Veryl Hasan masuk jajaran Top 2% Scientist Worldwide 2024 berkat kegigihannya 10 tahun meneliti ratusan ikan. Berharap pemerintah bisa lebih agresif melindungi aset keanekaragaman hayati.
SEPTINDA AYU PRAMITASARI, Surabaya
IKAN membawa Veryl Hasan ke banyak tempat dan prestasi bergengsi. Saat ini, misalnya, dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPK) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu sedang di Jepang untuk meneliti ikan padi.
Ikan bersirip pari kecil itu bisa ditemukan di perairan tawar dan payau dari India ke Jepang, juga Kepulauan Melayu, terutama Sulawesi. Dosen 34 tahun tersebut berkolaborasi dengan ilmuwan di University of The Ryukyus.
Selama 10 tahun terakhir, Veryl memang menekuni riset tentang keanekaragaman hayati, khususnya ikan-ikan di Indonesia. Total sudah ratusan jenis ikan yang diteliti dan terpublikasikan di dalam jurnal-jurnal ilmiah terindeks Scopus.
“Hasil riset tentang keanekaragaman jenis ikan di Indonesia yang membawa saya sampai masuk ke dalam Top 2% Scientist Worldwide 2024,” katanya kepada Jawa Pos melalui daring Rabu (9/10).
Itu kali pertama dosen muda tersebut masuk jajaran bergengsi yang disusun Universitas Stanford itu. Veryl mengaku sejak kecil tertarik pada ikan.
Ketertarikan itu berlanjut hingga kuliah di tempat dia mengajar sekarang. Setelah bergabung sebagai dosen di FPK pada 2018, dia mulai lebih fokus berkecimpung dalam riset keanekaragaman ikan.
“Kurang lebih 10 tahun ini saya mulai meneliti tentang jenis ikan di Indonesia,” ujarnya.
Sampai saat ini, Veryl sudah melakukan riset hingga terpublikasi nasional dan internasional sekitar 60-an jurnal dengan jumlah sitasi rata-rata 600-an. Jumlah sitasi tersebut bersifat fluktuatif. Artinya, terus bertambah sewaktu-waktu.
“Sebenarnya, saya tidak pernah menargetkan secara khusus untuk bisa masuk ke dalam 2% scientist di dunia. Semua mengalir saja karena saya bekerja sesuai dengan passion,” imbuhnya.
TEMUAN MENGEJUTKAN
Beberapa penelitian yang dilakukan menghasilkan penemuan mengejutkan. Misalnya, lanjut laki-laki kelahiran 7 Februari 1990 itu, adanya ikan hiu di perairan air tawar (sungai) pada beberapa wilayah Indonesia.
“Sekitar 99 persen hiu hidup di laut. Ternyata dalam penelitian, saya menemukan sekelompok hiu yang hidupnya di sungai,” katanya tentang riset yang dia jalankan pada 2021 tersebut.
Temuan itu ada di Papua, Kalimantan, dan yang terbaru ditemukan di Sumatera. Saat ini temuan tersebut memang belum secara resmi diakui pemerintah. Tetapi sudah menjadi bukti bahwa keanekaragaman ikan hiu di Indonesia lebih kaya dari yang dibayangkan.
Veryl berharap dengan adanya penelitian tersebut, pemerintah serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bisa lebih agresif melindungi aset-aset keanekaragaman hayati karena secara keilmuan memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti.
“Kami sebagai peneliti hanya menyajikan data. Tindak lanjutnya sudah masuk pada level kebijakan pemerintah,” imbuhnya.
Veryl mengatakan, tantangan menjadi peneliti muda di Indonesia adalah terkait birokrasi dan administrasi. Padahal, untuk melakukan penelitian fokusnya pada luaran atau hasil yang didapat dari riset tersebut.
Namun, sering kali peneliti direpotkan dengan urusan administratif sehingga kadang luarannya terabaikan. “Saya beruntung di Unair akselerasi riset tinggi. Jadi, kami para peneliti mudah dalam melakukan riset,” katanya.
PENTINGNYA KOLABORASI
Veryl kerap melakukan kolaborasi dengan peneliti lain, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Karena itu, penting sekali meningkatkan jejaring.
“Tidak mungkin kita mencapai hasil atau luaran yang bagus tanpa kolaborasi. Dalam dunia penelitian, kita butuh jaringan yang kuat, khususnya mitra luar negeri,” ujarnya.
Semakin banyak kolaborasi, semakin banyak pula objek penelitian yang dilakukan bersama. “Sampai saat ini sudah ratusan jenis ikan yang saya teliti. Namun, untuk ikan-ikan yang spesifik juga ada, contohnya hiu di air tawar tadi,” kata dia.
Sebagai dosen, Veryl harus menjalani tridarma pendidikan. Tidak hanya bidang pendidikan, tetapi juga penelitian dan pengabdian masyarakat. Jadi, sangat berbeda dengan profesi peneliti penuh waktu seperti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Meski begitu, Veryl menjalani tugasnya sebagai dosen sekaligus aktif dalam melakukan riset dengan sangat enjoy. “Kunci utama bagi dosen sekaligus peneliti muda adalah konsistensi. Kita harus punya hasrat yang kuat dalam melakukan penelitian dan berusaha menjaga ritme agar tidak kendur,” ujarnya. (*/c6/ttg/jpg)