Anak di Indonesia Rentan Jadi Korban Kekerasan, Asusila, dan Pengeroyokan

ILUSTRASI: Anak di Indonesia rentan jadi korban kekerasan, sebagian besar korban berusia 13-17 tahun.

Perlindungan anak sepertinya masih menjadi sebuah jargon semata. Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) pun seolah ritual tahunan saja. Pasalnya, ribuan anak masih jadi korban kekerasan tiap tahunnya.

 

PADA 2025 misalnya, baru pertengahan tahun, sudah 16.129 kasus kekerasan perempuan dan anak yang dilaporkan. Di mana, sebagian besar korban berusia 13-17 tahun.

Mirisnya lagi, dari tahun ke tahun, kekerasan ini banyak terjadi di rumah tangga. Bentuk kekerasannya pun jika ditelisik masih sama. Kekerasan seksual, fisik, dan psikis. Pelakunya? Paling banyak pelaku kekerasan adalah pacar/teman, disusul suami/istri, dan ada pula orang tua.

Data tersebut pun dikuatkan oleh laporan pengaduan kasus kekerasan terhadap anak yang diterima Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Sepanjang Januari-Juni 2025, KPAI menerima 973 laporan pengaduan kasus kekerasan terhadap anak.

Menurut Ketua KPAI Ai Maryati Solihah, laporan kekerasan terhadap anak tersebut separuhnya berasal dari klaster keluarga dan pengasuhan alternatif. Di mana kasus terkait dengan klaster keluarga dan pengasuhan alternatif tercatat sebanyak 506 kasus (52 persen). Disusul oleh klaster pendidikan dan kegiatan budaya dengan 92 kasus (9,5 persen), kesehatan dan kesejahteraan anak 14 kasus (1,4 persen), serta hak sipil dan partisipasi anak sebanyak 9 kasus (0,9 persen).

“Situasi ini menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia masih berada dalam kondisi rentan, bahkan di lingkup paling awal kehidupannya, keluarga,” ujarnya dalam konferensi pers peringatan Hari Anak Nasional, Rabu (23/7).

Di luar itu, kasus-kasus dalam klaster Perlindungan Khusus Anak (PKA) juga cukup tinggi. Anak sebagai korban kekerasan seksual tercatat sebanyak 109 kasus (11,2 persen), penganiayaan atau pengeroyokan 75 kasus (7,7 persen), dan pencabulan 72 kasus (7,4 persen).

Baca Juga  Perjalanan Sastra-Seni Rupa Jogja, Memahami Zaman dan Teknologi lewat Azimat-Siasat

Kemudian, anak yang mengalami kekerasan psikis ada sebanyak 55 kasus (5,7 persen), hingga kejahatan pornografi digital sebanyak 27 kasus (2,8 persen). Jumlah total korban anak dari semua kasus yang dilaporkan mencapai 951 anak, dengan distribusi jenis kelamin hampir seimbang. Yakni 49,5 persen perempuan dan 49,2 persen laki-laki.

“Kelompok usia korban tertinggi berasal dari rentang usia 15 sampai 17 tahun sebanyak 21,8 persen, diikuti anak usia 6–8 tahun 19,2 persen,” paparnya.

Jika dibedah lebih dalam, kelompok usia pelaku yang paling dominan berada pada rentang 31 sampai 40 tahun (24,9 persen). Yang mana 52,7 persen pelaku adalah laki-laki, 28,7 persen perempuan, 7,3 persen berasal dari lembaga, dan 11,2 persen tidak disebutkan.

Tingginya angka kekerasan anak di ranah keluarga ini, menurut dia, mengindikasikan masih lemahnya penyelenggaraan perlindungan anak di tingkat domestic atau di lingkungan keluarga. Padahal, keluarga harusnya menjadi tempat pertama dan utama bagi perlindungan anak.

“Anak-anak masih rentan mengalami diskriminasi, pengabaian, dan kekerasan dalam lingkup keluarga,” keluhnya.

Melihat kondisi kekerasan yang terjadi, Wakil Ketua KPAI Jasra Putra bahkan menyebut saat ini, upaya perlindungan anak oleh negara seolah masih jalan di tempat. Tak ada perubahan signifikan dalam pelaksanaan perlindungan anak. Hal ini terlihat dari fakta bahwa anak masih rentan bahkan sejak di awal kehidupannya, yakni kluster keluarga dan pengasuhan alternatif.

