PK Mantan Wawali Tarakan Ditolak

TERPIDANA KORUPSI: Mantan Wakil Wali Kota Tarakan Khaeruddin Arief Hidayat periode 2014-2019 saat dieksekusi ke Lapas Kelas IIA Tarakan.

TARAKAN – Permohonan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh terpidana mark up pembebasan lahan fasilitas kantor di Kelurahan Karang Rejo yakni Khaeruddin Arief Hidayat, ditolak majelis hakim Mahkamah Agung (MA).

Padahal pekan lalu, rekannya sesama terpidana yakni Sudarto dibebaskan melalui PK di MA. “Saya selaku PH yang menyatakan PK ada pemberitahuan bukan dari Pengadilan Negeri (PN) Tipikor, tapi intinya PK ditolak. Kami akan menelaah untuk mengambil langkah yang akan ditempuh. Terlebih lagi dengan putusan MA Sudarto ini,” ujar PH Arief, Salahuddin, Rabu (7/8).

Menurut kliennya, mark up lahan karang rejo yang dituduhkan masih menyisakan banyak pertanyaan dengan terbitnya putusan bebas Sudarto. Menurutnya, kasus ini berawal dari pihak polisi yang melakukan penyidikan dugaan mark up pembebasan lahan yang telah di lakukan oleh Pemkot Tarakan.

Penyidik menganggap ada kerugian negara sebesar Rp 567.620.000 dan saat itu kliennya menjabat sebagai Wakil Wali Kota Tarakan. Sekaligus pengurus di yayasan yang tanahnya dibebaskan oleh pemerintah untuk perluasan Kantor Kelurahan Karang Rejo.

Baca Juga  Belum Ada Tanda-Tanda Banjir Surut

“Kasus tersebut diangkat selama 10 tahun, mulai tahun 2014 sampai 2022 dan klien kami dijadikan tersangka. Beserta apresial saat itu Sudarto yang menghitung atau menaksir harga. Kemudian Haryono yang atas nama di surat tanah tersebut,” ungkapnya.

Kliennya beranggapan, pembebasan lahan dihitung oleh appraisal yang memiliki lisensi dan dibawah Kementerian Keuangan yang berhak dan bisa menaksir harga. Selain itu, appraisal bekerja berdasarkan buku pedoman dan aturan apresial, salah satu isi aturan perbedaan harga sampai dengan 30 persen masih dalam tahap kewajaran.

Ia menegaskan, Arief dan Sudarto sebagai apresial tidak saling kenal. Sehingga tidak ada pengaturan ataupun intervensi. Selain itu, polisi pun sudah meminta appraisal menghitung di objek yang sama di tahun berbeda. Appraisal pemkot menghitung di tahun 2015, sedangkan appraisal polisi menghitung tahun 2017. Beda dua tahun yang harusnya semakin naik, tetapi ternyata menurut appraisal polisi ada selisih harga Rp 567.620.000 lebih.

“Inilah yang dianggap oleh polisi sebagai markup. Padahal, perbedaan harga masih di bawah 30 persen. Dengan selisih harga Rp 567.620.000 masih merupakan selisih yang dianggap wajar oleh MAPPI, tapi malah inilah yang dianggap mark up,” sebutnya.

Menurut kliennya, lanjut Salahuddin, jika appraisal pemkot dianggap salah. Puluhan bahkan ratusan produk hasil nilai pembebasan yang lain selama ini salah, atau semua harus di carikan pembanding. Jika tidak ada perlindungan hukumnya terhadap appraisal. Maka bisa dipastikan tidak akan ada lagi appraisal yang akan mau menaksir harga.

Baca Juga  Kelulusan PPPK Sistem Ranking

Salahuddin juga mengungkapkan, saat kliennya dinyatakan bebas pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Tipikor, sempat melakukan audensi ke beberapa lembaga negara di Jakarta. Untuk menyampaikan surat terkait adanya upaya kriminalisasi terhadap dirinya. Diantaranya ke Kompolnas RI di Jakarta, Kabid Propam RI, Komisi Pengawas Hakim, Kejaksaan Agung, Ombudsman, Kompolhutkam, BPK RI, BPKP RI dan Presiden.

“Sekarang appraisal pak Sudarto dinyatakan bebas dan dinyatakan tidak bersalah. Yang notabene penafsiran timbulnya perbedaan harga sebagai kunci hingga dianggap terjadi mark up. Artinya bagaimana dengan klien kami, Khaeruddin Arief Hidayat dan Haryono,” pungkasnya. (kn-2)

Bagikan:

Berita Terkini