Melihat Aktivitas Para Difabel di Galeri Disabilitas Kinasih

WADAH BEREKSPRESI: Kadinsos Jawa Timur Restu Novi Widiani (kanan) berinteraksi dengan penyandang disabilitas Aprilianto Wibowo (kiri) serta Erlina di Gadisku Pemprov Jatim, Surabaya, Rabu (24/4) pekan lalu.

Di Gadisku Pemprov Jatim, belasan penyandang disabilitas dengan beragam keterampilan dididik untuk membangun usaha. Ada yang karya desainnya sudah laku, ada yang sudah mampu bantu keluarga lewat angkringan, dan ada yang hasil keterampilan pijat refleksinya untuk sekolah adik.

 

EKO HENDRI, Surabaya

 

SAMBIL tersenyum, Aprilianto Wibowo menyalami setiap tamu yang berkunjung ke Galeri Disabilitas Kinasih dan Unit Pelaksana Teknis (Gadisku) Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim). Sesekali, pemuda 19 tahun itu juga memamerkan karyanya berupa kain batik.

Batik desain Ian –sapaan akrab Aprilianto– memang belum dipatenkan, tetapi sudah laku di pasaran. Pembelinya lumayan banyak. Harga dan warnanya beragam. Begitu pula motifnya.

“Dia (Ian, Red) sedang belajar menjadi desainer besar. Cita-citanya luar biasa,” ungkap Kadinsos Jatim Restu Novi Widiani yang duduk bersebelahan dengan Ian.

Pemuda asal Jombang, Jawa Timur, itu membalas pujian Novi dengan tersenyum. Pintu ke masa depan telah terbuka baginya, sesuatu yang tak terbayangkan dulu.

Masa lalunya kenyang dengan kemuraman. Meski, saat ditanya Jawa Pos, Ian yang penyandang autis tak bisa bercerita. Novi yang mendampingi yang membeberkan kronologi pemuda yang mahir menggambar itu bisa masuk panti sosial.

Baca Juga  Pemudik Lebaran 2024 Melintas di JLS Tulungagung, Bisa Bersantai di Kolam Renang Tepi Pantai

Sejak Ian kecil, orang tuanya tak mau mengasuh. Mereka menitipkannya di panti sosial. Ian sempat dibawa ke Rumah Kinasih di Blitar dan dilatih menggambar di sana. Kini Gadisku yang terletak di Jemur Andayani XVIII Nomor 19, Surabaya, menjadi ”rumah” baru Ian.

Dia tak sendirian. Ada 16 anak penyandang disabilitas lainnya yang juga menghuni fasilitas yang baru diresmikan pada Senin (22/4) tersebut. Keterampilan anak-anak ”terbuang” itu macam-macam.

Selain Ian yang pandai menggambar, ada pula Umu Anisatul Qoiroh. Perempuan 23 tahun itu mengalami gangguan mental sejak SMA. Anisa dulunya hobi berhalusinasi dan marah-marah. Karena itu, dia ”dibuang” keluarga ke panti sosial.

Kini, sejak Anisa dibukakan angkringan di Gadisku, emosinya lebih stabil. Dia tak lagi marah-marah karena sibuk bekerja. Bahkan, Anisa sudah mampu menyumbang pendapatan untuk keluarga.

Lain halnya dengan M. Syamsul Hadi. Dia tunanetra yang ahli memijat. Jawa Pos turut menjajal keterampilan teknik refleksi pemuda asal Bulak Banteng, Surabaya, itu.

Baca Juga  Komisi X DPR RI Setujui Permohonan Naturalisasi Tim Geypens, Dion Markx, dan Ole Romeny

Syamsul tidak buta sejak lahir. Awalnya, saat berusia 23 tahun, Syamsul demam tinggi. Ketika bangun tidur, kedua mata sulung di antara empat bersaudara itu mendadak tak bisa melihat. Keluarga sempat membawanya ke dokter, tetapi sudah terlambat. Ada saraf yang terganggu akibat demam tinggi. “Saya shock. Sempat frustrasi,” kata Syamsul.

Ada hal yang menguatkan pria 31 tahun itu untuk tetap semangat: adik-adiknya masih kecil, sementara ayahnya sudah meninggal. “Sebagian hasil memijat ini saya tabung untuk renovasi rumah dan sekolah adik. Saya ingin membantu ibu,” ungkap Syamsul.

Novi menyatakan, gagasan Gadisku sebenarnya sudah lama. Namun, belum ada tempat. Akhirnya, gagasan itu terwujud setelah ada rumah dinas milik Kadinsos yang tak terpakai.

Rumah itu lantas direnovasi dan disulap menjadi tempat usaha. Ada angkringan di terasnya. Sementara, bagian garasi diubah menjadi galeri. Di sana ada berbagai produk difabel se-Jatim. Bukan hanya batik. Ada tas, sarung bantal, baju, dan kerajinan tangan lainnya.

Sementara, di bagian dalam ada layanan untuk pijat seperti kursi dan bantal. Semua terapisnya difabel. “Kami optimistis usaha akan ramai karena semuanya sudah memiliki sertifikat sebagai terapis,” ujar Novi.

Baca Juga  40 Tahun Berkarya Sentra Perajin Tatah Wayang di Sidowarno Merawat Budaya

Dia menyebut Gadisku sebagai pusat workshop difabel. Sudah bukan lagi proses rehabilitasi. Di tempat tersebut, penyandang disabilitas diajari mengembangkan bakat dan membangun usaha.

Berkolaborasi dengan Yayasan Rumah Kinasih berbasis sociopreneurship, seluruh penyandang disabilitas yang tinggal di Gadisku mendapatkan pendampingan dan bimbingan berkelanjutan untuk membuat produk berkualitas yang siap dipasarkan. “Kami siapkan seluruh fasilitas gratis. Kuncinya, mereka semangat dan bisa hemat,” tegas Novi.

Saat masuk ke Gadisku, seluruh peserta workshop memang langsung dibuatkan buku tabungan. Tujuannya, memastikan mereka benar-benar menekuni usaha.

Galeri beroperasi setiap hari, sejak pukul 09.00 hingga 22.00 WIB. Rencananya, ada tiga macam muatan galeri yang dibagi menjadi program jangka pendek, menengah, dan panjang. Untuk jangka pendek, ada galeri produk dan angkringan. Kemudian, untuk jangka menengah, bakal dibuka sanggar kesenian dan sanggar mengaji tuli setiap minggu serta layanan konseling orang tua ABK (anak berkebutuhan khusus) secara gratis.

“Melalui Gadisku, kami ingin memberikan kesempatan ekonomi, akses sosial, dan akses pelayanan publik yang sama bagi semua kalangan. Mudah-mudahan inovasi ini menular ke kabupaten/kota di Jatim,” tuturnya. (*/c14/ttg/jpg)

Bagikan:

Berita Terkini

Utama

Waspadai Modus Penipuan

Utama

Kampung Rawan Narkoba Berubah Wajah

Utama

15 Napi Diusulkan Bebas