Untuk mendukung revitalisasi, bakal ada museum di Cagar Budaya Muarajambi yang tidak hanya mendisplai barang, tapi juga dilengkapi laboratorium tempat belajar berbagai bidang ilmu.
ZALZILATUL HIKMIA, Jambi
TERIK matahari tak mengurangi kekhidmatan suasana di area Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarajambi, Jambi.
Samar, suara alunan musik tradisional terdengar dari gambang gendang dan kelintang kayu yang dimainkan para petugas adat di lokasi. Musik tersebut menandai dimulainya prosesi Tegak Tiang Tuo dalam pembangunan Museum KCBN Muarajambi pada Rabu (5/6) siang lalu.
Perlahan, para petugas syara’, pemangku adat, datuk kepala desa, alim ulama, cerdik pandai, dan tuo tengganai memasuki area tengah sembari menggotong balok kayu Bulian yang cukup besar.
Panjangnya kurang lebih 4 meter. Sesuai adat setempat, kayu ini biasanya diletakkan di tengah lokasi bangunan dan berukuran lebih besar dari tiang-tiang lainnya. Kedatangan mereka kemudian diikuti dengan pembawa cecokot yang terdiri atas tapak kuda, tahi angin, tahi besi, emas, perak, garam, dan setabun tawar.
Prosesi Tegak Tiang Tuo, menurut pemangku adat Desa Danau Lamo Ismail Ahmad, merupakan tradisi yang diwariskan turun-temurun di Desa Danau Lamo. “Biasanya, prosesi dilakukan ketika akan membangun rumah atau bangunan lainnya,” katanya.
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid, prosesi itu sangat penting sebagai langkah awal untuk melindungi dan mengkaji warisan budaya Muarajambi.
“Ini utamanya adalah kami sedang merekonstruksi peradaban sebagai sumber inspirasi kita ke depan,” tuturnya.
KCBN Muarajambi diperkirakan dibangun pada abad ke-6 dan dihuni masyarakat hingga sekitar abad ke-13. Selaras dengan periode kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang saat itu tengah menguasai perdagangan dan kebudayaan di Asia Tenggara.
Masa 600 tahun itu pun, menurut Hilmar, bukanlah waktu singkat. Tak heran, banyak sekali peninggalan sejarah yang ditemukan di area seluas 4.000 hektare tersebut. Setidaknya, ada 115 situs percandian dan lebih dari 3.000 koleksi yang berhasil ditemukan saat ini.
Dari kajian yang telah dilakukan, KCBN Muarajambi ini ternyata bukan sebatas tempat yang digunakan untuk kepentingan spiritual. Tapi, juga pusat pendidikan di masa lalu.
Hilmar bahkan menyebut, kawasan itu cukup kosmopolitan di zamannya. Hal ini tergambar dari temuan-temuan yang ada. Mulai dari riasan emas, patung andesit, hingga keramik dari Tiongkok.
Tak heran, saat itu banyak orang dari berbagai tempat di Asia yang belajar bahasa Sanskrit hingga mendalami agama Buddha. “Itu menandakan situs ini berinteraksi dengan daerah luar cukup intens,” ungkapnya.
Karenanya, selain untuk menggali sejarah, revitalisasi itu juga diharapkan bisa kembali menarik perhatian dunia. Dia optimistis situs Buddhisme terbesar di Asia Tenggara tersebut bisa lebih prestisius dari Candi Angkor Wat di Kamboja.
Pembangunan museum, kata dia, akan menjadi pendukung dari KCBN Muarajambi. Museum yang dibangun di lahan seluas sekitar 10 hektare itu terdiri atas 17 bangunan. Di antaranya, tempat penyimpanan, galeri, laboratorium, dan bangunan pendukung lainnya. Ditargetkan, pembangunan museum tahap I rampung pada Oktober 2024.
Arsitek Museum KCBN Muarajambi Yori Antar mengungkapkan, museum itu bakal dijadikan tempat pendidikan. Bakal ada laboratorium di dalamnya. Sehingga, dapat dimanfaatkan sebagai tempat belajar bersama berbagai bidang ilmu.
Entah itu arsitektur, arkeologi, antropologi, maupun botani. “Jadi, kami mau ini jadi living museum. Akan laboratorium terbuka. Sehingga tidak hanya untuk displai barang,” tegasnya.
Terkait pembangunannya, Yori berencana menggunakan terakota seperti halnya struktur candi di kawasan itu. Unsur alam pun bakal disematkan sesuai dengan ekosistem yang ada di KCBN Muarajambi. (*/c6/ttg/jpg)