“AYAH, boleh main HP (Handphone) lagi nggak?” tanya Hasna Munqidzah, bocah perempuan berusia empat tahun dengan ekspresi penuh harap. Sang ayah, Miftahul Munir, hanya tersenyum sambil mengusap kepala putrinya.
“Boleh, tapi cuma sebentar ya, sampai baterainya 50 persen. Setelah itu kita nonton YouTube di televisi saja,” balasnya, sembari memberikan telepon genggam.
Sekilas, percakapan sore itu tampak sederhana. Namun, di balik jemari kecil Hasna yang lincah menyentuh layar, tersimpan dilema banyak orang tua di era digital: bagaimana membiarkan anak tumbuh dengan teknologi, tanpa kehilangan kendali atas risikonya.
“Kalau anak zaman sekarang itu sejak dini sudah kenal dengan HP,” kata Munir kepada Jawapos.com, Jumat (3/10).
Pria yang tinggal di Ciracas, Jakarta Timur itu menceritakan bahwa, sejak usia dua tahun, Hasna memang sudah mengenal tontonan di layar. Namun, ia lebih sering menonton YouTube melalui televisi ketimbang ponsel.
Seiring bertambahnya usia, rasa ingin tahu Hasna terhadap ponsel makin menggeliat. Munir memiliki cara tersendiri untuk meminjamkan ponsel kepada putri sulungnya itu.
Ia sengaja menggunakan indikator baterai sebagai alarm waktu. Baginya, cara ini lebih mudah dipahami anak ketimbang hitungan jam. Setelah layar ponsel padam, Hasna akan beralih menikmati tontonan di televisi.
“Kalau main HP hanya saat akhir pekan, biasanya Roblox. Itu pun maksimal 45 menit, setelah baterai habis ya selesai,” kata pria yang juga memiliki latar belakang pendidikan keguruan itu.
Antara Hiburan dan Belajar
Meski aksesnya dibatasi, Munir tak menutup pintu bagi anaknya untuk belajar lewat ponsel pintar. Sesekali Hasna menggunakan aplikasi mewarnai atau menonton video edukasi. Namun, tetap saja dunia hiburan lebih dominan. “Biasanya main Roblox atau nonton YouTube,” ujarnya.
Menurut Munir, tren anak kekinian berbeda jauh dengan era 90-an saat ia kecil. Jika dulu permainan lebih banyak dilakukan secara fisik—kelereng, lompat tali, atau sepak bola—kini anak-anak justru betah duduk tenang di depan layar.
“Terkadang orang tua yang memberikan hal ini supaya pekerjaan rumahnya cepat selesai karena tak diganggu anaknya,” akunya.
Meski memberi kelonggaran, Munir tak menutup mata pada risiko. Ia khawatir kesehatan mata anak terganggu karena pencahayaan layar. Ia bahkan rutin memberi buah dan sayur pada Hasna, berharap nutrisi itu bisa menjaga kesehatan matanya.
Selain itu, ada pengalaman kurang mengenakkan ketika Hasna terlalu sering bermain ponsel, ia jadi tantrum saat diminta berhenti. Dari situlah Munir belajar.
“Ini pernah saya alami sehingga saya membatasi anak main HP,” ucapnya.
Maraknya Pengguna Internet Anak
Hasna bukanlah satu-satunya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan, 39,71 persen anak usia dini di Indonesia sudah terbiasa menggunakan telepon seluler, sementara 35,57 persen lainnya telah mengenal internet.
Jika dirinci lebih jauh, 5,88 persen bayi di bawah usia 1 tahun tercatat sudah menggunakan gawai, dan 4,33 persen di kelompok usia yang sama pernah mengakses internet. Angka ini melonjak tajam pada anak usia 1–4 tahun, di mana 37,02 persen sudah menggunakan ponsel dan 33,80 persen mengakses internet.
Bahkan, pada usia 5–6 tahun, persentasenya lebih tinggi lagi: 58,25 persen menggunakan gawai dan 51,19 persen sudah terkoneksi internet. Kondisi ini semakin memprihatinkan di wilayah tertinggal. Di sana, anak-anak berusia 13–14 tahun bahkan tercatat mengalami kecanduan media sosial.