“Kita seperti laksana belum ke mana-mana dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Masih terus berkutat di permasalahan keluarga, meski berbagai intervensi program sudah dilakukan,” ungkapnya.

Baca Juga  Pulang Kampung, Shin Tae-yong Dapat Pekerjaan Baru di Korea Selatan, Jadi Duta Kepolisian

Tantangan ini disebutnya harus segera dijawab oleh pemerintah. Meski beberapa program telah diselenggarakan, namun tetap membutuhkan evaluasi guna memastikan program perlindungan tepat sasaran atau sudah efektif atau tidak.

Selain itu, beberapa program juga diharapkan bisa menjadi penopang dan jembatan dalam melihat kebutuhan di lapangan dalam perlindungan anak sudah diciptakan. Seperti Makan Bergizi Gratis untuk memenuhi gizi anak. Lalu, Sekolah Rakyat yang diharapkan dapat berdampak ke anak-anak dalam keluarga miskin dan miskin ekstrem di ranah akses pendidikan.

“Begitu pun upaya pemerintah menjawab dampak gadget dengan program pemeriksaan jiwa setiap anak Indonesia,” katanya.

Dia menekankan pentingnya anak untuk melek atas dampak-dampak negative yang juga bisa muncul dari dunia digital. Dengan begitu, mereka bisa mawas diri dan tidak mudah dimanfaatkan pihak tidak bertanggung jawab.

Jasra pun menekankan bahwa pemerintah harus bekerja keras dalam upaya penyelenggaraan perlindungan anak ini. Sehingga, anak-anak dapat menikmati masa depan yang cerah.

“Dengan kelengkapan berbagai regulasi dan program yang telah diterbitkan harusnya bisa. Hanya saja kita butuh prasyarat agar semua regulasi punya lingkungan yang kondusif,” paparnya.

Senada, Save the Children Indonesia juga menyoroti kasus kekerasan terhadap anak yang masih menjadi masalah serius dan sistemik. Terlebih, kekerasan terjadi paling banyak di ranah rumah tangga.

Baca Juga  Berkunjung ke Pusat Perbenihan Tanaman Pemprov Jatim, Pupuk Booster Bikin Tabebuya Pink Mekar Bagus

“Ketika rumah tidak lagi menjadi tempat aman bagi anak, maka ada yang salah dalam sistem perlindungan kita,” ungkap CEO Save the Children Indonesia Dessy Kurwiany Ukar.

Menurutnya, sudah saatnya semua pihak harus bertindak bersama dalam memastikan anak-anak terlindungi. “Negara harus hadir, keluarga harus sadar, sekolah harus peduli, dan masyarakat harus ikut menjaga. Anak-anak Indonesia berhak tumbuh tanpa rasa takut,” sambungnya.

Selain itu, ia juga meyoroti bentuk kekerasan yang dialami anak dan remaja yang kini kian beragam. Bukan hanya terjadi secara langsung, tapi juga terjadi dalam ruang digital yang semakin terbuka terhadap eksploitasi.

Oleh sebab itu, pihaknya pun terus berupaya memperkuat sistem perlindungan anak di berbagai wilayah dengan pendekatan yang menyeluruh dan berkelanjutan. Diantaranya, dengan melakukan pendampingan ke sekolah dan komunitas untuk membangun mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan. Kemudian, memperkuat SOP rujukan kasus serta mendorong praktik pengasuhan positif di tingkat keluarga.

Kemudian, upaya membangun kesadaran tentang bahaya perundungan juga ditingkatkan melalui pendekatan partisipatif di lingkungan sekolah. Termasuk, pembangunan ruang aman bagi anak dalam ranah digital.

Selain itu, Dessy menekankan, bahwa perlindungan yang efektif hanya dapat terwujud jika negara hadir dan responsif terhadap kebutuhan nyata anak-anak hari ini. Sehingga, perlindungan bukan hanya aturan di atas kertas.

“Tidak boleh ada anak yang tertinggal. Tidak ada anak yang merasa takut. Saatnya bergerak bersama, wujudkan Indonesia yang benar-benar ramah anak,” ungkapnya. (mia/jpg)

Bagikan:

Berita Terkini