Oleh: Aslan, SE., M.Ec.Dev
Akademisi Fakultas Ekonomi, Universitas Kaltara
PROVINSI Kalimantan Utara kini memasuki paruh kedua tahun anggaran 2025. Dari hasil rapat kerja Komisi II DPRD dengan sejumlah OPD strategis, terlihat bahwa sebagian besar realisasi anggaran masih berada pada kisaran 35–40 persen.
Sementara itu, program-program yang menyentuh langsung masyarakat seperti budidaya perikanan, pengawasan zona tangkap, subsidi ongkos angkut, hingga promosi UMKM justru mengalami realisasi terendah. Ini menjadi sinyal kuat bahwa kita tidak cukup hanya mengejar serapan anggaran, tetapi harus mengarah pada anggaran yang berdampak nyata.
Rendahnya penyerapan pada program teknis menunjukkan adanya kendala struktural: mulai dari keterlambatan perencanaan, sistem keuangan yang lambat, hingga minimnya kapasitas pelaksana program di lapangan.
Dalam teori performance-based budgeting, anggaran daerah seharusnya disusun dan dieksekusi bukan hanya berdasarkan seberapa besar uang dibelanjakan, tetapi seberapa besar manfaat yang dihasilkan bagi masyarakat (Mardiasmo, 2009).
Selain itu capaian investasi yang cukup besar, yaitu Rp37 triliun lebih hingga triwulan pertama. Berharap besaran investasi itu berdampak pada penyerapan tenaga kerja lokal, pembukaan akses UMKM, dan pertumbuhan sektor riil di kabupaten-kota juga sangat penting.
Dalam pandangan akademisi strategi hilirisasi dan keterlibatan masyarakat lokal, angka investasi hanya akan menjadi statistik tanpa makna sosial (Todaro & Smith, 2020). Hal yang sama berlaku dalam sektor pendapatan daerah. Dispenda sudah melakukan banyak terobosan mulai dari digitalisasi Samsat, pembentukan Satgas pajak, hingga pemberian insentif fiskal.
Namun semua kebijakan itu perlu dikaitkan dengan transparansi, penyederhanaan layanan, serta penguatan kapasitas fiskal jangka panjang (Mahmudi, 2022).
Dalam konteks ini, sinergi antara DPRD dan OPD menjadi sangat penting. Komisi II telah memberikan arahan strategis yang sangat relevan mulai dari usulan revisi program prioritas, penyelesaian regulasi investasi, hingga penguatan peran UMKM dan koperasi.
Namun arah ini akan sulit tercapai jika tidak ditopang oleh kepemimpinan teknokratik di birokrasi, perencanaan yang berbasis data, dan pelibatan masyarakat dalam pengawasan anggaran.
Kaltara adalah daerah dengan potensi besar, tetapi juga tantangan besar. Ketimpangan geografis, tekanan fiskal, dan ketergantungan pada pusat tidak bisa dihindari. Karena itu, APBD harus diposisikan sebagai alat transformasi, bukan sekadar daftar belanja.
Harus ada keberanian untuk mengevaluasi program yang tidak berdampak, menggeser anggaran ke sektor produktif, dan menyusun roadmap ekonomi daerah yang inklusif dan berkelanjutan. (*)