Institusi Pendidikan Berupaya Tanamkan Integritas kepada Anak Didik

GENERASI PENERUS BANGSA: Pelajar SD dan SMP berpartisipasi dalam seremoni peringatan Hardiknas di Kemendikbudristek pada Kamis (2/5).

Survei penilaian integritas (SPI) pendidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuahkan hasil yang tidak menggembirakan. Dari skala 1 sampai 5, skornya hanya 2 atau masuk kategori korektif. Sebenarnya seperti apakah upaya sekolah dan perguruan tinggi menanamkan nilai-nilai antikorupsi terhadap anak-anak didik?

 

SD Muhammadiyah 2 Peneleh, Surabaya, sudah menyemai nilai integritas dan karakter baik kepada para siswanya. “Branding kami sekolah adab,” ujar Kepala SD Muhammadiyah 2 Peneleh Choirotur Rosyidah kepada Jawa Pos Jumat (3/5).

Sekolah, menurut dia, punya program Pendekar Muda. Itulah akronim dari pendidikan karakter SD Muhammadiyah 2. Ada sembilan nilai penting di sana. Salah satunya adalah kejujuran. Siswa diajarkan nilai tauhid bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Jadi, siswa tidak boleh berbohong karena Tuhan pasti akan mengetahuinya.

Berkata jujur lebih baik walaupun menyakitkan. Praktik paling umum adalah ketika siswa datang terlambat. Ketika ditanya alasannya, siswa harus berkata jujur. Tidak ada toleransi bagi siswa yang pandai membuat alasan atau mengarang cerita tentang keterlambatannya.

Bahkan, ketika datang terlambat karena bangun kesiangan, siswa harus berani menyampaikannya. Tidak perlu malu atau takut. Sebagai bentuk apresiasi terhadap kejujuran mereka, sekolah tidak memberikan hukuman. Siswa hanya diberi teguran dan harus bersedia memperbaiki diri.

Dari hal-hal sederhana seperti itu, Rosyidah dan guru-guru membangun karakter jujur para siswa. Selain kejujuran, para siswa diajarkan untuk tidak merundung siswa lain. Nilai-nilai utama sebagai sekolah adab selalu ditanamkan dalam diri para siswa. Perempuan asal Lamongan itu mengungkapkan bahwa sekolah memberikan sertifikat kepada para siswa yang sudah melakukan kebaikan.

Baca Juga  Riset Veryl Hasan Temukan Hiu Air Tawar di Beberapa Daerah

Setiap bulan mereka dipilih berdasar kategori. Salah satunya adalah kategori disiplin waktu. Untuk memperdalam penanaman karakter terhadap siswa, para guru pun dituntut mampu memberikan teladan baik. Itu berlaku dari sisi kejujuran maupun kedisiplinan. Teladan lewat perilaku biasanya lebih mudah diserap para siswa.

Cerita lain tentang integritas datang dari SMAN 1 Mojosari, Mojokerto. Dalam rangka menanamkan karakter baik, sekolah membuka kantin kejujuran. Lewat kantin kejujuran, para siswa bisa langsung mempraktikkan karakter baik mereka. Itulah upaya nyata selain tentunya ada penyemaian nilai-nilai integritas yang disampaikan di kelas.

“Selama ini guru berusaha mencetak anak-anak yang integritasnya tinggi. Sayangnya, format yang ditanamkan sering kali kurang memberikan hasil yang cukup,” jelas Sam’un Hadi dari tim penasihat kesiswaan SMAN 1 Mojosari, Sabtu (4/5).

Di tingkat SMA, lanjut dia, karakter siswa sebenarnya sudah terbentuk. Karena itu, nilai-nilai integritas memang sebaiknya disemai sejak dini. “Rasa memiliki, jujur, integritas, itu harusnya ditanamkan sejak kecil. Pendidikan formal penting, tapi tentu pendidikan di keluarga itu sangat penting,” terangnya.

Di tingkat perguruan tinggi, upaya menegakkan nilai-nilai integritas juga tetap dilakukan. Misalnya, di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Rektor UMJ Ma’mun Murod menyatakan bahwa nilai-nilai integritas disisipkan dalam setiap program studi (prodi). “Sehingga mahasiswa mengetahui dan mendukung upaya pemberantasan korupsi,” terangnya pada Jumat (3/5).

