Mbah Wahyuni Terus Mendaki Puncak-Puncak Gunung di Usia Sangat Sepuh

JAGA KONDISI: Mbah Wahyuni di puncak Gunung Latimojong, Sulawesi Selatan.

Sudah 15 gunung yang ditapaki Mbah Wahyuni sejak berusia 59 tahun sampai sekarang. Tertarik karena kegemaran anak-anaknya yang tiap tiga sampai empat bulan sekali mendaki.

 

RIYAN FADLI, Kota Pekalongan

 

WAKTU menunjukkan pukul 21.30 WIB saat Wahyuni sampai di Alun-Alun Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Perempuan 70 tahun itu sedang gowes bersama anak-anak, cucu-cucunya, dan komunitas pesepeda.

Sepeda kecil berwarna biru menemaninya pada malam Minggu (27/4) yang ramai itu. Jarak yang ditempuh sekitar 4 kilometer. Mbah Yuni, demikian dia biasa disapa, tengah mengaso saat Jawa Pos Radar Semarang yang sudah janjian datang menemui. Perempuan yang pada 24 Juni depan menginjak usia 71 tahun itu masih terlihat bugar.

“Tidak begitu ngos-ngosan karena sudah biasa. Cuma kadang kalau mau naik jembatan di-step (dorong, Red) sama anak,” ujarnya.

Gowes adalah agenda rutin Mbah Yuni sebulan sekali tiap malam Minggu terakhir. Itu salah satu upayanya untuk menjaga kondisi. Kebugaran yang terjaga itu pula yang jadi kunci di balik keberhasilannya mendaki sampai puncak sejumlah gunung di tanah air di usia yang sudah sangat sepuh.

Baca Juga  Angela Lopez-Lara, Mahasiswi PhD Musikologi Universitas Complutense Madrid: Eksplorasi tentang Gamelan di Pameran Dunia Paris 1889

Bisa jadi dia pendaki tersepuh di Indonesia yang masih aktif mendaki saat ini. Sudah 15 gunung yang titik tertingginya ditapaki Mbah Yuni. Dia mulai tertarik mendaki pada 2012, saat usianya juga sudah tidak muda lagi: 59 tahun. Yang pertama didaki adalah Gunung Slamet di Jawa Tengah.

“Awalnya anak-anak (saya) itu seneng naik gunung, tiga atau empat bulan sekali pasti naik gunung. Pada naik semua, akune pingin, (penasaran) di atas ada apanya,” tuturnya.

Mbah Yuni punya sembilan anak, salah satunya sudah meninggal dunia. Anak-anak itulah yang kerap menemaninya mendaki. Tak cuma di Jawa seperti Slamet, Prau, dan Raung, tapi juga luar Jawa seperti Latimojong di Sulawesi Selatan dan Rinjani di Nusa Tenggara Barat.

Kegiatan keluarga itu biasa dilalui beramai-ramai. Namun, tak jarang hanya beberapa orang yang ikut naik. Perjalanannya naik gunung tidak dilakukan dengan ngoyo alias tidak memaksakan diri. Mbah Yuni mendaki beberapa langkah, minum, duduk-duduk dulu. Lalu, melanjutkan perjalanan.

Sampai pos berapa pun, jika sudah mau malam, Mbah Yuni berhenti dan beristirahat di sana. Kemudian lanjut besoknya. Biasanya butuh waktu hingga lima hari untuk sampai puncak. Bahkan lebih lama lagi jika medan dan cuaca ekstrem.

Baca Juga  Detik-Detik Terbakarnya Bus Pahala Kencana di Tol Jombang–Mojokerto

Karena waktu pendakian cukup lama, bekal yang dibawa juga komplet. Ada beras, mi instan, sayur, ayam, ikan, tempe, dan lainnya untuk masak di atas. Anak-anaknya yang menyiapkan semuanya.

“Di atas itu melihat pemandangan. Alhamdulillah aku sampai di atas sana, aku di atas awan yang seperti laut itu,” ujar Mbah Yuni tentang apa yang terus mendorongnya untuk mendaki.

Saat mendaki Latimojong, Mbah Yuni menghabiskan uang sampai Rp 7 juta bersama dua orang. Dia biasanya mengumpulkan uang dalam beberapa bulan, bahkan sampai tahunan, untuk biaya mendaki.

Mbah Yuni dahulu merupakan penjual sego megono, makanan khas Pekalongan yang memadukan potongan nangka muda dengan parutan kelapa dengan pilihan lauk beragam, di Jalan Irian, Kota Pekalongan. Tapi, sekarang aktivitas jualan dilakukan di rumah.

Jualan juga merupakan salah satu kuncinya menjaga kebugaran karena memungkinkan dia untuk berjalan kaki ke pasar. Berkenaan dengan makanan, warga Podosugih, Pekalongan Barat, itu lebih suka mengonsumsi sayuran. Dia tidak bisa makan daging seperti sapi, kambing, dan sejenisnya.

Baca Juga  Astrid Wangsagirindra Pudjastawa, Guru SMA Penulis 18 Jurnal tentang Bahasa dan Budaya Jawa

“Paling bagus di Gunung Andong, Magelang. Di bawah lampu-lampu semua, di atas bintang-bintang, jadi indah sekali,” ujar Mbah Yuni terharu sambil memberi penekanan kata indah sekali.

Muhammad Menang Susilo, 32, anak bungsu Mbah Yuni, yang sering mendampingi sang ibu mengatakan bahwa banyak orang yang bilang kepadanya sudah sepuh kok masih diizinkan naik.

“Pegangan saya tetap pada persiapan dan kondisi terkini (ibu) sebelum berangkat. Kuat atau nggak,” katanya.

Saat pendakian, Mbah Yuni kerap disapa para pendaki lain yang mengenalnya mungkin dari unggahan di akun Instagram Ibu Yuni 1953 yang dijalankan anaknya. Sementara itu, Mbah Yuni tidak tahu siapa saja orang yang menyapanya tersebut.

Bahkan, saat berbelanja di pasar dekat gunung, dia sering kali tidak diperbolehkan membayar apa yang akan dibeli saat si pedagang itu mengetahui bahwa dirinya adalah pendaki. “Ke depan saya pengin ke Gunung Argopuro, kalau Allah mengizinkan. Aku dikasih rezeki yang banyak dan akunya sehat,” ucapnya. (*/c7/ttg/jpg)

Bagikan:

Berita Terkini