Dinilai Ganggu Alur Pelayaran

ZONA RUMPUT LAUT: DKP Kaltara berupaya mengatasi penataan zona rumput laut yang semakin luas di perairan Kaltara.

TANJUNG SELOR – Penataan zona rumput laut yang semakin luas di perairan Kalimantan Utara (Kaltara) menjadi perhatian serius, karena dinilai mengganggu alur pelayaran.

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kaltara pun telah lakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut. Termasuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan integrasi dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) laut dan darat.

Menurut Kepala DKP Kaltara Rukhi Syayahdin, meski RTRW laut telah disusun. Namun, pihaknya sedang berupaya mengintegrasikannya dengan RTRW darat. Hal ini merupakan langkah penting mempercepat penyelesaian permasalahan yang ada. Terutama di daerah yang paling terdampak, yaitu Nunukan.

“Di Nunukan, alur pelayaran sangat terganggu. Bukan hanya sedikit, tapi sangat banyak,” terangnya, Senin (25/11).

Baca Juga  Gubernur Beri Peringatan, Jika ASN Terlibat Judi Online

Rukhi menegaskan penataan ruang laut, termasuk pengelolaan zona rumput laut harus segera dituangkan dalam bentuk peraturan daerah (Perda). Proses integrasi ini penting agar pembangunan di wilayah pesisir dan laut dapat berjalan seiring dengan tata ruang yang jelas.

Pentingnya kolaborasi antara RTRW darat dan laut juga menjadi sorotan. Ia berharap, dalam waktu dekat, regulasi yang mengatur pengelolaan ruang laut dan darat dapat segera diselesaikan. Karena hal ini akan menjadi dasar yang kuat untuk pembangunan di wilayah Kaltara.

“Kondisi saat ini memang sedang ditangani secara bertahap, dengan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat. Khususnya di daerah yang paling kritis, seperti di Nenukan,” ujarnya.

Baca Juga  Gunakan Pakaian dan Aksesoris Khas Kaltara

Ia mengungkapkan tantangan besar dalam pengelolaan ruang laut di Kaltara. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan ruang laut masih diberikan kepada kabupaten, dengan kewenangan 0-4 mil dari garis pantai, kemudian provinsi memiliki kewenangan 4-12 mil. Namun, setelah perubahan undang-undang, seluruh kewenangan pengelolaan laut kini berada di tangan provinsi. Provinsi mengelola 0-12 mil.

“Ini menjadi masalah utama, karena pengelolaan laut membutuhkan sumber daya yang sangat besar. Baik dari segi anggaran maupun pengawasan,” imbuhnya.

Rukhi mencontohkan kegiatan pengawasan di Sebatik yang membutuhkan anggaran minimal Rp 30 juta hanya untuk biaya bahan bakar (BBM) dan biaya operasional lainnya. Untuk kegiatan pengawasan di seluruh wilayah Kaltara, pihaknya mengalokasikan anggaran sebesar Rp 450 juta. Meski dengan jumlah yang terbatas, upaya tersebut terus berjalan.

Baca Juga  Penggunaan IKD Belum Capai Target

Ia optimis meskipun tantangan besar, upaya yang dilakukan oleh DKP Kaltara akan membuahkan hasil dalam waktu dekat. “Kami akan terus memaksimalkan penyelesaian masalah ini. Kami sudah bertahap melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat, dan ini akan terus kami lakukan,” ujarnya.

Dengan adanya integrasi RTRW dan pengelolaan ruang laut yang lebih terstruktur, diharapkan gangguan terhadap alur pelayaran dapat diminimalisir, serta pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Kaltara dapat berjalan lebih lancar dan berkelanjutan. (kn-2)

Bagikan:

Berita Terkini