Prof Riyanarto Sarno, Ciptakan Sistem untuk Bantu Operasi Bedah Otak, Jadi Langganan Jajaran Top 2% Scientist Worldwide

KARYA INOVATIF: Prof Riyanarto Sarno mengecek prototipe sistem stereotaktik di Departemen Teknik Informatika ITS, Surabaya.

Berbagai riset dan inovasi Prof Riyanarto Sarno di bidang teknologi artificial intelligence menempatkannya dalam jajaran Top 2% Scientist Worldwide sejak 2020. Dia menjamin, jika sudah diproduksi massal, alat pembantu dokter untuk bedah otak bakal lebih murah dan bagus.

 

SEPTINDA AYU PRAMITASARI, Surabaya

 

HARIMAU mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading. Lalu, dosen mati meninggalkan apa?

Pertanyaan yang berangkat dari pepatah itu kerap mengganggu Prof Riyanarto Sarno. Sebagai dosen, dia ingin meninggalkan warisan pengetahuan, karya ilmiah, dan dampak akademis yang telah diciptakan, baik melalui riset maupun inovasi.

Dia juga ingin meninggalkan inspirasi yang terus hidup dalam jiwa para muridnya.

“Saya ingin apa yang saya kerjakan saat ini bisa terus memotivasi generasi muda,” ujarnya kepada Jawa Pos di Laboratorium Manajemen Cerdas Informasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Kamis (27/9) terakhir September lalu.

Keinginan itu akhirnya mendorong guru besar Departemen Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tersebut melakukan banyak riset dan inovasi di bidang teknologi artificial intelligence (AI) untuk alat kesehatan. Beberapa karyanya adalah alat pendeteksi Covid-19 melalui bau ketiak, i-Nose C-19; sistem stereotaktik berupa perangkat keras BrainRy dan perangkat lunak BrainNAV untuk mendukung operasi bedah otak; hingga LecSens, alat pendeteksi logam berat pada sungai dan pantai.

Baca Juga  Institusi Pendidikan Berupaya Tanamkan Integritas kepada Anak Didik

Atas kiprahnya tersebut, akademisi 64 tahun itu masuk jajaran Top 2% Scientist Worldwide. Prof Drs Ec Ir Riyanarto Sarno MSc PhD –gelar akademik lengkapnya– sudah masuk daftar bergengsi yang disusun kampus ternama, Universitas Stanford, Amerika Serikat, dan dipublikasikan oleh Elsevier tersebut secara beruntun sejak 2020.

Selama 46 tahun menjadi dosen di ITS, hasil riset yang ditelurkan Riyan –sapaan akrabnya– tidak hanya dalam bentuk publikasi. Tapi juga berupa prototipe hingga hilirisasi.

“Sistem stereotaktik sudah mau ke tahap uji klinis. Sementara LecSens sedang dikembangkan,” katanya.

Dalam tiga tahun terakhir, angka sitasi Riyan di jurnal terindeks Scopus 4.197. Sementara itu, sitasi Google Scholar 7.438 dan sitasi Web of Science 1.024. Dia menyadari, Indonesia masih jauh dari kemandirian teknologi.

Di bidang kedokteran saja, sebagian besar alat kesehatannya impor. Karena itulah, riset dan inovasi yang dihasilkan suami Dra Winta Anindyarini tersebut lebih banyak di bidang kesehatan.

Saat ini riset alat kesehatan sistem stereotaktik ciptaannya sudah masuk ke tahap uji klinis. Riset itu telah dikembangkannya sejak 2021. Dia bekerja sama dengan Dr dr Achmad Fahmi SpBS (K) SubsNF FINPS, dokter bedah dari RSUD dr Soetomo, untuk membuat alat kesehatan dengan teknologi AI guna mendukung operasi bedah otak berupa sistem stereotaktik.

“Ini salah satu hasil riset saya yang segera diuji klinis di RSUD dr Soetomo,” kata peraih peringkat pertama Sinta Award 2019 itu sambil menunjukkan prototipe sistem stereotaktik ciptaannya kepada Jawa Pos.

Sistem stereotaktik adalah metode medis yang digunakan untuk perawatan bedah yang memungkinkan dokter melakukan intervensi pada area spesifik dalam tubuh dengan akurasi tinggi. Sistem tersebut menggunakan peta tiga dimensi (3D) yang dihasilkan dari pemindaian seperti computed tomography (CT) scan atau magnetic resonance imaging (MRI) untuk membimbing instrumen medis ke target yang sangat presisi. Contohnya, tumor otak atau area kecil lain.

Baca Juga  Kisah Inspiratif Hendri Alejandro Memajukan UMKM Kampung Halamannya, hingga Raih Rekor MURI

“Jadi, memudahkan dokter dalam memvisualisasikan kepala pasien sebelum melakukan operasi,” imbuhnya.

Selama ini, alat sistem stereotaktik masih terbilang langka di Indonesia. Padahal sangat penting untuk membantu dokter dalam melakukan operasi bedah otak.

Harganya pun sangat mahal. “Di dalam e-katalog, harganya sekitar Rp 4–7 miliar. Alat yang saya buat ini harganya di bawah Rp 3 miliar. Lebih bagus dan murah,” katanya.

Riyan menuturkan, kebutuhan alat stereotaktik di rumah sakit sangat tinggi. RSUD dr Soetomo pun baru punya alat tersebut pada 2022 dan satu-satunya RS di Jawa Timur (Jatim) yang memilikinya. (*/c19/ttg/jpg)

Bagikan:

Berita Terkini