achmad Hadi Mulyo tidak lagi sama. Kaki kirinya lebih tinggi dari kaki kanannya.

Saat Jawa Pos berkunjung ke kediamannya di kawasan Klayatan, Kota Malang, tadi malam (30/9), dia baru pulang sekolah tepat pukul 20.30. Cara berjalan siswa kelas XII SMK Negeri 2 Malang yang akrab disapa Adi itu itu dengklang.

“Hati orang tua mana yang nggak sedih?,” kata Didit Handoko, ayahanda Adi, kepada Jawa Pos.

Sebab, Adi, dipastikan cacat permanen. Tidak bisa pulih. Petaka itu bermula saat laga Arema FC kontra Persebaya Surabaya pada 1 Oktober dua tahun lalu. Adi yang izin ke orang tuanya untuk belanja pakaian thrifting justru berbelok arah menuju Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, tempat digelarnya pertandingan bertajuk Derbi Jawa Timur tersebut.

Dia datang bersama tujuh kawannya. “Saya nonton di gate 11, tapi di tribun berdiri. Paling bawah,” kata Adi yang saat kejadian itu masih berusia 16 tahun.

Begitu gas air mata ditembakkan petugas keamanan, dia terjatuh. Kaki kanannya terinjak-injak. Sampai tulang di paha kanannya patah.

Baca Juga  Mudik Lebaran 2024 Melintas di Kanjuruhan, Durian dan Bakso Bisa Jadi Pilihan

Adi langsung dilarikan ke RSUD Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang. Sabtu malam masuk, Minggu siang langsung dilakukan operasi. Pasca operasi, Adi beberapa kali nglindur. “Jangan masuk ke tribun 2. Awas, jangan masuk! Dia selalu bilang seperti itu saat tidur, kayak trauma. Pikirannya masih ada di stadion,” sambung sang ibu, Ruliana.

Seminggu berselang, dia pulang ke rumah. Di situ, dia selalu mengangkat kaki kanannya selama sepekan. Tidak pernah menyentuh tanah. Sebulan kemudian, Adi sudah mulai memakai kruk.

Dia menggunakan kruk selama hampir dua bulan. Yang mengejutkan, saat masih memakai kruk itu, Adi sempat ikut unjuk rasa di Balai Kota bersama Aremania lainnya.

Kenapa dia sampai nekat ikut demo? “Saya ingin menyampaikan unek-unek,” katanya.

Baca Juga  Mudik Lebaran 2024 Mampir di Rest Area Km 626A Solo–Kertosono, Nikmati Sensasi Rehat di Tengah Hutan Jati

Dia merasa jengkel kepada pihak yang menyemprotkan gas air mata. Didit juga sampai heran kenapa sang anak masih kuat ikut demo. “Itu yang saya salut. Dia seperti punya semangat juang yang luar biasa,” jelas sang ayah.

Bahkan, selama setahun, dia melakukan ritual unik. “Saya selalu minum susu dan vitamin selama setahun penuh. Di tahun kedua, saya berhenti karena saya sudah merasa eneg sama susu,” kata Adi yang kini berusia 18 tahun.

Setahun setelah tragedi yang merenggut 135 nyawa itu, Adi benar-benar pulih. Tidak ada lagi rasa sakit yang dia rasakan.

Tapi, ya itu: jalannya jadi dengklang. Dengan kondisi seperti itu, Adi ternyata tetap mampu tampil cuek. Dia sempat diejek keluarga dengan panggilan deglok. “Tapi saya balas jalan dengan lebih pincang lagi. Biar yang menghina saya minder,” kata bocah kelahiran 23 April 2006 itu.

Teman-teman di sekolah juga tidak pernah membully dirinya. “Saya tidak mau kalah dengan kondisi saya,” jelas Adi.

Tapi, ada satu hal yang membuat Adi kadang merasa ngenes. “Cita-cita saya sebagai pemain sepak bola sudah tertutup. Saya paham dengan kondisi saya,” bebernya.

Baca Juga  Kemewahan Anthurium Variegata dalam Growth Box, Tahan terhadap Jamur, Warna dan Daun Lebih Bagus

Sebagai gantinya, dia sering main futsal. “Ya nekat saja. Kadang jadi kiper, kalau bosan ya jadi striker,” katanya.

Adi memang punya mental yang kuat. Tapi, tidak demikian dengan jurang tuanya. Didit, sang ayah, kadang kepikiran dengan masa depan anaknya. “Saya mikir, apa bisa dia kerja sesuai dengan keinginannya? Bagaimana kalau anak saya mau jadi PNS? Apakah bisa dia mendapat kesempatan seperti orang-orang lain? Itu yang selalu saya pikirkan sampai sekarang,” beber Didit.

Didit merasa korban luka tragedi Kanjuruhan seperti dianggap angin lalu. Itu terbukti ketika Arema FC menjadi juara Piala Presiden 2024 kemarin. Saat itu, pihak manajemen diinfokan memberi bantuan kepada 135 keluarga korban meninggal. “Tapi yang korban luka ini gimana? Padahal luka yang dialami anak saya ini akan dirasakan seumur hidup?,” terang Didit.

Tapi, Adi tidak mau mengemis bantuan. Dia ingin menjadi sosok yang mandiri. Saat ini, dia akan menjalani program magang dari sekolahnya. “Saya berharap semua berjalan lancar, kemudian saya bisa mendapat apa yang saya harapkan di masa depan,” katanya. (*/ttg/jpg)

Bagikan:

Berita Terkini