TEKS SAMB UNGAN////
DOKUMENTASI Deby Fapyane
Di Kopenhagen, Denmark, Deby Fapyane memimpin tim riset yang mengembangkan material produk perawatan tubuh ramah lingkungan. Di Taichung, Taiwan, Achmad Roqhib Mabrur turut berada di balik lembaga yang melahirkan sertifikasi halal.
FAHMI SAMASTUTI, Surabaya, M. HILMI SETIAWAN, Jakarta
CELLUNGY, kata Deby Fapyane, lahir dari keresahan kolektif terhadap konsumsi plastik. Material itu perlahan merusak lingkungan. Dan, nantinya, manusia.
“Pada akhirnya, material itu kembali ke manusia lewat akumulasi di rantai makanan karena mikroplastik mencemari laut dan ’masuk’ di ikan,” ungkap alumnus Aarhus University, Denmark, itu kepada Jawa Pos yang menghubunginya Kamis (24/10) pekan lalu dari Surabaya.
Cellugy, perusahaan rintisan bioteknologi yang berbasis di Kopenhagen, Denmark, didirikan pada 2018. Intisari Cellugy bioteknologi fermentasi untuk memproduksi material bacterial cellulose buat personal care alias produk perawatan tubuh, seperti sabun, sampo, dan skincare.
Hingga tahun ini, Cellugy belum berstatus komersial. “Sehingga, saat testing produk dengan perusahaan, masih memakai material transfer agreement,” ujar alumnus S-1 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya itu.
Di Cellugy, Deby merupakan co-founder sekaligus chief scientific officer. Dia memimpin tim riset dan pengembangan atau R&D dalam menciptakan material.
“Material kami produksinya dari bakteri. Jadi, di awal, kami melakukan strain development, bagaimana bakteri ini kami kembangkan untuk menghasilkan produk sebanyak-banyaknya,” ungkapnya.
Nyaris 1 abad setelah momen bersejarah ketika para pemuda dan pemudi berkongres di Jakarta pada 27–28 Oktober 1928 dan kemudian diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda, kini banyak anak muda Indonesia yang menyebar ke penjuru dunia dan menorehkan prestasi masing-masing.
Di Taichung, Taiwan, misalnya, Achmad Roghib Mabrur turut berperan dalam proses kelahiran sertifikasi halal. Mahasiswa program S-2 jurusan master program of agricultural economics and marketing di National Chung Hsing University, Taichung, itu tergabung dalam Taiwan Halal Integrity Development Association (THIDA) dan bertanggung jawab dalam pengembangan sumber daya manusia bagian auditor serta advisor halal.
Per Maret lalu, THIDA akhirnya menjadi lembaga pertama yang diberi izin pemerintah setempat menerbitkan sertifikat halal. “Saya bersyukur karena sebagai orang Indonesia ikut terlibat di dalam proses kelahiran sertifikasi halal,” tutur pemuda 29 tahun asal Banyuwangi, Jatim, itu.
Bahan Aman buat Bumi
Cellugy mulai mengembangkan EcoFLEXY, material biodegradable generasi baru yang aman buat bumi. Dengan begitu, perusahaan produsen personal care itu memiliki opsi bahan pengganti dalam formulasi produk.
Cellugy, lanjut Deby, dirintis di Denmark lantaran Eropa memiliki tingkat awas cukup tinggi pada konsumsi plastik. Europe Chemical Agency telah merilis sejumlah regulasi dan daftar tentang bahan-bahan yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Hal itu juga didukung penuh oleh pihak otoritas dan masyarakat.
Deby menilai, material biodegradable terkini memang memiliki harga relatif lebih tinggi. Namun, dia optimistis produk personal care yang ramah bumi dan manusia bakal bisa lebih terjangkau.
“Kekuatan teknologi adalah mampu membuat produksi material yang lebih murah seiring waktu. Memang, butuh investasi besar di awal karena riset tadi. Tapi, setelah sampai di skala industri, saya rasa harganya akan lebih bisa diterima,” paparnya.
Makanan Hala di Rak Minimarket
Setidaknya, Mabrur bisa lebih tenang sekarang ketika lapar menyerang saat jam sudah beranjak menjelang tengah malam. Di rak-rak minimarket di Taichung, Taiwan, kota tempatnya menuntut ilmu sejak tiga tahun lalu, sudah tersedia makanan cepat saji bersertifikat halal.
“Sekarang sudah tidak kesulitan lagi,” kata Mabrur ketika dihubungi Jawa Pos dari Jakarta pada Jumat (25/10) pekan lalu.
Di Taiwan, semua tempat makan harus tutup setelah pukul 21.00. Hanya minimarket yang masih boleh buka.
Sebelum THIDA mendapat restu mengeluarkan sertifikat halal, sulit sekali mencari makanan yang bisa dipastikan halal. Kalaupun ada yang memasang logo halal, dan itu hanya di tempat tertentu, biasanya produk impor dan harganya cukup menguras kantong.
Keterlibatan Mabrur dalam THIDA bermula ketika diajak bergabung oleh rekannya, Andi Syahrullah Sulaimana, yang berkuliah di National Taiwan University. Untuk proses pengujian produknya, jelas Mabrur, ada pengujian lewat laboratorium. Yang diuji kandungan alkohol, gelatin, babi, dan sejenisnya.
Lewat THIDA, alumnus S-1 Jurusan Agribisnis Politeknik Negeri Banyuwangi tersebut juga turut mengedukasi masyarakat setempat bahwa halal tidak sebatas mengonsumsi produk yang bukan terbuat dari babi atau mengandung alkohol. Makanan berbahan unggas, jika prosedur pengolahan tidak benar, juga tidak memenuhi kriteria halal.
“Bagi saya, halal itu salah satu hak manusia sehingga harus dibantu pemenuhannya,” katanya. (*/c7/ttg/jpg)