Muhammad Reza Cordova, Profesor Riset Termuda di BRIN yang Fokus pada Mikroplastik di Laut

AHLI MIKROPLASTIK: Muhammad Reza Cordova saat ini menyandang predikat sebagai profesor riset termuda di BRIN.

Puncak karier seorang peneliti di lembaga riset adalah menjadi profesor riset. Muhammad Reza Cordova berhasil meraihnya di usia yang relatif muda. Upaya penanganan mikroplastik menjadi perhatian utamanya.

 

M.HILMI SETIAWAN, Jakarta

 

“Prof, Prof, Prof. Jangan panggil saya Prof,” kata Muhammad Reza Cordova kepada wartawan saat diskusi mengenai kebocoran sampah plastik di kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 11 September lalu. Pada diskusi itu, Reza begitu luwes memaparkan soal sampah laut. Khususnya mengenai mikroplastik.

Pria kelahiran Bogor, 3 November 1986, itu berhasil menyandang status sebagai profesor riset termuda di BRIN. Dia dikukuhkan bersama tiga profesor riset lainnya pada 27 Juli lalu.

Itu artinya, saat dikukuhkan, usia Reza menginjak 37 tahun. Masih terbilang muda.

Saat pengukuhan profesor riset urutan ke-667 itu, Reza menyampaikan orasi mengenai sampah plastik. Judulnya, Pengelolaan Sampah Plastik dalam Mendukung Mitigasi Pencemaran Lingkungan Laut.

Baginya, sampah laut adalah persoalan global. Sampah laut sama seperti angin. Jika memakai istilah saat pemilu presiden, sampah laut pun tidak memiliki KTP. Sampah laut dari Indonesia, ada yang ditemukan di Afrika Selatan (jarak 10.051 km).

Baca Juga  Enjoy Your Symptoms, Band Digawangi Para PhD dan Master dengan Lagu yang Penuh Pesan Filosofis

Bahkan sampah plastik dari Sungai Cisadane, Kabupaten Bogor, ada yang sampai ke Madagaskar (jarak 6.607 km). Sampah plastik dari Indonesia juga ditemukan di sejumlah pantai-pantai menawan di Maladewa.

Reza menceritakan, dirinya menjadi peneliti mulai 2015 di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), institusi yang sejak 2021 dilebur menjadi BRIN. Ketika itu, mimpi ingin menjadi profesor riset sudah tumbuh. “Sempat tebersit di pikiran, kayaknya seru jadi profesor riset termuda di LIPI,” katanya.

Reza menegaskan, menjadi profesor riset bukan tujuan utamanya. Baginya itu sebagai bonus. Hal itu berkat kegigihannya dalam melakukan penelitian serta publikasi ilmiah. Saat dikukuhkan menjadi profesor riset, Reza tercatat sudah menghasilkan 86 publikasi ilmiah. Dia juga aktif sebagai mentor akademik, menerima berbagai penghargaan, serta menjadi inspirasi bagi periset muda lainnya.

Namun, lanjut dia, penelitian yang diwujudkan dalam publikasi ilmiah itu bermanfaat untuk masyarakat ilmiah saja. Tantangan berikutnya adalah bagaimana mengubah hasil riset itu supaya bisa masuk ke pemerintahan atau pengambil kebijakan. Sehingga bisa berujung menjadi kebijakan yang membawa kebaikan untuk manusia.

Baca Juga  Binalatung Beach Dideklarasikan Sebagai Kawasan Ekowisata

“Ini harus saya lakukan. Karena saya merasa bertanggung jawab, diberikan ilmu sama Tuhan, masak tidak ada manfaatnya,” tutur pemilik sekitar lima paten itu. Reza menegaskan, hilirisasi berbagai penelitiannya bukan mengarah pada produk komersial atau sebuah purwarupa.

Meski begitu, saat ini ada hasil penelitiannya bersama sejumlah kolega yang masuk tahap uji coba. Penelitian tersebut adalah pengolahan sampah plastik dibuat interlocking brick. Yaitu sejenis concrete block (conblock) atau batu bata.

Bata dari sampah plastik itu sedang diuji supaya bisa digunakan sebagai tembok di pesisir. Tujuannya adalah menahan laju abrasi. Menurutnya, abrasi saat ini menjadi ancaman semua negara yang memiliki pantai. Meningkatnya suhu muka air laut yang dipicu perubahan iklim membuat muka air laut semakin bertambah.

Baca Juga  Cara Memilih dan Mendekor Rumah Ternyata Mencerminkan Introvert atau Ekstrovert

Reza menjelaskan, inovasi pembuatan conblock itu nantinya tentu akan didaftarkan patennya. Tetapi, bisa jadi nanti sifat patennya terbuka. Artinya bisa dimanfaatkan oleh siapa pun. Sebab, untuk mencegah abrasi di pesisir atau bibir pantai, butuh kolaborasi banyak pihak.

Pengujian yang dilakukan saat ini untuk mengukur seberapa besar mikroplastik yang dilepaskan oleh conblock tersebut ke lautan. Jangan sampai mikroplastik yang terlepas ternyata cukup besar.

Di depan sejumlah wartawan di kantor BRIN, Reza menyampaikan bahwa plastik sejatinya bukan musuh manusia. Tetapi, yang masih jadi tantangan sampai sekarang adalah pengelolaannya. Dia mengatakan, 60 persen penggunaan plastik di dunia adalah plastik sekali pakai. Seperti botol air minum dan pembungkus makanan.

Khusus di Indonesia, keberadaan tempat pembuatan akhir (TPA) juga belum efektif. Karena baru 50 persen produksi sampah yang berakhir di TPA. Banyak orang yang masih membakar sampah atau membuang ke sungai yang akhirnya bermuara di lautan. (*/c17/bay/jpg/uno)

Bagikan:

Berita Terkini