Cegah Kekerasan Murid sejak Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah

TAHUN AJARAN BARU: Peserta didik harus mendapatkan ekosistem belajar yang aman, nyaman, dan menyenangkan.

Dunia pendidikan masih mengalami darurat tiga dosa besar: perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi.

 

MENURUT data survei asesmen nasional tahun 2022, ada 34,51 persen peserta didik yang berpotensi mengalami kekerasan seksual, 36,31 persen peserta didik yang berpotensi mengalami perundungan, dan 26,9 persen peserta didik yang berpotensi mengalami hukuman fisik. Juga, sebanyak 68 persen sekolah membutuhkan bantuan untuk meningkatkan iklim kebinekaan.

Data tersebut diperkuat dengan kejadian menyangkut siswa akhir-akhir ini. Gangster, tawuran, perundungan (bullying), dan kekerasan seksual di lembaga pendidikan maupun di luar sekolah. Masih maraknya tiga dosa besar pendidikan itu menodai praktik merdeka belajar. Peserta didik harus mendapatkan ekosistem belajar yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Dan, yang paling penting, peserta didik mendapatkan kesejahteraan psikologis (well being) di lingkungan belajar.

AKAR KEKERASAN

Keluarga, sekolah, masyarakat, dan media sosial memiliki pengaruh besar atas munculnya perilaku kekerasan. Para pelaku adalah individu yang ”sakit”. Mereka tidak mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin dari lingkungan terdekat.

Dalam Dignity: The Essential Role It Plays in Resolving Conflict, Donna Hicks menjelaskan betapa pentingnya harga diri dalam memicu konflik. Menurut dia, konflik dengan segala pemicu masalah akan tiba pada titik bahwa mereka memperjuangkan satu-satunya harga pada dirinya, yaitu harga diri (Amalee, 2017).

Itulah yang mendasari individu melakukan tindakan kekerasan. Baik di sekolah maupun di luar sekolah. Mereka mencari yang mereka tidak dapatkan di rumah dan sekolah, yaitu penghargaan, pengakuan, dan martabat (dignity).

Baca Juga  Komunitas Powerlifting Ironhood, Lebih dari Sekadar Angkat Beban

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), telah mengambil peran untuk mencegah kekerasan di sekolah. Melalui Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, telah dipandu upaya-upaya pencegahan secara kolaboratif.

Kekerasan yang dimaksud meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan, serta kekerasan lainnya. Bentuknya bisa kekerasan fisik, verbal, nonverbal, dan kekerasan yang dilakukan melalui media teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Permendikbudristek tersebut sebenarnya cukup progresif. Sebab, pencegahan dan penanganan kekerasan meliputi area di dalam dan di luar sekolah. Baik yang dilakukan oleh dan terhadap peserta didik, guru, tenaga kependidikan, komite, dan warga sekolah lainnya serta kekerasan yang melibatkan sekolah lain.

Namun, masih ada kekhawatiran mengenai efektivitas dari implementasinya. Karena itu, regulasi yang sudah dilahirkan masih memerlukan intervensi dan akselerasi dari semua pihak.

PENCEGAHAN SEJAK DINI

Pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah dapat dilakukan melalui tiga pendekatan. Pertama, penguatan tata kelola. Pencegahan dan penanganan kekerasan harus melibatkan secara aktif pihak dari sekolah, pemerintah daerah, kementerian melalui program dan kebijakan, termasuk pendanaan serta pembentukan tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK) di sekolah.

Pendekatan tersebut seperti yang dilakukan Dinas Pendidikan (Dispendik) Provinsi Jawa Timur (Jatim). Pada hari pertama masuk sekolah, 15 Juli 2024, akan diadakan apel serentak pembukaan masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) secara daring dan luring yang diikuti seluruh SMA, SMK, serta SLB negeri dan swasta seluruh Jatim. Menariknya, dalam apel tersebut akan digaungkan kampanye anti perundungan oleh peserta didik baru, warga sekolah, dan orang tua.

Kedua, pendekatan edukasi. Pelaksanaan MPLS menjadi momentum bagi sekolah untuk melakukan sosialisasi tata tertib dan kebijakan mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah. Target dari pendekatan ini bukan hanya warga sekolah, tetapi juga orang tua melalui kegiatan parenting.

Sebagai bagian dari penguatan karakter, nilai-nilai dari konsensus dasar bangsa, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika, seharusnya menjadi bagian materi yang disampaikan selama MPLS.

Nilai-nilai tersebut meliputi religiusitas, kekeluargaan, keselarasan, kerakyatan, keadilan, demokrasi, kesamaan derajat, ketaatan hukum, kesatuan wilayah, persatuan bangsa, kemandirian, toleransi, keharmonisan, dan gotong royong.

Baca Juga  12 Tahun Lalu Diamputasi, Kini Endang Bisa Berhaji Bersama Suami dengan Kursi Roda

Implementasi nilai konsensus dasar dapat dilakukan dengan beragam strategi kreatif. Di antaranya melalui dialog, bermain peran, deklarasi anti kekerasan, dan kampanye anti kekerasan di media sosial.

Ketiga, penyediaan sarana dan prasarana. Pendekatan ini memungkinkan kolaborasi sekolah dengan berbagai pihak untuk menyediakan sarana pembelajaran yang aman dan nyaman bagi peserta didik dan juga bagi penyandang disabilitas.

Selanjutnya, sekolah secara konsisten harus mempromosikan budaya sekolah yang inklusif. Budaya saling menghargai dan menghormati sehingga setiap individu yang ada di sekolah merasa diterima oleh satu sama lain. Peningkatan peran tim TPPK, kolaborasi dengan lembaga, organisasi, dan berbagai komunitas sangat perlu untuk ditingkatkan.

Proses ini sesuai dengan yang ditulis oleh pakar ilmu perilaku Jason Hreha. Menurut dia, kebiasaan pada dasarnya adalah solusi yang dapat diandalkan untuk masalah-masalah yang berulang di sekitar kita (Clear, 2022). Artinya, pembekalan dan kebiasaan baik yang dibangun sejak MPLS dan dilakukan secara berkelanjutan dapat membongkar kebiasaan-kebiasaan buruk.

Tahun ajaran baru menjadi titik penting untuk mencegah kekerasan di sekolah. Sudah saatnya semua pihak ambil bagian dan berkolaborasi dalam mewujudkan pendidikan berkualitas tanpa kekerasan di sekolah. (jpg)

Bagikan:

Berita Terkini