Kota identik dengan gemerlap lampu, hiburan, bising, dan ramai orang. Namun, penelitian Health Collaborative Center (HCC) menyebutkan bahwa 4 di antara 10 orang yang tinggal di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) justru kesepian.
INDRI tinggal di Kabupaten Bogor. Setiap hari dia harus menempuh perjalanan selama dua jam dengan Trans Jakarta untuk menuju tempat kerja. Pulangnya pun, dia harus kembali naik angkutan umum itu selama dua jam.
Rutinitas kerja yang menyita waktu tersebut membuat perempuan yang usianya masuk awal 30-an itu, terlalu payah memasukkan agenda ketemu teman atau sekadar nongkrong. Namun, seperti itulah gaya hidup modern kaum urban.
“Sebenernya kalau kenalan ya banyak. Ada kolega dan orang-orang yang kenal karena pekerjaan,” kata Indri kepada Jawa Pos, Sabtu (16/3) lalu.
Namun, yang dia sebutkan itu bukanlah circle teman dekat. Maka, interaksi Indri dengan mereka seperlunya saja. Jika memang sedang ada kesempatan bertemu dengan teman-teman dekat, Indri sering kali tak tega untuk memanfaatkan momen tersebut sebagai sesi curhat atau deep talk.
Apalagi, menyepakati hari dan waktu ketemuan pun tidak semudah dulu saat beban kerja atau mengurus keluarga belum banyak. Maka, agenda hang out dua kali sebulan selalu dia optimalkan. Untuk mempererat pertemanan atau meningkatkan kualitas me time. No drama.
Lantas, bagaimana jika hati sedang gundah? Tak adakah teman yang bisa dijangkau untuk sekadar mencurahkan unek-unek? “Sering nulis di blog atau buku jurnal. Soalnya kalau cerita juga bingung,” ucapnya.
Kisah seperti Indri jamak ditemui di kota-kota besar. Khususnya, Jabodetabek yang terpapar gaya hidup modern. Akhir tahun lalu, HCC menyurvei masyarakat yang tinggal di Jabodetabek tentang loneliness atau kesepian. Total ada 1.229 responden yang berpartisipasi dalam survei daring tersebut.
Mayoritas responden adalah kaum perempuan, para perantau, belum menikah, dan mereka yang usianya kurang dari 40 tahun.
“Dari survei ini diketahui bahwa 44 persen warga Jabodetabek kesepian,” kata Ketua HCC dr Ray Wagiu Basrowi pada Selasa (12/3) pekan lalu. Dia mengatakan bahwa tingkat kepercayaan survei tersebut 95 persen.
“Penelitian ini sudah mendapatkan izin etik dari Komisi Etik Kesehatan yang merujuk pada tingkat kredibilitas dan validitas hasil,” imbuhnya.
Sebanyak 62 persen responden menyatakan bahwa kesepian mereka disebabkan ketidakcocokan pergaulan atau ketidaksesuaian dengan orang-orang di sekitarnya. Ray menambahkan, bahkan kelompok usia muda dan produktif juga merasa kesepian. “Perlu ada support system agar tidak merasa kesepian,” ujar dosen kedokteran kerja di Departemen Kedokteran Komunitas FKUI tersebut.
Yang menarik, dari survei itu terlihat bahwa status perkawinan juga punya kontribusi signifikan dalam membentuk kesepian. Sebanyak 60 persen responden yang berstatus single, belum menikah atau bercerai, cenderung mengalami kesepian derajat sedang hingga berat.
“Kondisi itu dialami perempuan. Jadi, perempuan memang lebih rawan kesepian jika tidak dalam ikatan pernikahan,” ujar Ray.
Kendati ada begitu banyak faktor lain yang turut berkontribusi dalam menciptakan rasa kesepian. Hasil survei HCC cukup representatif untuk membaca kebutuhan masyarakat modern. Khususnya, Jabodetabek.
Bahwasannya, kesepian adalah kondisi mental yang tidak bisa diselesaikan dengan hanya menambah gemerlap lampu atau menghadirkan lebih banyak hiburan dan pusat keramaian.