Fenomena ini memperlihatkan betapa cepatnya anak-anak Indonesia masuk ke ruang digital. Hal ini bisa menjadi ancaman serius: anak-anak bisa dengan mudah terpapar konten pornografi, manipulasi, hingga eksploitasi digital.
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamen Komdigi) Nezar Patria, memaparkan kasus eksploitasi seksual anak di ruang digital sudah berada pada tahap mengkhawatirkan. Laporan 2024 mencatat Indonesia menempati peringkat ketiga dunia dengan 1,45 juta kasus, menjadikannya salah satu negara dengan jumlah kasus pornografi daring terbesar.
“Komdigi membangun ekosistem digital yang tidak hanya mendorong kreativitas dan pembelajaran, tetapi juga menjamin setiap anak terlindungi dari ancaman dunia digital,” ujarnya dalam forum Multistakeholder Dialogue on Follow the Money: Unmasking Child Sexual Exploitation through Financial Transactions di Jakarta Pusat, Kamis (2/10).
Teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intellegent (AI) kini juga disalahgunakan untuk membuat konten kekerasan seksual anak. Laporan Internet Watch Foundation (IWF) mencatat lebih dari 3.500 konten berbasis AI beredar di dark web pada Juli 2024, bahkan sempat menembus angka 20.000 pada Oktober 2023.
“Ini juga banyak sekali digunakan dan banyak sekali anak-anak kita yang menjadi korban dan berdampak cukup dalam terhadap kondisi psikologis korban,” ungkap Nezar.
PP TUNAS: Benteng Anak di Ruang Digital
Di sinilah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS) hadir. Aturan yang berlaku sejak 1 April 2025 ini menjadi landasan hukum untuk menciptakan ruang digital yang aman, sehat, dan berkeadilan.
Menteri Komdigi Meutya Hafid menyebut PP TUNAS sebagai langkah strategis pemerintah dalam menghadapi tantangan dunia digital. “Kami di Komdigi tidak hanya melihat dampaknya (ruang digital) terhadap anak-anak, tetapi kepada keseluruhan,” ujar Meutya dalam Podcast Merdekast di Jakarta Selatan, Jumat (2/5).
PP TUNAS mengatur kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk menyaring konten berbahaya, menyediakan saluran pelaporan yang mudah diakses, serta menjamin penanganan laporan yang cepat dan transparan. Selain itu, PSE diwajibkan memverifikasi usia pengguna dan menerapkan sistem keamanan teknis guna mencegah anak-anak terpapar konten negatif. Pelanggar akan dikenai sanksi administratif hingga pemutusan akses platform.
“Kita melihat ada aplikasi-aplikasi yang memang nakal. Ini bukan semata hasil algoritma yang menyesuaikan minat pengguna, tapi ada kecenderungan konten-konten ini memang sengaja diarahkan ke kelompok rentan termasuk anak-anak,” tegasnya.
Menurut Meutya, regulasi ini bukan hanya untuk perlindungan anak, melainkan juga memperkuat keamanan ekosistem digital bagi semua kalangan. “Ketika keamanan ekosistem digital diperkuat, yang diuntungkan bukan hanya anak-anak tapi juga semua orang yang berada di ranah digital. Kita ingin semua pihak nyaman, karena aturannya jelas seperti aturan main di pasar,” jelasnya.
Sinergi Semua Pihak
Lahirnya PP TUNAS mendapat respons positif dari kalangan aktivis maupun akademisi. Regulasi ini dinilai penting sebagai payung hukum perlindungan anak di ruang digital, namun implementasi di lapangan akan menjadi tantangan utama.
“Ini langkah penting karena memberikan payung hukum khusus yang memaksa PSE bertanggung jawab untuk perlindungan anak dari kewajiban saring konten, mekanisme pelaporan, verifikasi usia, sampai sanksi administratif,” ujar Pendiri Gerakan Anti Kekerasan (GAK), Fahry Azizurahman saat dihubungi Jawapos.com, Jumat (3/10).
Menurutnya, aturan ini menegaskan bahwa perlindungan anak di dunia maya bukan semata tanggung jawab keluarga, melainkan juga platform digital dan negara. Meski demikian, Fahry menekankan perlunya implementasi, pengawasan, dan kapasitas penegakan yang konsisten.
