TARAKAN – Wilayah Kalimantan Utara (Kaltara) yang tak memiliki pola musim membuat terjadinya hujan sepanjang tahun. Seperti hujan pada pertengahan Januari 2025 disebabkan oleh beberapa faktor.
Prakirawan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Tarakan Hermansyah menjelaskan, faktor tersebut di antaranya gelombang low frequency yang saat ini aktif di wilayah Kaltara.
Selain itu, adanya konvergensi angin atau perlambat kecepatan angin, serta peningkatan suhu permukaan laut yang juga diikuti oleh tingkat penguapan.
“Kalau penguapan tinggi sehingga pertumbuhan awan hujan berlebih beberapa hari ini. Termasuk juga untuk perlambatan kecepatan angina, menimbulkan pertumbuhan awan hujan,” katanya, Kamis (23/1).
BMKG juga memetakan adanya bulan-bulan tertentu yang diprediksi tinggi curah hujan. Berdasarkan kalender catatan curah hujan di Kaltara selama 30 tahun dan akumulasi hujan bulanan. Curah hujan tertinggi terjadi pada Maret dan November. Pemetaan itu juga mengacu pada equinox posisi matahari.
“Jadi kita punya data rata-rata curah hujan selama 30 tahun. Setiap tahun itu selalu hujan, tapi puncaknya terjadi di sekitar bulan Maret dan November,” tuturnya.
Jika dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainnya. Wilayah Kaltara tidak memiliki pola musim. Seperti Pulau Jawa memiliki dua musim yakni hujan yang terjadi sekitar Oktober hingga Maret dan kemarau diantara April dan September.
“Kita dengan wilayah lain polanya berbeda. Kaltara memiliki pola hujan ekuatorial, tidak punya musim,” tegasnya.
Hujan sepanjang tahun di Kaltara terdiri dari 3 kategori, ringan, sedang dan lebat. Tiga kategori tersebut juga memiliki dampaknya masing-masing. Terlebih saat hujan dengan kategori lebat sangat berpotensi terjadinya dampak bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Untuk sedang hingga lebat itu yang perlu diperhatikan. Kalau dua hari ke depan masih berpotensi hujan lebat. Ini tak hanya terjadi di Kota Tarakan saja, seperti Bulungan dan KTT. Hujan pasti ada pengaruhnya dengan angina. Angin ini dapat berdampak juga dengan gelombang di perairan.
“Secara umum saat ini kategori gelombang normal, kalau terjadi hujan ada awan cumulonimbus bisa berbahaya terhadap kondisi perairan,” jelasnya.
Ketinggian gelombang, menurut Herman perlu menjadi perhatian bagi para masyarakat yang beraktivitas di perairan. Dapat ditandai dengan adanya awan hitam atau cumolonimbus di daerah perairan. Apalagi jika awan tersebut bersamaan dengan hembusan angin kencang dan kilat.
“Matangnya (ketinggian gelombang) juga dapat ditandai jika ada suara gemuruh seperti guntur,” tukasnya.
Terkait potensi hujan di 2025, Herman mengimbau agar masyarakat selalu waspada terkait adanya hujan sedang hingga lebat. Terutama untuk wilayah yang berpotensi longsor. Hujan yang turun menyebabkan serapan air berlebih ke dalam tanah. Sehingga hujan dengan intensitas sedang juga sudah mampu menyebabkan longsor.
Kemudian, untuk wilayah langganan banjir juga diminta waspada jika hujan turun dengan intensitas sedang hingga lebat. “Di wilayah perairan juga kita imbau, karena hujan juga berdampak pada ketinggian gelombang,” pungkasnya. (kn-2)