Jejak Hitam Drug War di Filipina, Maria Deparine Terus Terbayang Lubang Peluru di Dahi Ketiga Anaknya

IBU YANG KEHILANGAN: Maria Deparine berdoa di ”apartemen” kedua putranya, Aljon dan Danilo Deparine, di Navotas, Manila, Filipina.

Maria Deparine satu di antara ribuan ibu yang kehilangan anak-anak mereka yang menjadi korban extrajudicial killing terkait dengan perang narkotika di Filipina. Kini dia hanya berharap pembangunan ”kuil penyembuhan” segera rampung, demi mendiang ketiga anaknya.

HENDRA EKA, Manila

BAU amis menguar dari gang sempit perumahan padat penduduk di kawasan Pelabuhan Navotas, Manila, Filipina. Namun, di jalan becek selebar 1,5 meter tersebut, sejumlah warga menunaikan rutinitas harian mereka seperti mencuci baju, memasak, bermain, hingga belajar tanpa merasa terganggu.

Tak terkecuali Maria Deparine. Di siang yang terik pada pertengahan Desember tahun lalu itu, dia tengah merapikan tempat tinggalnya: bilik tanpa jendela berukuran 2 x 3 meter dengan dinding tripleks sederhana.

Di kawasan berpopulasi 247.543 orang itulah dia tinggal bersama suami, satu anak, dan seekor anjing bernama Brownie.

Perempuan 58 tahun tersebut adalah ibu yang kehilangan tiga anaknya dalam perang pemberantasan narkoba di Filipina saat era kepemimpinan Presiden Rodrigo Duterte. Di bawah poster Yesus dan Bunda Maria, siang itu Maria tak kuasa membendung air matanya tatkala menceritakan tragedi keji tersebut.

Aljon Deparine, putra ketiga Maria, tewas ditembak polisi pada 2016. Saat itu delapan polisi yang memakai balaclava secara mendadak menyerbu sebuah rumah. Nahas bagi Aljon. Di rumah itulah dia kebetulan sedang asyik menonton TV bersama teman-temannya.

Baca Juga  Memelihara Warisan Budaya, Jejak Sejarah dan Makna Tradisi Ngadu Bedug di Pandeglang

Aljon cs pun digelandang ke luar tanpa ampun oleh gerombolan polisi tersebut. Satu jam kemudian, tubuh pemuda 23 tahun itu ditemukan tak bernyawa di bawah jembatan disertai lima lubang tembakan di badannya.

Sambil menunjuk bagian tubuhnya, Maria menjelaskan letak peluru di tubuh putranya. “Satu peluru di betis, dua di perut, satu di dada, dan satu di dahi. Dia tidak bisa lari atau melawan. Dia diborgol,” kenangnya berkaca-kaca.

Dua hari setelah Aljon tiada, putra pertamanya, Danilo Deparine, ditemukan tak bernyawa di pinggir sebuah jalan raya. Polisi mengeksekusinya karena menduga pria 36 tahun tersebut mengonsumsi ganja dan mencium cairan lem (ngelem) seperti kebanyakan anak di lingkungannya.

Seolah cobaan itu belum cukup meremukkan hidupnya, tak berselang lama anak kedua Maria, Rogelio Deparine, juga ditemukan tewas dengan delapan bekas tembakan di tubuhnya. “Rogelio meninggal ditembak mati karena perkelahian jalanan,” ungkap Maria, lalu terisak.

Maria yang bekerja di pabrik sarden meyakini Danilo dan Aljon tak tewas karena mengonsumsi narkoba. Mereka berdua hanya berada di lingkungan yang saat itu kental dengan stigma obat terlarang.

Baca Juga  40 Tahun Berkarya Sentra Perajin Tatah Wayang di Sidowarno Merawat Budaya

Drug war alias perang melawan narkoba menjadi salah satu sejarah kelam Filipina di era kepemimpinan mantan Presiden Rodrigo Duterte. Sejak menjabat pada Juni 2016 dan mulai menggencarkan operasi itu, dia banyak mendapatkan kritik dan kecaman dari seluruh penjuru negeri.

Namun, Duterte tahu mengantisipasinya. Dia membungkam para pengkritiknya melalui berbagai cara. Kritikus yang paling menonjol, senator Leila de Lima, ditahan atas tuduhan narkoba yang bermotif politik.

Mengutip kantor berita nasional Filipina, The Philippine News Agency, lebih dari 6.229 orang tewas selama pelaksanaan operasi antinarkoba. Duterte pun menjadi mimpi buruk bagi Maria dan ribuan ibu lainnya yang kehilangan anak-anak mereka karena extrajudicial killing terkait dengan perang narkotika.

“Saya berharap Duterte masuk penjara atas pembunuhan semua orang ini,” tutur Maria. Doa yang mungkin sulit terkabul. Sebab, meski kini Duterte telah pensiun, anaknya, Sara Zimmerman Duterte-Carpio, menjabat wakil presiden.

Selain sedih karena ditinggal tiga putranya, kini Maria turut berjuang untuk membantu perekonomian keluarga. Sebagai buruh pabrik sarden yang kerjanya memotong kepala dan ekor ikan sarden, Maria mendapatkan gaji 150 peso atau sekitar Rp 42 ribu per hari. Angka itu jauh di bawah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Baca Juga  Membuat Taman Minimalis: Outdoor Pilih Cemara Udang, Palem dan Kaktus untuk Indoor

Ditambah pula sekarang dia harus merawat makam anak-anaknya. Di Filipina, penyewaan ”apartemen” atau makam sementara menawarkan solusi bagi keluarga yang tak mampu membeli lahan permanen untuk menguburkan orang yang mereka cintai.

Setiap tahun para keluarga penghuni diwajibkan untuk membayar 600 peso. Jika mereka tak sanggup bayar, apartemen akan dikosongi dan segera diisi penghuni baru.

Namun, baru-baru ini angin segar sedikit bertiup ke arah Maria. Pemerintah Filipina akan menyediakan kuburan yang layak bagi para korban pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killing.

Pada 11 Desember lalu, sejumlah warga sipil, kelompok agama, dan diplomat terkemuka hadir untuk peletakan batu pertama pembangunan ”Dambana ng Paghilom” atau kuil penyembuhan di kompleks The La Loma Catholic Cemetery, Manila.

Pemakaman itu dibangun sebagai bentuk penghormatan terhadap korban operasi perang narkoba. Maria berharap pengerjaan makam tersebut segera rampung. Dia mendambakan tempat yang baik dan layak untuk ketiga putranya yang telah tiada.

Sambil menghela napas panjang, Maria berucap, ”Saya senang dia akan mendapat tempat yang bermartabat.” (*c14/ttg/jpg)

Bagikan:

Berita Terkini