Optimalisasi Penyerapan Gabah Strategi Ketahanan Pangan di Kaltara

Oleh: Aslan, SE., M.Ec.Dev Akademisi Ekonomi Universitas Kaltara

KETAHANAN pangan kembali menjadi fokus nasional. Dalam Asta Cita Pemerintahan Prabowo-Gibran, swasembada pangan disebut secara eksplisit sebagai tujuan strategis yang harus dicapai.

Langkah konkret pun telah dimulai, salah satunya melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2025 tentang pengadaan dan pengelolaan gabah/beras dalam negeri. Di tingkat pelaksana, BULOG mendapat mandat untuk menyerap gabah petani lokal. Kalimantan Utara menjadi salah satu laboratorium awal dari kebijakan ini.

Melalui laporan yang disusun Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Provinsi Kalimantan Utara (2025), kita memperoleh gambaran cukup komprehensif bagaimana realisasi program penyerapan gabah berlangsung di daerah perbatasan ini.

Hasilnya menggembirakan sekaligus menantang: BULOG Cabang Bulungan dan Tarakan berhasil menyerap gabah petani hingga 142 ton selama kuartal awal 2025. Harga pembelian yang ditetapkan Rp 6.500/kg dianggap cukup layak oleh petani karena dapat menutupi biaya produksi dan memberikan margin keuntungan.

Namun, dibalik capaian itu, masih tersimpan banyak tantangan klasik pembangunan pertanian Indonesia: lemahnya infrastruktur pascapanen. Terbatasnya fasilitas pengolahan dan pergudangan, serta minimnya koordinasi lintas pemangku kepentingan.

Salah satu temuan menarik dari laporan tersebut adalah kenyataan bahwa proses pengeringan gabah di Sajau, Bulungan, masih mengandalkan penjemuran manual. BULOG belum memiliki dryer yang aktif, dan bahkan mitra penggilingan swasta pun memiliki mesin pengering yang rusak karena lama tidak digunakan.

Baca Juga  Pecahkan Rekor MURI Bermain Asinan Terbanyak

Ketika hujan turun, gabah tidak bisa diproses hingga berhari-hari. Ini menurunkan efisiensi dan kualitas beras yang dihasilkan. Kondisi serupa terjadi pada aspek penyimpanan. BULOG hanya bisa menyimpan beras hasil giling, sementara gabah kering panen (GKP) atau gabah kering giling (GKG) masih dititipkan di rumah petani atau mitra swasta.

Ini mencerminkan persoalan kapasitas gudang yang terbatas, sekaligus menunjukkan pentingnya investasi logistik pangan di daerah-daerah produksi.

Kondisi ini bukan semata kelemahan BULOG, tetapi merupakan gambaran umum dari ketimpangan investasi pertanian di luar Jawa. Seperti dikaji oleh Saragih (2020), pembangunan pertanian Indonesia kerap berhenti pada subsistem produksi, sementara subsistem pascapanen dan distribusi tidak tersentuh. Akibatnya, surplus produksi tidak menjamin kesejahteraan petani maupun keamanan pasokan pangan.

Apa yang terjadi di Kalimantan Utara menunjukkan bahwa program penyerapan gabah ini lebih dari sekadar kebijakan stabilisasi harga. Ia adalah bentuk investasi pemerintah terhadap keberlanjutan pangan nasional.

Ketika negara hadir untuk menyerap hasil panen, maka petani tidak lagi dihantui ketakutan menjual hasil tanamnya. Kepastian pasar adalah bentuk perlindungan yang paling mendasar dalam sistem pertanian. Dari kacamata teori kebijakan pangan (FAO, 2018). Program seperti ini termasuk dalam price stabilization mechanism, yaitu kebijakan intervensi pasar untuk menjaga agar petani tidak merugi dan konsumen tetap bisa mengakses pangan dengan harga wajar.

Baca Juga  Pasien Suspek, Negatif Cacar Monyet

Namun, agar efektif, kebijakan ini membutuhkan dukungan kelembagaan, infrastruktur, dan tata kelola yang adaptif terhadap konteks lokal.

Kalimantan Utara telah menunjukkan potensi besar dalam hal ini. Inovasi lokal seperti Tumpang Sisi Padi (TUSIP) yakni penanaman padi di bawah naungan tanaman kakao atau sawit merupakan strategi adaptif untuk mengatasi keterbatasan lahan. Pemerintah provinsi juga tengah mengembangkan varietas padi tahan air asin yang dapat ditanam di wilayah pesisir.

Tapi tentu saja, inovasi tidak akan berarti banyak tanpa dukungan sistem riset, pelatihan, dan pemasaran. Ke depan, strategi ketahanan pangan tidak bisa hanya mengandalkan satu aktor seperti BULOG.

Dibutuhkan sinergi antara pemerintah daerah, koperasi tani, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan pelaku swasta lokal. Gapoktan yang selama ini hanya sebagai penerima bantuan, perlu ditransformasi menjadi entitas ekonomi yang mampu mengelola pasokan, pengolahan, dan pemasaran hasil tani.

Langkah-langkah yang diusulkan DJPb Kaltara, seperti pembuatan dashboard penyerapan gabah secara real time, percepatan modernisasi alat mesin pertanian, serta optimalisasi dana OIP untuk pembelian hasil petani, adalah kebijakan teknokratik yang patut didorong.

Baca Juga  Dua IRT Nekat Edarkan Sabu

Namun, pada saat yang sama, penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di daerah tidak boleh dilupakan. Penyerapan gabah petani harus dibarengi dengan pembinaan petani milenial, pelatihan pendamping lapangan (PPL), dan penyusunan rantai nilai (value chain) berbasis desa. Seperti dikemukakan oleh Altieri dan Nicholls (2017), sistem pangan berkelanjutan hanya akan berhasil jika berbasis pada pendekatan agroekologi partisipatif.

Artinya, petani bukan sekadar produsen bahan mentah, tetapi aktor utama dalam ekosistem pertanian yang sehat secara ekonomi, sosial, dan ekologis.

Kesimpulan, upaya penyerapan gabah oleh BULOG di Kalimantan Utara menjadi langkah awal yang strategis untuk membangun ketahanan pangan dari daerah. Meski masih menghadapi berbagai tantangan struktural dan teknis, inisiatif ini telah memberi sinyal positif kepada para petani bahwa negara hadir dan berpihak. Kebijakan pangan tidak boleh berhenti pada wacana swasembada atau angka statistik belaka.

Ia harus berakar pada realitas petani dan daerah-daerah produsen yang selama ini terpinggirkan dari arus utama pembangunan. Jika Kalimantan Utara berhasil, maka ia akan menjadi model inspiratif bahwa ketahanan pangan bisa dibangun dari daerah. (*)

Bagikan:

Berita Terkini