Pandemi menjadi titik awal berdirinya kebun atap milik Erika Ninda Pratama. Untuk menjaga ketahanan pangan keluarga di masa sulit itu, dia menanam aneka sayuran dan bumbu dapur. Ketekunan membagikan update dan tips berkebun mengantarkannya jadi kreator konten berkebun yang sukses.
BAGI orang yang tidak punya lahan luas, atap menjadi salah satu alternatif untuk berkebun. Tidak harus lapang. Erika menyulap atap rumahnya yang hanya berukuran 6×5 meter persegi menjadi kebun dengan aneka tanaman.
Ada cabai, tomat, daun bawang, sampai yang tanaman impor seperti kale, mizuna, dan mustard. “Aku lebih tertarik menanam sayuran dan buah untuk ketahanan pangan. Apalagi waktu itu pandemi. Sekarang mulai tertarik ke tanaman impor langka. Kemarin baru nanam aneka melon dari berbagai belahan dunia,” tutur Erika.
Menurut dia, salah satu keuntungan memiliki kebun sendiri adalah tidak perlu ikut pusing saat harga sayur dan buah naik. Hampir separo kebutuhan dapur tinggal petik. Meski begitu, dia tidak menampik bahwa berkebun itu tidak mudah. Tanamannya tidak selalu berbuah. Erika pun merasakan yang namanya gagal panen.
“Sebagai konten kreator berkebun, kita dituntut menampilkan gambar yang bagus. Kenyataannya sering kali mengenaskan. Tidak kehitung berapa kali gagal, tapi nggak boleh patah semangat,” ungkap kreator konten @gardeningwither itu.
Karena itu, kepada orang yang baru mau mulai berkebun, Erika kerap mengingatkan untuk menanam tanaman yang disukai terlebih dahulu. Kalau sudah berhasil, baru menanam jenis lain.
“Kalau teman-teman suka kangkung, tanam kangkung. Kalau tumbuh, baru tanam sawi, bayam. Jangan FOMO. Banyak loh yang berkebun sekadar FOMO, begitu gagal langsung menyerah deh berkebunnya,” kata owner bibitmurah.id itu.
Umumnya, tanaman mati akibat terserang penyakit tular tanah atau jamur. Hal itu bisa diantisipasi dengan menggunakan antijamur. Erika menambahkan, media tanam harus difermentasi dulu untuk mencegah penyakit tular tanah.
“Untuk hama kutu-kutuan bisa pakai neem oil, air rendaman kulit bawang atau eco-enzyme. Sebisa mungkin aku menghindari pestisida anorganik karena residunya tidak baik buat tubuh, sedangkan aku biasa makan sayuranku mentah,” imbuhnya.
Keterbatasan lahan membuat Erika memilih metode tabulampot. Yakni, budi daya tanaman dengan memanfaatkan pot. Dia juga menggunakan hidroponik sederhana atau sistem wick untuk 70 persen kebunnya. Sistem wick sangat membantu Erika yang tinggal di iklim panas dengan lahan terbatas.
“Tanpa pompa, tanpa listrik, dan jadi nggak perlu menyiram setiap hari. Tinggal cek nutrisinya seminggu sekali. Kebutuhan nutrisinya sekitar 900–1.200 ppm,” jelas perempuan yang kini menetap di Tangerang itu.
Cuaca yang sangat panas bisa diatasi dengan penggunaan paranet atau plastik UV. Terbukti, tanaman stroberi jepang miliknya berhasil berbuah. Baginya, selalu ada 1001 cara dalam berkebun. Tinggal inisiatif untuk belajar dan mencari tahu.
“Sabar dan konsisten juga jadi salah satu kunci. Jadi, bukan karena tangan panas ya, itu mitos,” ucapnya. (lai/c6/ai/jpg)