Nurul Imam, Penyandang Tunanetra yang Mahir Meracik Kopi

BARISTA DIFABEL: Nurul Imam meracik kopi buatannya di warung Assyifa Coffee di Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.

Mengandalkan indra peraba, semua proses dijalani Nurul Imam sendiri, mulai memilih biji kopi sampai ketika kopi siap diseruput pembeli. Buta sedari lahir, dia juga drummer di band yang semua anggotanya difabel.

GARETA WARDANI, Banyuwangi

TAK sekali-dua kali tangan Nurul Imam kecipratan air panas ketika hendak menuangkan ke cangkir kopi. Lumayan sakit tentunya.

Tapi, tak sekali pun semangat penyandang tunanetra tersebut untuk jadi percaik kopi kendur karenanya. Terus dicobanya, apa pun risikonya.

Dan, hasilnya mulai dirasakan pria 35 tahun itu sekarang. Kepiawaiannya mercaik kopi meningkat pesat. Assyifa Coffee, kedai kopi yang didirikannya di kawasan Perumahan Villa Ijen, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, mulai ramai didatangi pembeli.

“Awal buka memang sengaja saya gratiskan. Supaya semua orang bisa mencoba kopi buatan saya,” ujar guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Banyuwangi Jurusan A (tunanetra) tersebut kepada Jawa Pos Radar Banyuwangi, Senin (8/1) lalu.

Baca Juga  Turis dari Brunei-Malaysia Anggap Museum Khazanah Melayu di Sambas, Pelengkap Puzzle Sejarah Asia Tenggara

Buta sedari lahir, Imam memang sudah berdamai dengan kondisi fisiknya. Karena itu, dia tak pernah menjadikannya penghalang untuk apa saja yang ingin dicapai atau dipelajari.

Menjadi barista salah satu contohnya. Imam mengaku menyiapkan biji kopi pilihan untuk dihidangkan kepada para pembeli. Semua proses dilakukannya secara mandiri.

Mulai dari roasting, menghaluskan biji kopi, hingga meracik bubuk kopi menjadi kopi hangat yang siap dinikmati para pelanggan. Imam mengaku harus sangat teliti dan hati-hati dalam meracik kopi.

Dia memanfaatkan penuh indra peraba untuk meracik kopi. Seperti menggunakan tangan untuk meraba posisi pucuk ceret berisi air panas dan posisi lubang gelas. Pada momen seperti itu biasanya dia terkena cipratan air panas.

Baca Juga  Sebastian Aldo Widjaya, Sinematografer Muda Indonesia yang Mendunia

Kopi buatannya dijual dengan harga yang terjangkau. Satu gelas kopi jenis robusta dibanderol Rp 5 ribu. Sedangkan kopi arabika satu gelasnya seharga Rp 7 ribu. Warung kopi milik Imam tersebut buka mulai pukul 18.30 hingga pukul 23.00.

Imam tak hanya mahir meracik kopi. Dia juga piawai memainkan drum dalam grup musik Al-Mumtaz yang anggotanya para difabel.

Terlatih mandiri sebagai seorang difabel pula yang membuatnya tak tegang saat menjalani proses akad nikah pada 18 April 2018. Semuanya lancar, tanpa harus ada yang diulang.

Begitu selesai proses akad dan penandatanganan, Imam menyalami bergantian seluruh pengantar yang hadir. Suasana berubah menjadi agak haru saat orang tua mempelai putri, Mistaman, 65, dan Sunarmi, 60, bergantian merangkul kedua mempelai tersebut.

Baca Juga  Jadi Relawan saat Misa Agung di Stadion Madya-Stadion Utama GBK, Mahasiswa Siapkan Fisik karena Berdiri 12 Jam

Labuhan cinta dua sejoli ini berlangsung cukup cepat, meski sebenarnya keduanya sudah terhubung melalui grup WhatsApp (WA). “Dulu kan kenal di grup WA. Teman-teman punya grup WA, kok ada nomornya mbak ini, langsung saya japri,” kenang Imam sedikit terkekeh menceritakan perkenalannya dengan Nanik Sunarsih.

Nanik pula yang kini jadi penyemangat utama. Terutama ketika dalam proses menjalani sesuatu, misalkan saat belajar menjadi barista.

Membuka warung Assyifa Coffee juga menjadi cara Imam memperoleh penghasilan tambahan. “Warung kopi saya sekaligus jadi tempat diskusi, tempat untuk menyelesaikan masalah, juga tempat mencari saudara,’’ katanya. Dia bersyukur sekali atas dukungan sang istri.

“Saya punya janji spesial untuk istri. Saya tidak akan pernah melirik wanita lain. Wong saya juga tidak bisa melirik,” katanya. (*/aif/c17/ttg/jpg)

Bagikan:

Berita Terkini