Pihaknya juga menerapkan nilai integritas di organisasi intrakampus. Salah satunya, badan eksekutif mahasiswa (BEM). Saat mengajukan anggaran, mereka juga harus menyertakan program atau proyek yang akan digarap. Selain itu, mereka harus menyerahkan laporan keuangan dari program sebelumnya.

Baca Juga  Cerita Sayudi Prastopo, Jamaah Umrah yang Gowes dari Jakarta Menuju Makkah Selama 6 Bulan

Demikian pula saat pemilihan ketua BEM. Mahasiswa diimbau untuk tidak membuat aturan yang koruptif. Misalnya, aturan yang menutup peluang calon lain untuk maju atau menguntungkan calon tertentu.

“Di tataran kampus juga kami praktikkan nilai integritas. Misalnya, pengadaan barang dan jasa. Sistemnya sudah terpusat. Jadi, tidak bisa sembarangan,” tegasnya.

Ma’mun mengapresiasi survei pendidikan yang dilakukan KPK. Namun, akan lebih baik jika sebelum melakukan survei ke luar, KPK memperkuat integritas internalnya dulu. Selain itu, para elite di istana dan parlemen harus memberikan teladan perilaku antikorupsi.

“Karena kampus itu hanya hilirnya. Hulunya ada di elite politik kita, baik di istana maupun Senayan,” tandasnya.

Penanaman nilai integritas atau antikorupsi tidak cukup hanya melalui pembelajaran materi di kelas. Praktik secara nyata lebih penting. Itu akan membuat para siswa maupun mahasiswa terbiasa mewujudkan integritas dalam kehidupan sehari-hari.

Pengamat pendidikan Totok Amin Soefijanto mengatakan bahwa dunia pendidikan masih diwarnai banyak perilaku koruptif. “Kita masih banyak menemui praktik pungli, guru yang tidak hadir tanpa alasan yang jelas, Kepsek tidak menjalankan tugas dengan baik. Banyak sekali perilaku yang tidak menunjukkan integritas. Itu adalah warning bagi kita semua,” ujarnya kepada Jawa Pos, Jumat (3/5).

Baca Juga  Sutejo Sukses Bertanam Uwi Jumbo, Bibit Ditempatkan di Area Lembab, Media Tanam Dicampur Sekam

Totok merupakan salah satu sosok yang menggagas mata kuliah antikorupsi di Universitas Paramadina pada 2008 lalu. Dalam silabus disebutkan, perkuliahan antikorupsi berarti usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan proses belajar-mengajar yang kritis terhadap nilai-nilai antikorupsi.

“Kami ingin memberikan pemahaman bahwa korupsi itu adalah extraordinary crime yang memiliki konsekuensi besar terhadap masyarakat,” urainya.

Dilemanya, lanjut Totok, konsep moral, etika, dan nilai bukanlah mata pelajaran. Etika, moral, dan nilai adalah sesuatu yang harus dipraktikkan. Sehingga, perlu ada teladan untuk melakukan berbagai hal dengan moral dan etika.

Sementara itu, anggota Komisi X DPR RI Zainuddin Maliki mengkritik survei yang dilakukan KPK. “Kalau digeneralisasi, hasilnya seperti itu. Survei tidak bisa melihat realitas yang individual atau partikular,” paparnya.

Walaupun skor SPI pendidikan masih rendah, bukan berarti pendidikan di Indonesia tidak menghasilkan manusia yang baik. Sebenarnya, lembaga pendidikan masih banyak melahirkan manusia yang unggul dari sisi karakter. Tapi, survei tidak bisa memotret hal itu.

Yang menjadi persoalan, kata Zainuddin, sosok-sosok baik yang dicetak oleh pendidikan yang baik itu tidak bisa muncul di ruang publik. Mereka sulit menjadi pemimpin karena akses ke ruang publik dipenuhi dengan praktik transaksional dan pragmatisme.

“Kami harap orang-orang yang baik bisa mendapatkan kesempatan menjadi pemimpin. Jadi, sistem di ruang publik harus diperbaiki,” ungkapnya. (dee/lum/c6/c14/hep/jpg)

Bagikan:

Berita Terkini