TANJUNG SELOR – Penanganan stunting yang menjadi salah satu tantangan kesehatan publik utama di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) terus dilakukan. Bahkan informasinya, penanganan telah menunjukkan kemajuan yang signifikan.
Penurunan rata-rata stunting telah mencapai hasil yang baik dan terdapat perbedaan yang signifikan di lima kabupaten/kota. Secara signifikan, ada korelasi antara komitmen dengan hasil yang dicapai. Ini menunjukkan, upaya yang dilakukan harus terus dimaksimalkan untuk mencapai target penurunan stunting hingga di bawah 14 persen tahun 2024.
Bappeda Litbang Kaltara yang berperan penting dalam penanganan ini, akan meninjau usulan kegiatan periode 2025-2026. “Kami optimis jika kegiatan tersebut dilaksanakan sesuai aturan dan SOP, target penurunan stunting dapat terwujud,” singkat Asisten Bidang Administrasi Umum Setprov Kaltara Pollymart Sijabat, belum lama ini.
Sementara itu, Kepala Bappeda Litbang Kaltara, Bertius, juga menyampaikan rasa syukur atas penurunan angka stunting dari lebih dari 22 persen menjadi 17,41 persen berdasarkan hasil survei terbaru.
“Target kita pada tahun 2024, yang akan dievaluasi pada tahun 2025 adalah 14 persen,” ujarnya.
Pihaknya bersama kabupaten/kota bekerja maksimal. Artinya, seluruh daerah dan semua daya upaya dilakukan untuk menurunkan stunting. Meskipun target 14 persen tercapai, pihaknya terus berupaya menurunkan angka tersebut lebih jauh.
“Stunting merupakan indikator penting dalam manajemen penyelenggaraan pelayanan dasar,” imbuhnya.
Dengan intervensi yang tepat pada sejumlah komponen utama, ia berharap dapat berkontribusi pada terwujudnya ‘Indonesia Emas’ pada tahun 2045. Adapun wilayah dengan angka stunting tertinggi di Kalimantan Utara saat ini adalah Bulungan dengan 22,05 persen, diikuti Malinau 20 persen, serta Nunukan dan KTT masing-masing 15 persen.
Masih ada aspek yang perlu dianalisis untuk meningkatkan upaya penanganan stunting di wilayah-wilayah tersebut. Dengan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah dan dukungan dari berbagai pihak, Pemprov Kaltara bertekad mencapai target penurunan stunting dan berperan aktif menciptakan generasi yang lebih sehat dan berdaya saing tinggi,” jelasnya.
Sementara itu, masalah stunting menjadi salah satu penilaian Ombudsman Provinsi Kalimantan Utara. Kepala Perwakilan Ombudsman Provinsi Kaltara Maria Ulfa mengungkapkan, standarisasi gizi dalam pemberian makanan tambahan merupakan aspek krusial yang sering terabaikan.
Pihaknya menemukan dalam penanganan stunting, ada ketidakkonsistenan dalam pemberian makanan tambahan. Beberapa daerah memberikan makanan jadi, sementara yang lain memberikan bahan mentah yang terkadang tidak digunakan dengan benar.
“Tanpa adanya ahli gizi yang memastikan standar gizi terpenuhi, upaya penanganan stunting tidak akan efektif,” ujarnya.
Ahli gizi berperan penting dalam memastikan makanan yang diberikan tidak hanya memenuhi kebutuhan nutrisi. Tetapi disesuaikan dengan kondisi kesehatan dan kebutuhan spesifik setiap anak.
“Tanpa pengawasan ahli gizi, kami tidak dapat memastikan makanan tersebut benar-benar dikonsumsi oleh anak-anak yang membutuhkan,” terangnya.
Ombudsman juga menyoroti beberapa masyarakat masih menolak untuk mengakui mereka atau anggota keluarganya mengalami stunting. Hal ini menambah kompleksitas dalam penanganan masalah gizi di Kalimantan Utara.
Evaluasi penanganan stunting di tingkat kabupaten dan kota menunjukkan, masih ada daerah yang belum melibatkan ahli gizi dalam tim penanganan stunting. “Kami berharap dengan adanya 1.000 hari pertama kehidupan, setiap anak dapat menerima asupan gizi yang optimal untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan mereka,” harapnya. (kn-2)