September lalu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) merilis global recommendation terkait kesepian. “Menurut WHO, kesepian dapat meningkatkan risiko kematian sampai 45 persen. Ancaman kesepian sama besarnya dengan merokok 15 batang setiap hari,” ujarnya.
Ray berharap penelitian yang mengacu pada UCLA Loneliness Scale itu bisa menjadi bahan diskusi dan rekomendasi bagi masyarakat luas. Terutama bagi pemerintah dan para tenaga kesehatan. “Hasil studi ini diharapkan bisa menjadi pemantik diskusi pentingnya kesehatan jiwa di Indonesia,” tandasnya.
Kesepian sama mematikannya dengan kebiasaan merokok. Tahun lalu, WHO bahkan mendeklarasikan kesepian sebagai ancaman kesehatan global yang perlu segera diatasi.
Dalam riset yang diinisiasi ahli bedah Amerika Serikat (AS) Dr Vivek Murthy diketahui bahwa dampak kesepian sama berbahayanya dengan dampak kesehatan gara-gara merokok 15 batang per hari.
“Peradangan dan produksi hormon kortisol makin kenceng sehingga muncul penyakit fisik maupun gangguan mental,” ungkap dr Damba Bestari SpKJ kepada Jawa Pos, Kamis (14/3).
Pakar kesehatan jiwa FK Unair itu menyatakan bahwa kesepian atau loneliness adalah perasaan hampa, kosong karena tak terhubung dengan sekitarnya. Donna –sapaan akrabnya– menilai, kondisi itu kini umum ditemui di masyarakat urban kota besar.
Kesibukan padat, pendapatan dan karier stabil, serta lingkungan yang ramai tak menjamin seseorang merasa ”utuh”.
“Padahal, merujuk ahli psikoanalisis Melanie Klein, basic instinct kita adalah keterhubungan dengan orang lain. Jadi, untuk menghindari kesepian, seseorang perlu merasa terkoneksi,” ujarnya.
Donna juga menegaskan bahwa loneliness berbeda dengan solitude atau kesendirian. Kesendirian adalah pilihan, yang justru membuat seseorang punya ruang untuk merefleksikan diri dan merasa cukup (content). Sementara itu, kesepian bukanlah pilihan dan sifatnya subjektif.
Psikiater sekaligus dosen tersebut menjelaskan, orang-orang kota hidup di tengah hustle culture. “Mereka terbiasa individualis, kompetitif. Lalu, support system tidak berfungsi,” imbuhnya.
Donna menilai, pemakaian gawai juga sangat memengaruhi tingkat kesepian. Dalam pemakaian wajar, gadget –khususnya untuk akses media sosial– membantu penggunanya terhubung dengan orang-orang terkasih. “Sisi buruknya, pemakaian berlebihan membuat orang merasa hyperconnected. Tapi, secara sosial, tidak. Contohnya saja, satu keluarga makan bersama, tapi sibuk dengan gawai masing-masing,” paparnya.
Di sisi lain, terpapar media sosial membuat seseorang malah merasa insecure dan FOMO (fear of missing out). “Akhirnya, muncul rasa sepi karena melihat pencapaian orang lain yang dinilai ’lebih’ dari kita,” tegas Donna.
Jika dibiarkan, kesepian bisa memengaruhi kegiatan sehari-hari. Suasana hati berubah jadi mudah murung dan cemas. Donna mengungkapkan, guna mengatasi kesepian, perlu waktu untuk healing atau memulihkan diri. Yakni, lewat bertemu dengan sahabat dan keluarga setidaknya seminggu sekali. Atau, 20 menit dalam sehari.
“Dan kalau bisa, di alam terbuka atau tempat yang hijau. Sebab, secara ecopsychology, hal itu mendorong seseorang merasa terhubung,” lanjutnya.
Selain itu, orang terdekat bisa memberikan bantuan jika muncul perubahan sikap atau kebiasaan. “Mulai dari small talk. Intinya, buka pintu, bergantung mereka mau masuk atau tidak. Jika dianggap penting, ajak untuk mendapat bantuan profesional,” tegasnya. (lyn/fam/c7/hep/jpg)