TARAKAN – Komunitas Rumah Inspirasi Perbatasan mengumpulkan berbagai elemen masyarakat, termasuk perwakilan Tentara Nasional Indonesia (TNI), akademisi, mahasiswa, dan organisasi kepemudaan, untuk membahas revisi Undang-Undang TNI secara mendalam.
Berbagai isu penting dibahas, seperti potensi dampak UU terhadap kebebasan berpendapat, perubahan usia pensiun prajurit. Serta kekhawatiran tentang dualisme fungsi TNI dalam konteks demokrasi di Indonesia. Diskusi ini bertujuan menjadi platform dialog konstruktif antara TNI dan masyarakat sipil.
Pertanyaan mendasar yang muncul, sejauh mana pengawasan TNI terhadap sipil. Sebagaimana diatur dalam UU, dapat mempengaruhi kebebasan berpendapat. Perubahan usia pensiun prajurit juga menjadi sorotan, selain keterlibatan TNI di sektor non-militer. Termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang memicu pro dan kontra di kalangan peserta.
Menanggapi ini, Komandan Lantamal XIII Tarakan, Laksamana Pertama TNI Ferry Supriady mengapresiasi riset di balik acara ini. Diskusi membuka wawasan terhadap revisi UU TNI dan perubahan signifikan yang terjadi.
“Proses revisi UU TNI yang panjang, dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010 hingga pengesahan pada 2024 yang berlaku pada 2025, dianggap telah menghilangkan konotasi yang memicu kekhawatiran seperti pada era sebelumnya. TNI kini berfokus pada profesionalisme dan lebih terbuka serta siap melayani,” tegasnya.
Ferry juga menyinggung soal kebebasan berekspresi dan demonstrasi. Dia menegaskan bahwa TNI tidak antipati terhadap kritik dan mendukung aspirasi masyarakat selama disampaikan dengan tertib. Ia menekankan kesiapan untuk berdiskusi secara terbuka dengan masyarakat.
Perwakilan mahasiswa dan organisasi kepemudaan, Tajudin Nor menyambut baik keterbukaan TNI dalam membuka ruang dialog. Namun, ia merasa pengesahan UU TNI kurang melibatkan publik dan menambahkan asosiasi terhadap dualisme fungsi seperti keterlibatan TNI di BUMN.
Tajudin berharap agar TNI fokus pada menjaga keutuhan NKRI dan keamanan negara. “Kami merasa kecolongan. Prosesnya terasa tertutup, dan banyak dualisme fungsi yang muncul, seperti keterlibatan TNI di BUMN. Saya pribadi tidak sepakat dengan beberapa poin dalam UU ini. Tapi ke depan, kami ingin percaya bahwa TNI hanya bertujuan menjaga keutuhan NKRI dan keamanan negara,” tegasnya.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan, Syafruddin, memberikan pandangan akademis dengan menyoroti aspek hukum UU TNI. Ia menjelaskan mekanisme peradilan Indonesia dalam menangani pelanggaran yang melibatkan militer dan koneksitas antara sipil serta militer.
“Kami menyarankan agar prajurit yang terlibat dalam tindakan non-militer diadili melalui peradilan umum. Untuk menjaga akuntabilitas, dengan menyatakan bahwa revisi UU TNI justru memperkuat demokrasi dengan menyeimbangkan peran militer dan kepentingan sipil. Kami menekankan pentingnya edukasi untuk mencegah miskonsepsi,” harapnya. (kn-2)