Rayvan Aji Pratama memang lolos dari maut, tapi bocah 2,5 tahun itu masih harus menghadapi sederet kenyataan pahit. Sebanyak 25 orang tua korban masih mengejar keadilan lewat gugatan class action di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
ZALZILATUL HIKMIA, Jakarta
MIRISNYA lagi, dokter telah memvonis bocah mungil itu buta. Menurut sang ibu, Resti Safitri, sudah tiga dokter yang menyatakan demikian setelah melakukan pemeriksaan mata kepada buah hatinya. Bahkan, pendengarannya juga kabur.
Hati ibu mana yang tak mencelos mendengar hal itu. “Dia anak pertama saya, Mbak. Harapan saya tinggi banget (kepadanya, Red). Cita-cita dia, saya enggak tahu apakah dia bisa wujudkan dengan kondisinya seperti ini,” ujarnya terbata sambil sesekali mengusap air matanya saat bercerita kepada Jawa Pos di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (10/1).
Hatinya kian merintih kala melihat anak-anak sebaya Rayvan yang sudah berlari ke sana kemari. Sedangkan sang anak masih terbaring karena cerebral palsy.
Memang, tak banyak yang tahu bahwa EG dan DEG dalam sirup penurun panas itu tidak hanya menyerang ginjal ratusan anak-anak di tanah air. Racun itu juga menjalar ke seluruh bagian tubuh dan menyebabkan kerusakan di sana.
“Itu bukan obat, tetapi racun,” ungkapnya.
Kisah Rayvan tak jauh beda dengan korban GGAPA lainnya. Dia divonis GGAPA setelah mengonsumsi obat parasetamol sirup buatan PT Afi Farma. Bukannya sembuh, dia justru mengalami pembengkakan akibat gagal ginjal.
Dia pun terpaksa cuci darah dan terbaring di PICU selama kurang lebih 45 hari. Setelah keluar dari PICU, Rayvan masih harus dirawat selama dua bulan. Bayi 9 bulan itu pun kerap drop meski sudah boleh pulang.
Kini dia masih harus rutin ke rumah sakit 2–3 kali seminggu. Rutinitas itu sudah mereka jalani sekitar 1,5 tahun terakhir. Karena kondisi sang buah hati yang benar-benar perlu perawatan khusus ini, suami Resti, Riang Traji, terpaksa keluar dari pekerjaannya demi merawat buah hati mereka satu-satunya tersebut.
Mereka sekeluarga pun terpaksa pindah ke rumah orang tua Resti di Kemayoran agar bisa lebih mudah menjangkau RS Cipto Mangunkusumo (RSCM).
“Sebelumnya rumah saya di Bekasi. Cukup jauh kalau harus bolak-balik RSCM,” tuturnya.
Karena harus bekerja sendiri, Resti pun harus pontang-panting demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan Rayvan. Mengingat, tidak semua obat dan alat kesehatan ditanggung BPJS Kesehatan. Belum lagi jika obat atau alat kesehatan yang dibutuhkan ternyata habis di RSCM.
“Sebulan saya harus mengeluarkan uang Rp 7 juta sampai Rp 8 juta hanya untuk kebutuhan Rayvan. Slang NGT harus diganti seminggu sekali,” kata Resti.
Lalu, obat saraf yang juga tidak ditanggung BPJS Kesehatan, padahal itu penting. “Belum lagi akomodasi bolak-balik rumah sakit. Saya gali lubang tutup lubang,” tuturnya.
Yang disayangkan olehnya, selama ini tak ada perhatian apa pun dari pemerintah. Padahal, mereka adalah korban. Bantuan baru diterima dari santunan yang baru cair setelah 1,5 tahun. Tapi, lebih dari itu, yang paling membuatnya bersedih adalah tak ada perwakilan pemerintah yang datang melihat kondisi anaknya. “Pemerintah, BPOM, atau Afi Farma tak pernah memberi bantuan selama ini, apalagi melihat kondisi Rayvan. Bahkan Kemensos yang mendata (untuk santunan, Red), saya sudah bilang datang ke rumah, nengok, lihat kondisi anak saya. Tapi, hanya data lewat RT,” keluhnya.
Bukan hanya itu, kekecewaan mendalam pun dirasakannya setelah hakim Pengadilan Negeri Kediri menjatuhkan vonis dua tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider tiga bulan kurungan kepada empat petinggi PT Afi Farma (1/11/2023). Menurut dia, vonis itu tidak adil.
Seharusnya para pihak terkait yang sudah lalai dan menyebabkan ratusan anak menjadi korban dihukum lebih berat. “Coba gantiin posisi anak saya, mau tidak hah,” tegasnya.
Saat ini sekitar 25 orang tua korban yang tergabung dalam class action masih berjuang menuntut keadilan di PN Jakarta Pusat. Mereka menggugat beberapa produsen obat seperti PT Afi Farma Pharmaceutical Industry hingga PT Universal Pharmaceutical Industry.
Selain itu, pihak lain yang ikut menjadi tergugat adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Keuangan. Gugatan class action itu juga menuntut ganti rugi miliaran rupiah atas kelalaian mereka terkait obat ”racun” yang beredar dan menimbulkan korban. (*/c19/ttg/jpg)