Lebih lanjut, ia menilai PP TUNAS menutup sejumlah celah penting, seperti kewajiban penyaringan konten, verifikasi usia, prosedur pelaporan, hingga sanksi administratif berupa pemutusan akses. Secara teoritis, aturan ini bisa signifikan menurunkan paparan anak terhadap konten berbahaya.
“Namun efektivitasnya bergantung pada kapabilitas teknis PSE, kapasitas regulator untuk audit dan penegakan, serta kemauan politik untuk memberi sanksi bila perlu,” jelasnya.
Meski begitu, Fahry menyoroti kelemahan verifikasi usia yang masih mudah dipalsukan oleh pengguna. Ia juga mengingatkan risiko penyalahgunaan data pribadi anak bila verifikasi tidak dikelola dengan benar. Sementara itu, tantangan di daerah tertinggal mencakup keterbatasan literasi digital, akses perangkat, serta minimnya saluran pengaduan.
Untuk memastikan regulasi tidak berhenti di atas kertas, Fahry mendorong keterlibatan komunitas. “Kita nggak bisa nunggu pemerintah saja. Komunitas harus aktif bikin literasi digital, advokasi, dan jadi teman curhat anak. GAK sendiri siap terlibat dengan kampanye publik, pendampingan korban, dan kolaborasi dengan sekolah serta organisasi lokal,” tegasnya.
Sementara itu, Akademisi sekaligus Pemerhati Anak dari Universitas PGRI Semarang, Ismatul Khasanah menilai regulasi ini hadir di saat yang tepat. “PP TUNAS sepertinya perlu hadir sebagai kontrol untuk menyaring situs internet agar tidak terlalu bebas diakses oleh pengguna,” ungkapnya saat dihubungi Jawapos.com, Jumat (3/10).
Ismatul menekankan, komitmen pemerintah dengan hadirnya PP TUNAS harus serius dan konsisten menyaring dan mengontrol konten-konten yang mungkin dianggap tidak pantas diakses oleh anak. “Bisa dapat langsung di-take down. Ada petunjuk teknis (juknis) yang jelas, petunjuk pelaksanaan (juklak) yang tegas, ada sanksi yang jelas dan tegas bagi pelanggar,” jelasnya.
Namun, lanjutnya, sekuat apapun regulasi tetap membutuhkan dukungan semua pihak. Ia menyarankan adanya sistem reward dan punishment agar masyarakat dan platform lebih patuh. “Perlu diberikan sebagai wujud kepedulian pemerintah kepada warga negara,” ujarnya.
Lebih jauh, Ismatul menilai PP TUNAS juga bisa berperan besar dalam mendukung ekosistem pendidikan. Regulasi ini diharapkan mendorong kurikulum literasi digital, sekaligus memastikan platform pendidikan ramah anak.
Adapun manfaat jangka panjangnya, lanjut Ismatul, adalah tumbuhnya generasi yang disiplin dan bertanggung jawab. “Penggunaan gawai dengan bijak akan mendatangkan kedisiplinan pada anak sebagai modal untuk bertanggung jawab di masa mendatang,” jelasnya.
Meski begitu, Ismatul mengatakan, peran orang tua dan sekolah juga tetap tak tergantikan. Ia juga memberikan strategi sinergi bagi orang tua dan guru— mulai dari memahami regulasi, memasang aplikasi kontrol akun anak, membuat kesepakatan penggunaan gawai, hingga menjaga komunikasi rutin antara guru dan orang tua.
“Semoga PP Tunas menjadi regulasi yang berbeda, berpihak pada kepentingan negara guna menyelamatkan anak bangsa dari hal-hal yang tidak diinginkan,” tandasnya.
Harapan Orang Tua
Meski PP TUNAS masih asing di telinga Munir, namun percaya bahwa di samping adanya regulasi, pengawasan orang tua di rumah merupakan hal yang sangat penting. Hingga saat ini, cara Munir mengawasi anaknya sederhana: ia selalu melihat apa yang ditonton, lalu mengambil ponsel saat batas waktu berakhir.
Baginya, hal terpenting bukan sekadar membatasi anak, melainkan mengarahkan anak agar menggunakan internet secara produktif. “Karena itu adalah kunci agar anak tidak ke arah negatif,” tutupnya. (jpg)