TANJUNG SELOR – Dalam upaya menangani persoalan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang sering dipulangkan dari Malaysia, Anggota DPD RI Herman melakukan kunjungan ke Disnakertrans Kaltara.
Herman menyoroti perbedaan antara data pekerja migran yang terdaftar secara prosedural dan non-prosedural. Yang selama ini menjadi masalah krusial di perbatasan. Kedua belah pihak, baik Herman maupun Disnakertrans Kaltara menekankan pentingnya koordinasi antara instansi pusat dan daerah. Guna meningkatkan sistem pendataan dan pengawasan PMI.
Dengan langkah tersebut, diharapkan setiap pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri, khususnya di Malaysia. Dapat memperoleh perlindungan dan kepastian informasi bagi keluarganya. Herman mengungkapkan, persoalan pekerja migran diketahui paling banyak pekerja dari Kaltara ke Malaysia. Hanya saja, secara prosedural itu sedikit, tapi non-prosedural yang banyak ke Malaysia.
Jadi banyak kasus yang terjadi, tapi tidak terdata. Menurutnya, permasalahan data non-prosedural yang tidak tercatat dengan baik berimbas pada sulitnya pendataan kejadian. Seperti kematian, penyakit, atau penangkapan di luar negeri.
“Jangan sampai ada kejadian di mana keluarga tidak tahu apa yang terjadi. Karena data tidak terintegrasi dengan baik. Pengawasan jalur masuk PMI harus diperketat agar setiap peristiwa bisa terdeteksi sejak awal,” ujarnya, Kamis (20/3).
Dari sisi penanganan, Herman berharap agar instansi terkait dapat melakukan sinkronisasi data antara pekerja migran yang terdaftar secara prosedural dan non-prosedural. Ia juga menekankan perlunya peningkatan kapasitas BLK (Balai Latihan Kerja) di Kaltara, agar proses legalisasi dan pendataan PMI semakin optimal.
“Harapan kami, semua PMI yang ke Malaysia bisa masuk dalam jalur prosedural. Sehingga jika terjadi sesuatu, kondisi mereka akan terpantau dengan baik,” ujarnya.
Sementara itu, Plt Kepala Disnakertrans Kaltara Asnawi menyampaikan, istilah “pekerja migran” telah digunakan untuk meningkatkan derajat para tenaga kerja Indonesia. Menggantikan istilah lama TKI yang terkesan merendahkan. Menurutnya, jumlah pekerja migran yang berasal dari wilayah Kaltara memang relatif minim, karena daerah ini lebih berperan sebagai pintu gerbang bagi tenaga kerja dari Sulawesi, Jawa, dan Nusa Tenggara Timur.
“Aspek prosedural itu berjalan dengan baik. Bagi pekerja yang mengikuti mekanisme resmi. Mulai dari keberangkatan hingga penempatan di negara tujuan, semua tercatat dengan jelas,” tutur Asnawi.
Namun, masalah muncul pada pekerja non-prosedural. Banyak di antara mereka yang tidak terdata. Sehingga bila terjadi kejadian seperti sakit, meninggal, atau penangkapan, keluarganya pun kesulitan mendapatkan informasi. Menurut dia, kendala ini merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah.
“Kita selalu membantu memulangkan mereka kembali ke daerah asal. Meskipun nantinya seringkali mereka kembali lagi untuk bekerja. Untuk wilayah Kaltara, meski kasus non-prosedural itu ada, kita berupaya menjaga agar pekerja yang resmi tetap mendapatkan pengawasan maksimal,” tandasnya. (kn-2)