Terkait yang dia sampaikan di kampanye, Butet Kartaredjasa mengaku menempatkan diri sebagai punakawan yang mengingatkan kesatria dengan cara bercanda. Dia menyebut, ada ratusan pengacara yang siap mendampinginya menghadapi pelaporan.
Hilmi S.-Dwi Agus, Bantul
KATA Milan Kundera, sepenuh-penuhnya hidup itu ketika kita tertawa. “Hidup itu harus gembira: melihat, mendengar, menyentuh, minum, makan, pipis, beol, menyelam dan menyaksikan langit, tertawa serta menangis,” tulis novelis Prancis kelahiran Cekoslowakia itu dalam bukunya yang terkenal, Kitab Tertawa dan Melupakan.
Entah apakah Butet Kartaredjasa mengacu ke Kundera ketika berada di atas panggung kampanye akbar Ganjar Pranowo di Alun-Alun Wates, Kulon Progo, Jogjakarta, Minggu lalu. Yang pasti, seperti diakuinya, Selasa (30/1), yang dia sampaikan adalah ”guyon parikeno”.
Dalam khazanah kultur Jawa, guyon parikeno adalah kritik yang disampaikan dengan cara bercanda. Seperti kritik para punakawan dalam pewayangan kepada para kesatria yang diasuh.
Guyonan dipilih dengan tujuan tidak menyakiti. Namun, memiliki esensi kuat tentang kritik. “Harapannya, kesatria yang diajak bercanda ini dicubit tidak merasa sakit. Kalau tidak merasa sakit ya dijewer, tendang bokonge (pantatnya). Itulah tradisi guyon parikeno, bagian dari kultur Jawa yang hebat,” katanya kepada belasan wartawan yang menemuinya di rumahnya di Bantul, Jogjakarta, termasuk Jawa Pos dan Jawa Pos Radar Jogja.
Tapi, apa yang dimaksud Raja Monolog itu sebagai guyon parikeno ternyata berbuntut pelaporan dirinya oleh DPD Projo (Pro Jokowi) Jogjakarta ke Polda Jogjakarta. Butet dianggap melontarkan ujaran kebencian dalam orasinya. Dengan menyebut hewan yang ditujukan kepada Presiden Jokowi.
Dalam orasi, sebagaimana bisa disaksikan dalam video di sejumlah platform, Butet bertanya kepada khalayak yang hadir apa yang biasanya ”ngintil” atau membayangi alias mengikuti dalam bahasa Jawa. Yang hadir kemudian menjawab wedus alias kambing. “Wedus kok mendukung paslon,” kata Butet dalam orasinya.
Selain orasi, dalam kampanye yang dihadiri Ganjar itu Butet juga membacakan Pantun Hajatan Rakyat yang telah disiapkan secara tertulis. Sementara itu, orasi adalah narasi spontanitas sebelum membacakan pantun.
“Kata binatang yang mana? Wedus? Nek ngintil itu saya bertanya ke khalayak yang ngintil siapa, (lalu dijawab) wedus. Berarti tukang ngintil kan wedus. Itu tafsir, apakah saya nyebut nama Jokowi?” katanya.
Tentang kata asu atau anjing yang dilontarkan, baginya itu bukan makian. “Lho bagi saya menyatakan suog, asu banget. Itu bukan makian, itu ekspresi personal. Dalam konteks saya, bagaimana kata itu diekspresikan,” ujar Butet yang mengenakan kaus bertuliskan ”Asu”.
Seusai turut mementaskan pertunjukan Indonesia Kita bertajuk ”Musuh Bebuyutan” pada 1 Desember tahun lalu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Butet mengaku diminta menandatangani surat pernyataan oleh polisi. Intinya, pertunjukan itu dilarang berbicara soal politik.
“Setelah 41 kali pertunjukan (Indonesia Kita), baru kali ini saya harus membuat surat pernyataan tertulis kepada polisi,” katanya saat itu.
Delapan hari berselang (9/12/2023), Advokat Lingkar Nusantara melaporkannya ke Bareskrim atas dugaan penyebaran hoaks intimidasi. Pada hari yang sama, Butet menyebut aplikasi WhatsApp di ponselnya telah diretas.
Butet menegaskan, dirinya bukan pembenci Jokowi. Aktor Teater Gandrik itu sebelumnya bahkan dikenal sebagai pendukung Jokowi sejak mantan wali kota Solo itu maju dalam Pilpres 2014.
Dalam perbincangan dengan sastrawan Puthut EA di siniar Mojok, ketika ditanya kenapa fanatik mendukung Jokowi. Butet menyebut karena dirinya menganggap mantan gubernur Jakarta itu telah bekerja dengan baik.
Kekecewaan Butet kepada Jokowi bermula dari proses di Mahkamah Konstitusi yang berujung bisa majunya Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, sebagai calon wakil presiden. “Di sini kita konsisten berdemokrasi, di sana mereka ramai-ramai mengkhianati konstitusi,” bunyi penggalan pantun Butet yang dibacakan saat kampanye.
Dalam putusannya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menyebut telah terjadi pelanggaran etik berat. Anwar Usman, paman Gibran, lantas dicopot dari jabatannya sebagai ketua MK.
Butet tak mempermasalahkan pelaporan polisi kepada dirinya. Dia menganggap laporan itu sebagai aksi panjat sosial saja. Aji mumpung karena saat ini dalam masa kontestasi Pemilu 2024.
“Dipenjara itu risiko, ada pasalnya, nanti diuji pakai pasal apa. Kalau soal itu, biarlah kuasa hukum. Todung Mulya Lubis (deputi Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo-Mahfud MD) siap dampingi saya andai dipanggil ke polda. Ratusan lawyer (pengacara) juga siap bantu saya,” ujarnya.
Butet beranggapan, ucapannya adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Wujud demokrasi yang dijamin konstitusi. “Orasi dan pantun yang saya lontarkan adalah kritik, bukan ujaran kebencian,” katanya. (*/c18/ttg/jpg)