TARAKAN – Sengketa kepemilikan lahan di Jalan Sei Sesayap, Sungai Pamusian, Kelurahan Kampung Empat, Tarakan Timur, yang telah berlangsung hampir 27 tahun. Mulai ditindaklanjuti secara serius oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tarakan.
Komisi I DPRD menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama ahli waris untuk mencari kepastian hukum. Atas lahan seluas sekitar 10 hektare tersebut, Rabu (15/10) lalu. Wakil Ketua Komisi I DPRD Tarakan Baharuddin Umar Saleh mengungkapkan, akan memperjelas status lahan tersebut. Terutama karena sebagian besar area masuk dalam Wilayah Kerja Pertambangan (WKP).
“Kita ingin memperjelas dulu status tanah yang dibahas karena ini masuk WKP. Banyak hal yang harus diperjelas, termasuk dokumen dan sertifikasi,” tegasnya.
Ia menjelaskan, sengketa kembali memanas pada tahun 2024. Karena ahli waris merasa belum menerima kompensasi. Meskipun pemerintah memiliki dokumen pembayaran.
Untuk mencari jalan keluar yang persuasif dan menghindari kegaduhan publik, Komisi I DPRD telah menjadwalkan pertemuan dengan pihak Pertamina pada 27 Oktober 2025. Pertemuan tersebut akan melibatkan pemerintah kota, bagian hukum, DPRD, dan Bagian Aset Pemkot Tarakan. Tujuannya, agar masalah ini bisa diselesaikan secara persuasif dan tidak menjadi konsumsi publik yang bisa memicu kegaduhan.
“Apalagi ada anggaran pemerintah di situ, jadi kita mau menyelamatkan itu,” jelasnya.
Baharuddin juga menyinggung kompleksitas regulasi pembebasan lahan. Ia membandingkan proses pembebasan sebelum 2012 yang mengikuti Perpres Nomor36 Tahun 2005 yang relatif sederhana, dengan prosedur pasca-2012 yang mengikuti UU No.2 Tahun 2012, di mana proses ganti rugi jauh lebih ketat dan kompleks.
Selain kasus Sungai Pamusian, Baharuddin menyebut ada beberapa lahan lain yang juga terkendala karena masuk WKP, seperti lahan di depan Islamic Center dan lahan Pengadilan Agama. Meskipun Pemkot telah membebaskan lahan Pengadilan Agama. Sertifikat tanah belum bisa diterbitkan, karena statusnya masih berada di bawah kewenangan Pertamina sebagai WKP.
“Tapi karena masih masuk WKP, sertifikat belum bisa diterbitkan,” imbuhnya.
Perwakilan ahli waris, Ince Rivai, dalam kesempatan itu menyoroti tidak meratanya pembayaran kompensasi atas pembebasan sebagian lahan yang telah digunakan pemerintah kota untuk kepentingan umum. Ia menekankan perlunya kejelasan status kepemilikan.
“Biar ada kepastian hukum. Selama ini hampir 27 tahun belum jelas. Pembebasan lahan yang dilakukan pada periode 2007–2009 dinilai tidak sesuai. Sebab sebagian pihak menerima pembayaran, sementara pihak lain yang juga ahli waris justru tidak menerimanya,” singkatnya.
Sementara itu Legal and Relation, Pertamina EP Tarakan, Muhammad Abrar Putra Siregar enggan berkomentar saat akan diwawancara. (kn-2)