Cerita Sayudi Prastopo, Jamaah Umrah yang Gowes dari Jakarta Menuju Makkah Selama 6 Bulan

MIMPI TERWUJUD: Sayudi Prastopo mengenakan pakaian ihram saat menjalankan umrah awal bulan lalu.

Meski sudah berada di Tanah Suci setelah menempuh perjalanan 30 ribu kilometer, Sayudi Prastopo memutuskan untuk tidak berhaji karena merasa tidak berhak. Berangkat pada November tahun lalu, dia memutuskan baru balik tanah air selepas musim haji.

 

ARIS IMAM MASYHUDI, Madinah

 

DINIATKAN Sayudi Prastopo sedari awal ingin ke Makkah dan Madinah, Arab Saudi. Terkait bisa berhaji atau tidak, semua dia serahkan kepada yang di Atas.

Dengan niat itu, dimulailah perjalanan panjang gowes dari tanah air menuju dua Tanah Suci tersebut pada November tahun lalu. Dan, selama hampir tujuh bulan, wiraswasta itu akhirnya berhasil menginjakkan kaki di destinasi impiannya tersebut pada awal bulan lalu.

Yang pertama dituju pria 53 tahun itu adalah Makkah. Begitu tiba, ayah tiga anak tersebut langsung melakukan umrah. Sesudahnya dia menuju Madinah untuk beribadah di Masjid Nabawi, sekaligus berusaha berziarah ke makam Rasulullah serta ke situs-situs religi lain.

Sebenarnya Sayudi berniat melanjutkan perjalanan kembali ke Makkah agar bisa menunaikan ibadah haji bulan depan. Sebab, dia mendengar ada cukup banyak jamaah umrah yang tetap tinggal di Arab Saudi agar bisa berhaji.

Namun, dia memutuskan berkonsultasi dulu ke Kantor Urusan Haji Indonesia (KUHI) Daerah Kerja (Daker) Madinah. Boleh atau tidak. Sebab, dalam perjalanannya ke Arab (maupun negara lain), dia menggunakan visa kunjungan (turis).

Baca Juga  Peringatan Hari Mangrove Sedunia Momentum Membangun Mental Peduli Lingkungan

“Dan, seperti kita ketahui, seluruh jamaah haji harus menggunakan visa haji. Karena itu, saya memutuskan untuk tidak melaksanakan ibadah haji,” katanya.

Jika nekat berhaji, Sayudi merasa itu tidak adil. Sebab, di Indonesia banyak orang yang harus mengantre puluhan tahun untuk bisa menunaikan rukun Islam kelima tersebut secara legal. Karena itulah, dia memutuskan untuk tetap berada di Madinah hingga selesainya musim haji. Baru pulang ke Indonesia.

Untuk sementara, Sayudi menumpang tinggal di KUHI Daker Madinah di kawasan Sayyid Assyuhada, yang berjarak 3,5 kilometer dari Masjid Nabawi. “Saya ikhlas (untuk tidak berhaji, Red) meskipun perjalanan yang saya tempuh sangat panjang dan tidak mudah,” ujarnya.

Perjuangan pria yang tinggal di kawasan Cibubur, Jakarta, itu memang begitu panjang dan melelahkan. Setelah menyelesaikan proses administrasi keimigrasian di Jakarta, dia lantas menyeberang dari Pelabuhan Merak ke Bakauheni, Lampung.

Setelah itu, dia lantas menjelajahi Sumatera sebelum menyeberang ke Malaysia hingga Thailand. Dari sana, dia tidak berani masuk ke Myanmar gara-gara situasi negara tersebut yang tengah konflik.

Dia lantas memilih jalur utara. Menuju Laos hingga masuk ke Tiongkok. Di rute-rute itu, dia masih bersepeda. “Sampai ke Beijing untuk pengurusan visa,” katanya.

Dari Beijing, Sayudi tidak bisa gowes seperti sebelum-sebelumnya. Dia diminta untuk naik kereta api. “Sejak dari Beijing, saya naik turun kereta sampai ke perbatasan Tiongkok–Pakistan,” ungkap pria berkulit sawo matang itu.

Di jalur tersebut, Sayudi sempat dibuat merinding saat melintas di Karakoram Highway, jalur utama perbatasan Tiongkok–Pakistan yang terkenal ekstrem. Dia sampai harus membeli satu tube oksigen agar tidak pusing karena harus melintasi dataran setinggi sekitar 4.700 meter.

Dari semua jalur yang dia lewati, rute itu paling menegangkan. Setelah melintasi Sost, pintu masuk Pakistan, Sayudi bisa kembali bersepeda jarak jauh hingga ke Islamabad.

Baru, setelah sampai di Karachi, dia mengombinasikan antara naik sepeda serta angkutan umum menuju Islamabad sejauh 1.200 meter. Petualangannya bersepeda akhirnya berakhir. Sebab, dia diwajibkan untuk naik pesawat menuju Qatar karena aturannya memang tidak memperbolehkan. Dari Qatar, Sayudi melanjutkan perjalanan daratnya menuju pintu masuk Arab Saudi.

Baca Juga  Ayam Cemani yang Dikenal Langka dan Mahal

Sama, dia tidak bisa lagi bersepeda. Diwajibkan untuk naik sejumlah angkutan umum berupa bus serta kendaraan khusus yang biasa dipakai jemaah umrah di wilayah tersebut. Hingga akhirnya, dia tiba di Makkah.

Soal istirahat, Sayudi tak memusingkannya. Sebab, dia terbiasa tidur di mana pun di tempat yang disinggahi. Sedari awal dia mematok menggowes 18 jam setiap hari.

Lantas, berapa biaya yang dia keluarkan untuk melaksanakan niat besarnya itu? Sayudi tidak pernah memikirkan. Sebab, dia berkeyakinan bahwa semuanya sudah diatur Allah.

Apalagi, istri dan ketiga anaknya merestui ikhtiarnya. “Dan, alhamdulillah banyak pihak yang memberikan bantuan kepada saya sampai tiba di Tanah Suci ini,” tuturnya.

Meski akhirnya tidak bisa berhaji, Sayudi sudah bersyukur. Sebab, banyak misinya yang sudah tercapai. Terutama karena bisa beribadah di Makkah-Madinah.

Yang juga melegakannya, dia bisa mewujudkan cita-citanya yang lain: turut menjaga alam. Bagi dia, bersepeda adalah solusi untuk mengurangi pencemaran lingkungan. “Terbukti, dengan bersepeda, apa yang saya harapkan bisa dilakukan,” tandasnya. (*/c14/ttg/jpg)

Bagikan:

Berita Terkini