TARAKAN – Konflik antara warga RT 01, Kelurahan Juata Permai, Tarakan Utara dengan PT Phoenix Resources International (PRI) kembali memanas pada Rabu (5/11).
Massa warga dan mahasiswa memaksa masuk ke area perusahaan dan memblokade gerbang utama. Menuntut pertanggungjawaban perusahaan atas dugaan perusakan lingkungan dan penyerobotan lahan. Perwakilan mahasiswa Michael, membacakan Nota Kesepakatan (MoU) sebagai bentuk komitmen moral dan politik. Untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat atas lingkungan yang bersih dan berkeadilan.
Terdapat sembilan tuntutan utama yang dilayangkan. Yakni mendesak PT PRI segera membayar ganti rugi tanam dan lahan produktif yang terdampak, menuntut pengembalian dan pemulihan lahan masyarakat yang telah dirusak, meminta perbaikan sistem drainase untuk mencegah banjir.
Kemduian, menghentikan pembuangan limbah ke area permukiman dan menuntut penanganan limbah sesuai standar lingkungan, mendesak Pemkot Tarakan dan DLH melakukan pemeriksaan ulang AMDAL PT PRI. Lalu, menuntut aparat penegak hukum mengadili pimpinan PT PRI atas dugaan pelanggaran lingkungan, menuntut keterbukaan dan akuntabilitas pelaksanaan dana CSR.
Selanjutnya, memberi waktu 1×24 jam kepada perusahaan untuk menunjukkan etikad baik dan meminta perusahaan tidak membuka blokade yang telah dipasang masyarakat.
Perwakilan warga, Abdin Situmorang menegaskan, aksi ini adalah “harga mati” dan tidak ada lagi ruang untuk negosiasi atau tawar-menawar.
“Masalah ini tuntas hari ini. Itu harapannya. Jadi hari ini adalah harga mati. Tidak ada tawar-menawar lagi. Itu kesepakatan kami semua,” ujar Abdin.
Ia juga menyoroti arogansi perusahaan yang telah memagar lahan warga, merusak kebun, dan menyerobot tanpa mengakui kesalahan atau meminta maaf kepada masyarakat.
Sementara itu, Humas PT PRI Eko Wahyudi menyayangkan aksi penutupan gerbang yang dianggap mengganggu operasional perusahaan. Ia menyebut saat ini konteks konflik sudah bergeser dari masalah lahan menjadi penutupan akses gerbang. Terkait tuntutan ganti rugi lahan, Eko mengakui masalah hingga kini mentok pada harga.
“Komunikasi itu dari pihak manajer-manajer sudah ada komunikasi. Dan yang seperti yang kita tahu ini kan mentoknya di harga dari kemarin ini,” ungkap Eko.
Pihak perusahaan mengaku tidak sanggup membayar ganti rugi dengan harga yang diminta warga sebesar Rp 500 ribu per meter persegi. Eko juga meminta masyarakat membuktikan tuduhan pencemaran lingkungan melalui jalur hukum.
Menanggapi adanya pengerusakan pagar yang dilakukan warga saat memaksa masuk, Eko menyatakan pihaknya berencana membuat laporan ke pihak kepolisian.
“Kami nanti coba buatkan laporan ke kepolisian terkait pengerusakan dan penerobosan lahan kita,” pungkasnya. (kn-2)