KH Afifudin Dimyathi meyakini, jalan dakwah lewat karya berbahasa Arab bakal makin banyak ditempuh ulama lain. Pesannya kepada para santri, ”membacalah lalu menulislah”.
IED RAHMAD RIFADIN, Jombang
“SAYA ini memang tidak bisa melucu. Jadi, memang ndak cocok dakwah di mimbar-mimbar besar seperti yang lain,” ucap Gus Awis, sapaan KH Afifudin Dimyathi, saat ditemui Jawa Pos di kediamannya di Jombang, Jawa Timur.
Beberapa saat sebelumnya, pada Jumat (18/10) pagi pekan lalu itu, dia baru saja mengisi kajian rutin untuk ribuan santrinya. Kajian rutin kitab Tafsir Hidayatul Qur’an di Asrama atau Ribath Hidayatul Qur’an yang berada di dalam kompleks Pondok Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang. Di kompleks asrama itu pula katib PBNU tersebut tinggal sehari-hari.
Dalam kajian itu, Gus Awis menjelaskan ayat demi ayat. Sementara itu, para santri mendengarkan dengan saksama sambil membuat catatan-catatan penting kecil pada kitab mereka masing-masing. Metode itu dalam dunia pesantren biasa disebut ngaji bandongan.
“Kenapa Islam diibaratkan sebagai hujan dalam ayat ini?” tanya Gus Awis dalam kajian tersebut.
“Lantaran bumi hidup karena ada hujan. Sedangkan hati juga hidup karena Islam,” jelas kiai lulusan Universitas Al Azhar, Mesir, yang telah menulis puluhan buku berbahasa Arab tersebut.
Puluhan Karya
Kitab Tafsir Hidayatul Qur’an yang dikaji pagi itu adalah karangan terbaru Gus Awis. Kitab empat jilid itu diterbitkan penerbit yang berbasis di Kairo, Mesir, Dar Al Nibras, pada akhir Desember 2023.
Ketua MUI Kabupaten Jombang tersebut sudah menulis puluhan buku. Semuanya menggunakan bahasa Arab. Di antaranya, Muhadarah fi Ilm Lughah al Ijtima’i (Dar Ulum al Lughawiyah, Surabaya, 2010), Mawarid al Bayan fi Ulum al Qur’an (Lisan Arabi, 2014), Safa al Lisaan fi I’rab al Qur’an (Lisan Arabi, 2015), al-Syamil fi Balaghat al-Qur’an (3 jilid, 2019), dan Jam’u al-‘Abir fi Kutub al-Tafsir (2 jilid, Lisan Arabi, 2019).
“Ide tulisan-tulisan itu amanat dari Allah. Semangat (menulis) muncul karena merasa bahwa ini sebuah kerja yang dikehendaki Allah Yang Maha Pemurah,” ucap Gus Awis.
KH Imam Jazuli, pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia 1 dan Pesantren Bina Insan Mulia 2 Cirebon, dalam salah satu tulisan di blog pribadinya menyebut Gus Awis sebagai penerus ulama Nusantara di Hijaz (Jazirah Arab). Dia menyebut putra almarhum Kiai Dimyati bin Romli At-Tamimi, mursyid (guru) Thoriqoh Mu’tabaroh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum, itu sebagai sosok ulama Indonesia saat ini yang mampu mewarnai dunia keilmuan Islam Timur Tengah dengan kitab-kitab bahasa Arab-nya.
Dua buku berbahasa Arab karya Gus Awis, yakni Asy-Syamil fi Balaghatil Qur’an dan Jam’u al-‘Abir fi Kutub al-Tafsir, sampai hari ini masih menjadi bacaan wajib mahasiswa Al Azhar, Mesir. Buku Asy-Syamil membahas nilai kesusastraan Alquran mulai surah Al Fatihah hingga An Nas. Sementara itu, kitab Jam’u al-‘Abir fi Kutub al-Tafsir menjelaskan metode penulisan lebih dari 440 kitab tafsir sepanjang sejarah Islam.
Gus Awis menyebut tantangan dalam menghasilkan karya tulis adalah dalam pencarian ide yang dibutuhkan atau penting bagi masyarakat. Seperti karya terbarunya, Tafsir Hidayatul Qur’an.
Ulama yang juga menempuh pendidikan di Khartoum International Institute for Arabic Language, Sudan, tersebut menyebut acara Fikih Peradaban yang digagas Nahdlatul Ulama (NU) dalam rangkaian 1 Abad NU 2023 menjadi salah satu inspirasi mewujudkan kitab tersebut.
Komunitas Santri Penulis
Rifqi Andika Maula Fatahna, salah seorang santri senior Gus Awis, menyebutkan, selain terus membimbing santri 24 jam di asrama, sang kiai juga selalu mendorong anak-anak didiknya untuk membaca dan menulis. Di asrama pesantren tersebut juga ada komunitas santri penulis sastra bernama Akar Jati.
“Pesan beliau berkali-kali ke kami itu adalah bacao terus nuliso (membacalah lalu menulislah),” ucap Rifqi.
Gus Awis menyadari, jalan yang dia tempuh untuk menulis kitab dalam bahasa Arab belum banyak ditempuh ulama Indonesia lain. Namun, melihat geliat akhir-akhir ini, dia yakin jalan sunyi itu akan ramai juga.
Beberapa ulama Indonesia juga mulai menerbitkan karya-karya mereka di Timur Tengah. “Apalagi sekarang ada Yayasan Nahdlatut Turats (milik NU) yang bergerak meneliti dan menghidupkan kembali turats-turats karya ulama Nusantara untuk kembali diterbitkan secara luas,” jelasnya. (*/c19/ttg/jpg)