Mudik Lebaran 2024 dan Nostalgia Jalur Lawas Hutan Saradan, Kini Hanya Ramai Pemotor

DULU LANGGANAN MACET: Sejumlah pengendara saat melintas di pertigaan Lemahbang, Saradan, Kabupaten Madiun (5/3).

Kehadiran tol Jawa mereduksi besar-besaran jumlah pengendara yang melintas di jalur Saradan. Kini mobil pribadi yang lewat sana paling hanya karena kangen pecel lauk ikan tawar.

AHMAD REZATRIYA BELANI, Kabupaten Madiun

DULU, banyak restoran dan warung berdiri berjejer menawarkan beragam sajian makanan. Di periode mudik kendaraan menuju arah Madiun-Solo (dan Surabaya ketika masa balik) berjejal di jalan raya di hadapannya.

“Dulu masih ada seperti itu, kadang pas macet begitu turun dari mobil gelar tikar makan bekal,” tutur Mugihantoro, salah seorang pengendara yang sedang beristirahat di Pos Polisi Lemahbang, Saradan, Madiun.

Tapi, kini, bak bumi dan langit. Tol Jawa mengubah semuanya. Volume kendaraan yang melintasi Saradan di perbatasan Kabupaten Madiun dan Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, dengan nuansa khas hutan jati, menurun jauh.

Baca Juga  Mengenal Anabul Kootie, Kucing Persia yang Bawel Ngoceh ”Makan” Tiap Lapar

Ketika Jawa Pos melintas di sana pada Selasa (5/3) tiga pekan lalu, jalanan tampak lengang. “Kalau sekarang sepi. Dulu kalau sini macet bisa berjam-jam. Sudah ada tol, jadi mobil milih lewat sana,” tutur Mugihantoro.

Sepanjang jalur lawas hutan jati Saradan sendiri sebenarnya ada banyak titik untuk beristirahat. Mulai pom bensin di kiri jalan dari arah Madiun, lalu Pasar Burung Saradan, atau di Waduk Jati Bening.

Mugihantoro mengungkapkan, jika lewat jalur tersebut, dirinya pasti menyempatkan untuk makan di warung sekitar. Pecel dengan lauk ikan air tawar jadi andalannya.

Dia mengaku tidak punya warung favorit. Menurutnya, semua warung di jalur tersebut memiliki ciri khas dan rasa yang hampir sama. “Kalau tidak pecel, beli ikan dekat waduk biasanya ada yang jual hasil pancingan,” katanya.

Baca Juga  Cerita Suroso, CJH Tunanetra Naik Haji Didampingi Anak, Hanya Ingin ke Kakbah dan Berhaji

Salah satu spot paling sibuk adalah di pertigaan Lemahbang. Di sana berdiri pos polisi dan juga sebuah musala. “Di sini jadi titik orang istirahat, kemudian makan, dan turun bus untuk lanjut ke Ngawi atau Bojonegoro,” ujar Eko Puji, salah seorang pemilik warung di pertigaan Lemahbang.

Dari Lemahbang menuju ke Bojonegoro membutuhkan waktu paling lama sejam ke arah utara. Sedangkan untuk ke Ngawi bisa satu jam setengah ke arah barat. Jalur yang dilewati untuk menuju ke Bojonegoro sendiri didominasi hutan jati.

“Selang-seling, kadang hutan kadang permukiman,” imbuhnya. Menurut Eko yang sudah 21 tahun membuka warung di pertigaan Lemahbang jalur hutan Saradan, adanya tol trans-Jawa yang aktif enam tahun lalu jelas sangat berdampak. Ditambah pandemi Covid-19 pada 2020, dia dan istri harus berupaya lebih keras untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Baca Juga  Enjoy Your Symptoms, Band Digawangi Para PhD dan Master dengan Lagu yang Penuh Pesan Filosofis

“Sekarang banyak lewat sini paling pesepeda, terus motor. Bus atau travel kadang-kadang saja mampir, sama sopir truk yang sering,” jelasnya.

Banyak tetangganya yang juga warga Desa Pajaran, Saradan, menutup usaha warung kopi dan makan di sekitar jalur tersebut karena sepi. “Ada juga restoran cukup besar di arah dekat Wilangan, sana juga tutup toh, karena memang sepi. Paling kalau mobil (pribadi) lewat sini karena mungkin kangen pecel (lauk ikan air tawar) saja,” tuturnya. (*/c17/ttg/jpg/uno)

Bagikan:

Berita Terkini